Mohon tunggu...
Farah IffatJihan
Farah IffatJihan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional yang memiliki ketertarikan di bidang kepenulisan, seni, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keterlibatan Anak di Bawah Umur demi Egoisme Faksi dalam Perang di Sudan Selatan

18 Mei 2024   14:55 Diperbarui: 18 Mei 2024   15:08 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seringkali polemik lintas batas yang terjadi cukup lama, lalu "diselesaikan" menggunakan perjanjian formal, tidak akan langsung menghilangkan kerugian yang telah terjadi. Apalagi dalam permasalahan yang melibatkan budaya dan kepercayaan sehingga masih akan ada serpihan polemik yang ditinggalkan. Pada tanggal 15 April tahun 2023 lalu, terdapat gejolak konflik antara dua faksi militer di Sudan Selatan. Gejolak ini tidak serta-merta muncul begitu saja, kekacauan pada faksi-faksi pemerintahan yang tengah memperebutkan kekuatan di Sudan terjadi sejak tahun 1980-an. Meskipun sempat terselesaikan, ditandai dengan kemerdekaan Sudan Selatan di tahun 2011, akar permasalahan konflik tersebut tak kunjung diselesaikan sehingga terus terjadi gejolak polemik hingga saat ini. Faksi-faksi yang tengah berkonflik tersebut akan melakukan apapun untuk mencapai kepentingannya, termasuk mengorbankan masa depan anak-anak dari masyarakat Sudan. Perekrutan anak dibawah umur yang didoktrin untuk menjadi child soldier di Sudan Selatan menjadi isu substansial dalam permasalahan lintas batas. 

Sebelum terpecah, Sudan Selatan dan Sudan Utara adalah satu negara yang sama. Meskipun demikian, masyarakatnya memiliki perbedaan kepercayaan dan ras. Kedua wilayah tersebut mengalami konflik yang berkepanjangan dan berakhir pada tanggal 9 Juli 2011 yang ditandai oleh kemerdekaan Sudan Selatan. Konflik yang terjadi sejak lama tersebut berpengaruh pada gejolak konflik di Sudan Selatan tahun 2023. Keterkaitan tersebut dapat dilihat melalui keterlibatan Bashir Al Omar, merupakan Pemimpin Sudan yang diduga melakukan genosida, yang akhirnya dikudeta (Pendle, Palmer, dan et al 2023). Kepemimpinan Bashir dinilai merugikan Sudan dan menunjukkan keberpihakan pada Israel dan Amerika Serikat. Abdel Fattah Al Burhan dan Hamdan Dagalo beraliansi untuk mengkudeta Bashir dari jabatannya. Dari sinilah kompleksitas aliansi dalam perang sipil di Sudan Selatan. Abdel Fattah yang menjadi pemimpin Sudanese Armed Forces (SAF) berebut kekuasaan dengan pihak paramiliter yakni Rapid Support Forces (RSF) yang dipimpin oleh Hamdan Dagolo (Guardian 2024). Puncak konflik antara RSF dan SAF terjadi pada tanggal 15 April 2023 di area Darfur yang masih belum selesai hingga saat ini. 

Perang sipil di Sudan Selatan ini memberikan gambaran buruk kepada masyarakatnya. Pembunuhan dan peperangan tidak hanya dilakukan oleh faksi-faksi yang berkonflik, namun juga melibatkan partisipasi masyarakatnya untuk terjun dalam perang, termasuk anak-anak. Fenomena prajurit anak atau child soldier merupakan fenomena yang sering ditemui di wilayah perang (Haer 2018). Hal yang mendorong anak-anak untuk menjadi tentara bayaran adalah kurangnya pondasi ekonomi dan pendidikan. Kondisi konflik atau perang juga menjadi faktor pendorong meningkatnya angka prajurit anak. Penggunaan anak-anak di bawah umur untuk menjadi bagian dari faksi militer yang tengah berkonflik tidak hanya berseberangan dengan hukum internasional, namun juga akan berpengaruh pada anak-anak tersebut serta keberlanjutan masyarakat keseluruhan. Salah satu alasan faksi-faksi tersebut memanfaatkan anak-anak adalah untuk mereproduksi pemahaman yang mereka percayai sehingga tujuan tiap faksi akan tercapai dan adanya pewaris upaya-upaya tersebut. Fenomena ini pula yang terjadi pada Perang di Sudan Selatan. Baik pihak militer pemerintah, maupun paramiliter di Sudan Selatan memerintahkan anak-anak untuk berperan sebagai pengawal, staf pos pemeriksaan, dan peran dukungan keamanan lainnya. 

Asepek agama, yang dimodifikasi sesuai keinginan faksi, digunakan sebagai propaganda agar nilai mereka dapat diterima dan mendukung upaya RSF untuk menghadapi serangan suku lain atau membalas dendam atas pembunuhan. Para prajurit anak direkrut untuk berperang dan bermusuhan dengan satu sama lain tanpa mengetahui kebenaran ajaran dan fakta dibaliknya. Seiringan dengan doktrinasi anak-anak untuk berperang, RSF juga dinilai memobilisasi anak-anak perempuan dari Khartoum ke Darfur untuk dijadikan prostitusi bagi tentara-tentara mereka (ADF 2023). Kurangnya akses pendidikan dan banyaknya anak-anak terlantar membuat mereka menjadi target yang mudah dipengaruhi. Fenomena keterlibatan prajurit anak atau child soldiers dalam perang sipil di Sudan Selatan tentu menarik respons dari komunitas internasional, terutama PBB dan Unicef. Pada tahun 2020, Pemerintahan Sudan Selatan menandatangani UN Action Plan untuk memberantas child soldiers dan mengembalikan anak-anak tersebut kepada keluarganya 

Meskipun telah menandatangani perjanjian tersebut, realitas fenomena child soldier masih belum mengalami penurunan yang signifikan dalam perang sipil di Sudan Selatan. Hingga saat ini terdapat tentara-tentara yang tidak dapat memenuhi standar sehingga perekrutan anak-anak dibawah umur untuk menjadi prajurit masih dilakukan (Stimson 2023). Dalam upaya pemberantasan fenomena child soldiers tentu merupakan isu yang memerlukan waktu dan proses yang lama. Hal ini disebabkan fenomena ini sendiri memiliki akar masalah yang dalam dan tentu tidak bisa diakhiri begitu saja melalui perjanjian internasional. Doktrinisasi yang dilakukan kepada child soldiers telah telah berlangsung lama. Keluarga dari anak-anak tersebut juga mayoritas telah terbunuh, sehingga reintegrasi dan pengembalian anak-anak yang pernah menjadi prajurit akan sulit (Matiyas 2018). 


Isu keterlibatan anak-anak dalam perang sipil Sudan Sedan telah terjadi sejak lama dan dipengaruhi oleh keadan politik yang tidak stabil. Selama perang dan power seeking behavior yang dilakukan oleh faksi yang berkonflik terjadi secara agresif, maka korban-korban child soldier akan terus bertambah dan isu ini akan sulit diberantas. Penulis berpendapat bahwa penandatanganan perjanjian internasional untuk memberantas permasalahan ini perlu diiringi dengan political willingness dari pemerintah. Akan tetapi, hal ini juga sulit dilakukan karena Sudan Selatan merupakan negara yang memiliki pondasi budaya dan kepercayaan berbeda yang cukup kuat. Kesadaran masyarakat serta upaya penyelesaian konflik tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Sudan Selatan dapat menjadi salah satu cara untuk mengatasi isu tersebut.


Referensi 

ADF (2023). Witnesses Report Use of Child Soldiers in Sudan's Conflict. [online] Africa Defense Forum. 

Guardian staff reporter (2024). What caused the civil war in Sudan and how has it become one of the world's worst humanitarian crises? [online] the Guardian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun