Tak ada yang lebih terkesan dengan harta Anda dibanding Anda sendiri
Begitulah tulis Morgan Housel di bab delapan dalam bukunya yang berjudul The Psychology of Money yang sudah pernah saya bahas sebelumnya.
Dalam suatu waktu, mungkin kita pernah menginginkan barang-barang mewah, namun apakah sebenarnya kita benar-benar ingin memilikinya, atau justru hanya agar ingin dilihat orang lain? Seringkali banyak dari kita membeli barang hanya untuk pamer kepada orang lain, membeli sesuatu hanya agar dilihat orang lain dan berharap pujian dan rasa hormat. Rasa-rasanya kita pernah melihat orang seperti itu, atau malah orangnya adalah kita sendiri. Kita berpikir barang mewah akan membuat orang berpikir tentang kita seperti "wow, orang itu keren", padahal kenyataannya belum tentu seperti itu, boleh jadi orang tidak peduli sama sekali dengan kita.
Kita berpikir bahwa barang mewah memberi sinyal kuat kepada orang lain bahwa kita sudah berhasil, cerdas, kaya, berselera, penting, dan sebagainya. Kehormatan kita seakan-akan terletak pada sebuah benda, yang mana benda tersebut bisa hilang dan lenyap.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa dalam konteks barang mewah, kita jarang memikirkan "orangnya" kita seringkali lebih memikirkan "barangnya". Ketika kita melihat seseorang mengendarai mobil atau barang-barang keren, kita jarang berpikir "wow, orang yang menggunakan mobil itu keren". Malah kita berpikir "wow, kalau saya mengendarai mobil itu, orang lain akan berpikir saya keren. Disadari atau tidak disadari, itulah yang mungkin dipikirkan banyak orang. Ada paradoks di sini.
Kita berpikir dengan memiliki barang mewah orang lain akan melihat kita itu orang yang keren, padahal saat kita melihat orang lain, kita tidak berpikiran seperti itu. Kita malah lebih fokus ke "barang" dari pada "orang" tersebut. Saat kita sudah memiliki barang-barang mewah, orang lain juga berpikiran sama dengan kita, tidak menganggap kita keren, mereka lebih membayangkan jika mereka ada di posisi kita. Contohnya adalah ketika ada orang naik mobil mewah, orang lain tidak berpikiran bahwa orang di dalam itu keren. Tapi malah berpikir bagaimana jika dia berada di posisi orang yang naik mobil itu dan membayangkan dia akan dianggap keren oleh orang lain. Di sinilah paradoksnya. Pernah kita berpikir seperti itu?
Ini tidak terjadi hanya dalam hal mobil saja, namun juga barang-barang lainnya. Apakah orang lain sebenarnya peduli dengan kita? mungkin tidak. Mungkin mereka lebih peduli dengan barang yang  digunakan, bukan orangnya.
Orang cenderung ingin kekayaan sebagai sinyal ke pihak lain bahwa dirinya harus disukai dan dikagumi. Namun, kenyataannya orang lain sering tidak mengagumi kita, mereka menggunakan kekayaan kita sebagai patokan mereka untuk disukai dan dikagumi. Coba kita tanyakan pada diri kita sendiri, apakah saat kita ingin sesuatu hal yang mewah, keren, dan lain sebagainya. Apakah kita benar-benar ingin barang itu atau kita ingin rasa hormat dan kagum orang lain? Ini bukan berarti kita tidak boleh membeli barang yang keren dan sebagainya. Namun niatnya, apakah saat kita membeli barang mahal hanya untuk dilihat orang lain agar dihormati dan dikagumi? Saya rasa, jika kita membeli barang mewah untuk mendapatkan hormat dan kagum, itu tidak akan bertahan lama.
Jika kita ingin mendapatkan rasa hormat dari orang lain, kerendahan hati, kebaikan, dan empati akan lebih banyak mendatangkan rasa hormat daripada harga mobil. Buku ini membuat saya sadar, bahwa untuk rasa hormat bukan terletak pada barang, namun sesuatu hal yang ada di dalam diri kita. Nah, jika kita terus menerus menggunakan barang agar dihormati orang lain, bagaimana jika barang itu sudah tidak ada, karena barang-barang adalah hal yang ada di luar kendali kita. Boleh jadi, saat barang sudah tidak ada, rasa hormat pun juga tidak ada, hanya sebatas barang. Berbeda dengan hal-hal yang bisa kendalikan seperti attitude dan sebagainya. Itu akan bertahan lebih lama dan bisa kita bisa menjaganya, berbeda dengan barang yang bisa hilang dan rusak dan itu di luar kendali kita, tetapi hal yang ada di dalam diri, kita bisa mengendalikannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI