Aku pun akan terus menempa, selama nyala api masih menyala dalam hidupku. Namun, perjalananku belum selesai. Pada suatu hari, seorang pria tua datang ke bengkelku, mengenakan pakaian khas seorang empu. Ia memperhatikan setiap detail dari keris yang kugantung di dinding bengkel, mengamati pola-pola pamor yang telah kutempa dengan sepenuh jiwa.
"Kerja yang luar biasa," katanya dengan suara berat dan penuh pengalaman.
"Tapi kau belum melihat seluruh potensi dari yang kau buat." Jawabnya lagi.
"Maksudmu?" Aku menatapnya penuh rasa ingin tahu.
Pria itu tersenyum, lalu mengeluarkan sebilah keris tua dari balik kainnya. Bilahnya telah menua, tapi pamornya bersinar dengan kekuatan yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Ini adalah pusaka yang diwariskan turun-temurun dari para empu sebelum kita. Keris bukan hanya tentang bentuk dan keindahan, tapi juga tentang jiwa yang tertanam di dalamnya."
"Bagaimana aku bisa mencapai tingkat seperti itu?" Aku menelan ludah, merasa tubuhku bergetar.
"Berguru padaku. Aku bisa mengajarimu apa yang belum kau ketahui." Pria itu meletakkan kerisnya di atas meja.
Hatiku berdebar. Tawaran itu terlalu berharga untuk ditolak. Aku mengangguk tanpa ragu. Maka dimulailah perjalanan baru dalam hidupku. Belajar bukan hanya soal menempa logam, tapi juga memahami filosofi di balik setiap bilah yang dibuat. Aku mendalami sejarah, mengunjungi tempat-tempat di mana para empu zaman dulu menempa pusaka mereka, dan bahkan berpuasa untuk memperdalam hubungan spiritual dengan karyaku. Bulan demi bulan berlalu, hingga akhirnya aku memahami esensi sejati dari pekerjaanku. Aku kembali ke bengkel dengan pengetahuan yang lebih dalam, dan karya-karyaku mulai memancarkan sesuatu yang lebih dari sekadar keindahan. Mereka memiliki jiwa.
Kini, bukan hanya orang desa yang datang ke bengkelku. Kolektor dari kota-kota besar, bahkan dari luar negeri, mulai berdatangan. Mereka ingin memiliki keris buatanku, tak peduli berapa pun harganya. Tapi bagiku, ini bukan sekadar bisnis. Setiap bilah yang kutempa adalah bagian dari warisan, dan aku memastikan hanya mereka yang benar-benar menghargainya yang dapat memilikinya. Aku, Lintang, bukan hanya seorang pandai besi. Aku adalah penerus tradisi yang telah berlangsung berabad-abad. Selama tanganku masih sanggup mengangkat palu, selama api masih berkobar di perapianku, aku akan terus menempa. Sebab dalam setiap dentingan besi yang beradu, ada kisah, ada nyawa, ada warisan yang harus tetap hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI