Mohon tunggu...
Fantasi
Fantasi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Mikro

" When we are born we cry that we are come to this great stage of fools. " - William Shakespeare -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rasa Mual Membaca Berita 'Ndeso' dan Pansus KPK

7 Juli 2017   00:58 Diperbarui: 9 Agustus 2017   18:04 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari ini saya sering merasa mual.

Saya bisa memastikan rasa mual ini bukan karena saya hamil. Saya lelaki.

Juga, bukan karena gangguan pada sistem pencernaan. Munculnya rasa mual itu tak berkorelasi dengan kondisi makan - telat makan, kebanyakan makan atau mengonsumsi makanan tertentu.

Akhirnya, saya menyadari bahwa rasa mual ini muncul ketika saya membaca tulisan-tulisan di media massa (saya hanya membaca berita di media elektronika).

Mula-mula yang muncul hanya perasaan tak nyaman, seperti kalau akan bersendawa. Jika membaca lebih dari 10 menit, maka rasa mual itu semakin nyata. Ingin muntah, tapi tak ada yang akan dimuntahkan dari dalam perut. Akibatnya, saya semakin enggan membaca berbagai media elektronik (itu berarti kompas.com, detik.com dan tempo.co) yang dulu bisa menyita lebih dari 1 jam satu hari saya jelajahi.

Salah satu contoh berita yang membuat mual adalah tentang pengaduan penghinaan atau penistaan atau entah apalah (saya malas untuk memeriksanya lagi) karena ada yang menggunakan kata 'ndeso' di dalam vlog atau apalah. What ?!!! Berita apa ini ? Sempat saya lihat ada judul berita bahwa polisi akan memroses, tapi terakhir saya lihat lagi ada judul berita bahwa pengusutan pengaduan tersebut dihentikan karena dianggap mengada-ada. Rasa mual saya sedikit berkurang melihat judul berita terakhir. Untung masih ada Polisi Indonesia yang cerdas.

Penyebab mual berikutnya adalah berita tentang Pansus KPK yang dibentuk DPR untuk meng'interpelasi' KPK. Sempat saya mengumpulkan bahan-bahan karena ingin mengulas lengkap pertarungan KPK vs DPR.  Tetapi, rasa mual yang luar biasa membuat saya hanya bisa menulis ringkas tentang kejumawaan DPR yang ingin mengembargo anggaran KPK dan Kepolisian..

Saya menduga rasa mual itu disebabkan oleh ketidakmampuan saya memahami nalar para penggagas dan anggota pansus tersebut. Berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh anggota Pansus bagaikan akrobat badut yang sama sekali tak lucu. Otak saya yang pastinya tak sejenius para anggota dewan terhormat itu tak sanggup mengikuti logika pat gulipat mengapa DPR harus membuat Pansus KPK saat KPK sedang mengusut kasus mega korupsi e-KTP yang mengungkap keterlibatan banyak anggota DPR.

Rasa mual itu semakin menggelora ketika melihat judul berita Pansus KPK mengunjungi para terpidana korupsi. Berikutnya tayang judul berita pernyataan maling-maling uang negara itu bahwa pemeriksaan oleh KPK penuh tekanan bagaikan horor. Sebagai warga negara Indonesia yang memahami bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka di mata saya koruptor adalah sampah masyarakat yang maha bau. Setelah pengadilan panjang pada berbagai tingkatan membuktikan kejahatan mereka, eh.... mendadak sekarang sampah-sampah itu dengan difasilitasi DPR Pansus KPK bercuap-cuap. Alih-alih menarik simpati, pernyataan para maling itu bagaikan bau busuk yang membuat saya mual.

Semakin mual lagi melihat judul berita tentang anggota DPR berinisial FZ (menyebut nama lengkapnya akan menambah mual) yang menyinyiri penghentian kasus ungkapan 'ndeso'. Lalu, ada berita anggota DPR lainnya berinisial FH (menyebut nama lengkapnya akan menambah mual) yang menuduh adanya mobilisasi sekumpulan guru besar untuk mendukung KPK yang saat ini sedang diobok-obok oleh Pansus KPK. 

Bosan dengan berita di media utama, saya pikir lebih baik ber'kompasiana' saja. Eh, ternyata ketemu lagi artikel pseudo-cerdas yang membahas soal 'ndeso'. Lagi-lagi membuat mual.

Menulis artikel ini mungkin mekanisme tubuh dan psikis saya untuk 'muntah' dan membebaskan saya dari rasa mual.

Mudah-mudahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun