Mohon tunggu...
Farah Hsnafzyh
Farah Hsnafzyh Mohon Tunggu... Mahasiswa

Komunikasi dan Penyiaran Islam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Panik di Ambang Dewasa: Ketika Ekspetasi Tertabrak Realita

21 Juni 2025   08:55 Diperbarui: 21 Juni 2025   19:10 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/7uBKDIIEC

"Sudah tertinggal kah aku?"

Pertanyaan itu belakangan ini menjadi gema di kepala banyak anak muda, Usia 20-an yang katanya masa paling produktif justru terasa penuh tekanan. Beban mental yang dialami generasi muda ini bukan hanya perasaan pribadi,tapi terbukti secara data. 

Berdasarkan laporan dari Harvard Graduate School of Education dalam riset bertajuk On Edge (2022), sebanyak 36% Gen Z mengalami gejala kecemasan, dan 29% mengalami depresi. Sementara itu, studi terbaru dari Arta Finance (2024) menyebutkan bahwa 38% anak muda merasa hidupnya seperti sedang mengalami "krisis hidup", terutama karena tekanan ekonomi, ketidakpastian karier, dan ketakutan akan masa depan.

Menurut Harvard & CDC (2024), hal ini mencerminkan kenyataan yang mungkin kita alami atau lihat di sekitar kita, Saat hidup bergerak terlalu cepat dan ekspektasi yang menumpuk, banyak anak muda akhirnya merasa hancur dalam diam. Inilah yang disebut Quarter Life Crisis tanda zaman yang semakin nyata.

Sementara Menurut Arnett (2014), usia 18--29 tahun disebut sebagai fase emerging adulthood, yaitu masa transisi dari remaja menuju dewasa yang ditandai dengan banyaknya ketidakpastian: soal karier, keuangan, hubungan, hingga jati diri. Fase ini juga menjadi titik munculnya Quarter Life Crisis (QLC) sebuah krisis emosional yang kini dialami jutaan generasi muda di seluruh dunia. Mahasiswa tingkat akhir, fresh graduate, hingga pekerja awal karier, banyak yang mengaku cemas soal masa depan, merasa tertinggal, dan gagal memenuhi ekspektasi yang mereka bangun. Fenomena ini bukan sekadar tren media sosial, tapi krisis psikologis nyata yang berdampak serius bagi masa depan generasi.

Quarter Life Crisis: Tanda Zaman atau Cermin Kegagalan?

Permana dan Sulastri (2025) menjelaskan bahwa Quarter Life Crisis muncul sebagai tekanan psikologis akibat ketidakpastian arah hidup dan banyaknya pilihan dalam masyarakat modern. Zaman sekarang serba cepat dan kompetitif. Kita dituntut untuk "tahu passion sejak dini", "sukses sebelum 25 tahun", dan "punya target hidup yang jelas", padahal kenyataan sering jauh dari harapan. Banyak anak muda akhirnya merasa gagal karena Mereka terjebak dalam ekspektasi yang tidak realistis dan tekanan untuk tampil sempurna. Tak heran jika banyak yang mengalami stres berkepanjangan hingga kehilangan arah.

Berdasarkan data Kemenkes (2023), sekitar 6,1% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (2024) mencatat angka pengangguran mencapai 7,2 juta jiwa, dengan kelompok usia 15--24 tahun sebagai penyumbang tertinggi (16,42%). Kondisi ini memperlihatkan bahwa anak muda tidak hanya menghadapi tekanan psikologis, tetapi juga realita sosial dan ekonomi yang tidak ramah terhadap proses pendewasaan.

Robbins & Wilner (2001) menyebut QLC sebagai dampak dari jurang antara realita dan ekspektasi: ketika generasi muda dituntut untuk sukses secara instan, padahal belum cukup matang secara emosional maupun sosial. Maka tak berlebihan jika kita menyebut Quarter Life Crisis bukan hanya persoalan individu, tapi juga refleksi dari kegagalan sistem sosial kita yang minim pemandu namun kaya tekanan. Dalam situasi seperti ini, anak muda ibarat pelari yang dituntut cepat, tapi tak pernah diberi peta arah.

Curhatan Quarter Life Crisis di Dunia Nyata
Di dunia maya, banyak curhatan Gen Z yang menunjukkan bahwa QLC bukan teori kosong. Menurut penelitian kualitatif oleh Wulandari & Wahyuni dalam G-Couns (Maret 2025), dua partisipan dari kalangan Gen Z menunjukkan gejala Quarter Life Crisis yang sangat nyata. Salah satu gn z berumur 22 tahun berkata, "Saya merasa ragu dalam mengambil keputusan penting dalam hidup saya... Kadang saya merasa yakin, tapi besoknya saya ragu lagi." Sementara lainnya yang berumur 24 tahun mengungkapkan, "Saya sering merasa tidak pantas atas pencapaian saya sendiri... tanggung jawab semakin banyak dan saya merasa tidak siap." Studi ini memperjelas bahwa QLC bukan hanya ketidakpastian sesaat, tapi krisis emosional yang muncul dari beban hidup dan tekanan sosial yang terus meningkat
Generasi muda sedang butuh ruang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun