Mohon tunggu...
Farchani Assih Pradilla
Farchani Assih Pradilla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Politeknik Keuangan Negara STAN

Mahasiswi Politeknik Keuangan Negara STAN 2021 Program Studi: D-IV Manajemen Keuangan Negara (Manajemen Penerimaan Negara)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pengenaan PPN 11% terhadap Jasa Pelayanan pada Teknologi Finansial

24 Juli 2023   12:32 Diperbarui: 24 Juli 2023   12:36 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemerintah Indonesia telah mengumumkan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11% terhadap layanan yang diberikan oleh jasa penyelenggara teknologi finansial, termasuk e-money atau uang elektronik. Berikut adalah beberapa poin penting terkait pengenaan PPN terhadap jasa pada teknologi finansial: 

Pengguna akan dikenakan PPN sebesar 11% saat melakukan top up atau pengisian ulang e-money atas jasa atau biaya layanan tersebut. 

Pada tanggal 1 Mei 2022, pemerintah menerapkan kebijakan baru terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada penggunaan e-money di Indonesia. Kebijakan ini menetapkan bahwa saat melakukan top up atau pengisian ulang e-money, pengguna akan dikenakan PPN sebesar 11% atas jasa atau biaya layanan tersebut. 

E-money atau uang elektronik telah menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari banyak orang di Indonesia. Digunakan untuk membayar transportasi umum, membeli barang di toko-toko dan supermarket, hingga pembayaran tagihan, e-money telah mempermudah transaksi dan mengurangi ketergantungan pada uang tunai. 

Sebelum kebijakan ini diberlakukan, pengisian ulang e-money tidak dikenakan PPN. Namun, pemerintah telah memutuskan untuk memasukkan pengisian ulang e-money ke dalam kategori transaksi yang dikenakan PPN guna meningkatkan penerimaan negara dan memperluas basis pajak. 

Kebijakan pengenaan PPN 11% pada top up e-money yang dimulai pada 1 Mei 2022 menandai perubahan dalam peraturan perpajakan di Indonesia. Hal ini mengharuskan pengguna e-money untuk membayar pajak tambahan saat melakukan pengisian ulang atas jasa atau biaya layanan tersebut, dengan harapan dapat mendukung pembangunan dan pelayanan publik secara lebih luas. 


Jasa penyelenggara teknologi finansial, seperti Go-Pay, OVO, DANA, dan lainnya, sebagai pihak yang memfasilitasi transaksi wajib memungut PPN sebesar 11% atas pelayanan yang diberikan.

Layanan seperti Go-Pay, OVO, DANA, dan platform fintech lainnya telah merevolusi cara kita melakukan transaksi keuangan, memberikan kemudahan, kecepatan, dan aksesibilitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagai bagian dari kebijakan perpajakan, pemerintah telah menetapkan bahwa jasa penyelenggara fintech wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11% atas layanan yang mereka berikan. 

Pungutan PPN sebesar 11% pada layanan penyelenggara fintech bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan menciptakan keadilan pajak. Sebagai pelaku usaha yang beroperasi secara luas, penyelenggara fintech menyediakan berbagai layanan yang digunakan oleh jutaan orang. Dalam konteks ini, memungut PPN dari penyelenggara fintech membantu meningkatkan pendapatan negara dan membagi beban pajak secara adil antara berbagai sektor industri. 

Selain aspek pendapatan negara, pungutan PPN pada penyelenggara fintechi juga memastikan adanya persaingan yang sehat dengan industri keuangan konvensional. Bank dan lembaga keuangan tradisional yang telah lama menjalankan bisnis dan diwajibkan memungut PPN pada layanan mereka akan menghadapi ketidakadilan jika penyelenggara fintech tidak dikenai kewajiban yang sama. Dengan menerapkan PPN pada penyelenggara fintech, dihasilkanlah kesetaraan dalam bidang pajak dan memastikan persaingan yang seimbang. 

Peningkatan pendapatan negara melalui pungutan PPN pada penyelenggara fintech dapat digunakan untuk investasi dalam pembangunan infrastruktur dan peningkatan inklusi keuangan. Melalui dana yang terkumpul, pemerintah dapat memperluas aksesibilitas keuangan bagi masyarakat yang belum terlayani secara memadai, meningkatkan keandalan infrastruktur teknologi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. 

Pungutan PPN pada penyelenggara fintech juga dapat berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran pajak dan kepatuhan. Dengan membuat penyelenggara fintech bertanggung jawab untuk memungut dan melaporkan PPN, hal ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk lebih memahami pentingnya kewajiban pajak dalam mendukung pembangunan negara. Selain itu, hal ini juga mendorong kepatuhan perusahaan dan pengguna layanan fintech terhadap kewajiban perpajakan. 

Kontroversi PPN atas biaya jasa Fintech sebagai pihak yang memfasilitasi transaksi

Penggunaan e-money atau uang elektronik semakin meluas dalam kehidupan sehari-hari. Fintech atau perusahaan teknologi keuangan telah memainkan peran penting dalam memfasilitasi transaksi menggunakan e-money. Namun, baru-baru ini, muncul kontroversi seputar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan atas biaya jasa yang dibebankan oleh fintech saat melakukan top up e-money. 

PPN adalah pajak konsumsi yang diterapkan pada barang dan jasa di banyak negara, termasuk di Indonesia. Saat ini, ada perdebatan tentang apakah biaya jasa yang dikenakan oleh fintech sebagai pihak yang memfasilitasi transaksi top up e-money harus dikenakan PPN atau tidak. 

Pendukung penerapan PPN berargumen bahwa fintech, sebagai perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari transaksi top up e-money, seharusnya bertanggung jawab untuk membayar PPN atas biaya jasa yang mereka bebankan kepada pengguna. Mereka berpendapat bahwa fintech seharusnya tidak terkecuali dari kewajiban membayar PPN seperti bisnis lainnya. Ada juga pendapat yang berargumen bahwa pengenaan PPN pada top up e-money adalah langkah yang wajar. E-money telah menjadi alat pembayaran yang semakin populer dan digunakan secara luas oleh masyarakat. Dengan memasukkan pengisian ulang e-money ke dalam kategori transaksi yang dikenakan PPN, pemerintah dapat mengoptimalkan potensi pendapatan dari sektor ini. 

Meskipun pengenaan PPN pada top up e-money bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan memperkuat basis pajak, kebijakan ini menuai beragam tanggapan dari masyarakat. Beberapa pengguna merasa keberatan dengan pengenaan PPN tersebut, karena mereka menganggap e-money sebagai alternatif yang lebih efisien dan aman untuk bertransaksi tanpa harus membawa uang tunai. Pengenaan PPN dapat dianggap sebagai beban tambahan yang harus mereka tanggung. 

Di sisi lain, penentang penerapan PPN pada biaya jasa fintech berpendapat bahwa e-money sendiri sudah dikenakan PPN saat dibeli atau diisi ulang. Mereka berpendapat bahwa membebankan PPN atas biaya jasa fintech akan memberikan beban tambahan kepada pengguna dan mungkin dapat mengurangi minat masyarakat dalam menggunakan e-money. 

Pemerintah, sebagai regulator, juga terlibat dalam perdebatan ini. Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak dari kebijakan PPN terhadap industri fintech dan adopsi e-money di masyarakat. Pengenaan PPN pada biaya jasa fintech dapat memiliki konsekuensi seperti peningkatan biaya bagi pengguna dan potensi penghambatan pertumbuhan industri fintech. 

Selain itu, ada juga isu mengenai konsistensi dalam penerapan PPN pada industri fintech. Beberapa jenis transaksi finansial seperti transfer antar bank dan penjualan saham saat ini tidak dikenakan PPN. Pertanyaannya adalah apakah biaya jasa fintech harus diperlakukan dengan cara yang sama atau ada pertimbangan khusus yang harus diambil dalam konteks fintech. 

Untuk mencapai keputusan yang tepat, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk dampak ekonomi, perlindungan konsumen, dan perkembangan teknologi keuangan di masa depan. Kebijakan PPN yang diterapkan harus sejalan dengan tujuan pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan, inovasi teknologi, dan kemudahan dalam bertransaksi. 

Dalam situasi yang terus berkembang, penting untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah, fintech, dan konsumen, dalam diskusi untuk mencapai kesepakatan yang adil dan seimbang. Penerapan PPN pada biaya jasa fintech dalam top up e-money adalah isu yang kompleks dan perlu diperhatikan secara seksama untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan semua pihak yang terlibat. 

Pengenaan PPN terhadap penyelenggaraan teknologi finansial diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.03/2022.

Teknologi finansial telah melahirkan berbagai inovasi seperti pembayaran digital, peer-to-peer lending, asuransi berbasis teknologi, dan lain sebagainya. Perkembangan ini mendorong pemerintah untuk mengatur aspek perpajakan yang berkaitan dengan penyelenggaraan layanan fintech. Dalam hal ini, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.03/2022 memiliki peran penting dalam mengatur pengenaan PPN terhadap industri fintech. 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.03/2022 bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan pedoman yang jelas tentang pengenaan PPN terhadap penyelenggaraan layanan fintech di Indonesia. Peraturan ini mencakup berbagai aspek, termasuk subjek PPN, objek PPN, tarif PPN, kewajiban administrasi, dan prosedur pembayaran PPN. 

Peraturan tersebut menetapkan bahwa penyelenggara layanan fintech yang mencapai ambang batas tertentu wajib menjadi subjek PPN. Ambang batas ini ditetapkan berdasarkan jumlah transaksi atau nilai aset yang dikelola oleh penyelenggara fintech. Dengan demikian, penyelenggara fintech yang memenuhi persyaratan akan diwajibkan untuk mengenakan PPN pada layanan yang mereka sediakan. 

Peraturan Menteri Keuangan juga merinci objek PPN dalam layanan fintech yang meliputi berbagai jenis transaksi, seperti biaya administrasi, bunga, premi asuransi, dan komisi. Hal ini berlaku untuk berbagai model bisnis fintech, seperti pembayaran digital, peer-to-peer lending, dan e-commerce yang memfasilitasi transaksi keuangan. 

Peraturan tersebut menetapkan tarif PPN sebesar 11% yang dikenakan pada objek PPN dalam layanan fintech. Tarif ini telah diatur untuk memastikan bahwa penyelenggara fintech memberikan kontribusi yang wajar terhadap penerimaan negara. 

Peraturan Menteri Keuangan juga mengatur kewajiban administrasi yang harus dipenuhi oleh penyelenggara fintech dalam mengenakan dan melaporkan PPN. Ini termasuk pendaftaran, penerbitan faktur pajak, pencatatan transaksi, dan pelaporan pajak yang tepat waktu. Selain itu, peraturan juga menyediakan pedoman tentang prosedur pembayaran PPN yang harus diikuti oleh penyelenggara fintech. 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.03/2022 telah memberikan kerangka hukum yang jelas untuk pengenaan PPN terhadap penyelenggaraan teknologi finansial di Indonesia. Dengan menerapkan peraturan ini, pemerintah bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang adil dan transparan bagi penyelenggara fintech serta memastikan kontribusi yang tepat terhadap penerimaan negara. Regulasi ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan sektor fintech yang berkelanjutan dan memberikan perlindungan bagi konsumen. 

Cara menghitung biaya top up e-money yang dikenakan PPN 11%. 

Pertama-tama, perlu diketahui bahwa top up seringkali terkait dengan layanan prabayar, seperti pulsa telepon seluler, kartu perdana, voucher game, dan sejenisnya. PPN dikenakan pada nilai top up tersebut sesuai dengan tarif yang saat ini berlaku secara umum di Indonesia yaitu 11%. Untuk menghitung biaya top up yang dikenakan PPN, berikut adalah langkah-langkah yang dapat diikuti: 

1. Tentukan nilai top up: Tentukan jumlah uang yang ingin di-top up untuk layanan yang bersangkutan. Misalnya, ingin top up e-money sebesar Rp 100.000. 

2. Ketahui biaya atas layanan top up: Sebagai contoh ketika melakukan top up e-money, terdapat biaya atas layanan top up. Misalnya biaya atas layanan satu kali top up adalah Rp1.000. Nah yang dikenakan PPN 11% adalah biayanya, bukan jumlah transaksinya. 

3. Hitung jumlah PPN: Kalikan biaya atas layanan top up dengan tarif PPN yang berlaku yaitu 11%. Dalam contoh ini, Rp 1.000 x 11% = Rp 110. 

4. Hitung total biaya: Jumlahkan nilai top up, biaya atas layanan top up, dan jumlah PPN atas layanan top up yang telah dihitung sebelumnya. Dalam contoh ini, Rp 100.000 + Rp 1.000 + Rp 110 = Rp 101.110. 

Jadi, untuk top up e-money sebesar Rp 100.000 dan biaya atas layanan top up dengan tarif PPN 11%, total biaya yang harus dibayar adalah Rp 101.110. 

Pengguna e-money diharapkan untuk memperhatikan pengenaan PPN ini saat melakukan top up atau pengisian ulang saldo. Hal ini penting agar pengguna dapat mengatur anggaran keuangannya dengan baik dan memperhitungkan besaran PPN dalam transaksi menggunakan e-money. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun