Mohon tunggu...
Fantasi
Fantasi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Mikro

" When we are born we cry that we are come to this great stage of fools. " - William Shakespeare -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tak Perlu Ganti Presiden untuk Naikkan Anggaran R&D (dan Tak Perlu Pula Uninstall Bukalapak)

15 Februari 2019   15:01 Diperbarui: 15 Februari 2019   16:32 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belanja R&D beberapa negara dan sumber pendanaannya

Pagi-pagi saya dapat pesan seorang teman yang mengabarkan telah mencopot (uninstall) aplikasi Bukalapak di perangkat androidnya dan mengajak melakukan hal yang sama. Alasannya : tak suka dengan cuitan CEO Bukalapak di Twitter yang mengajak ganti presiden dengan menyebutkan bahwa Indonesia memerlukan presiden bayru yang akan menaikkan anggaran R&D (research and development) agar Indonesia siap memasuki era Industri 4.0.

Menurut berbagai situs berita resmi, Achmad Zaky sang pemimpin, pendiri dan pemilik platform berjualan on-line itu mencuit Indonesia tidak mungkin siap menghadapi Revolusi Industri 4.0 dengan belanja R&D (2016) yang hanya US$ 2B ( alias 2 milyar dollar AS), sementara negara lain seperti Amerika Serikat mengeluarkan US$ 511 B, Korea US$ 91 B, Malaysia US$ 10B. Belakangan, setelah diprotes oleh pembaca cuitannya, diakui bahwa angka untuk Indonesia adalah untuk tahun 2013, tetapi menurut Zaky itu tidak akan mengubah secara signifikan posisi Indonesia sebagai negara yang sangat rendah pengeluarannya untuk R&D.

Terlepas dari ketidakakuratan angka R&D Indonesia tersebut, masalah sebenarnya adalah logika berpikir yang aneh untuk seorang CEO sekelas Achmad Zaky. Apakah cukup menaikkan anggaran R&D untuk membuat Indonesia bisa memasuki Industri 4.0 ? Apakah betul diperlukan pergantian presiden untuk menaikkan anggaran R&D ?

Pemerintah Indonesia sangat gencar mempromosikan Industri 4.0, sampai-sampai Rizal Ramli menyinyiri kebijakan tersebut. Menurut mantan menteri itu, Industri 4.0 tidak cocok untuk Indonesia karena akan menyebabkan pengangguran. Lebih baik Indonesia mengikuti jejak Jepang yang masuk ke era Industri 5.0 yang berpusat pada manusia.

Terlepas dari ngawurnya juga pernyataan Rizal Ramli (misalnya, tidak ada Industri 5.0, yang benar Society 5.0), setidak-tidaknya ada pengakuan bahwa Pemerintah giat menyongsong Industri 4.0. Meskipun terlambat dibandingkan beberapa negara Asean, Pemerintah sudah menyusun strategi memasuki revolusi industri 4.0 dalam suatu road map yang diberi nama Making Indonesia 4.0.

Dalam paparan A.T. Kearney, konsultan penyusunan road map tersebut, disebutkan bahwa penyusunan road map tersebut ditujukan untuk menjadikan Indonesia masuk sebagai global top 10 economy pada tahun 2030 dengan elemen sebagai berikut :
- Undisputed global leader : top 10 global economy
- Revive net export advantage : 10% net export
- APAC productivity-to-cost champion : 2 x current-productivity-to-cost
- Inspring the manufacturing tech revolution : 2% of R&D spending in GDP

Rendahnya pengeluaran R&D bukan tidak disadari oleh Pemerintah. Pada tahun 2045 ditargetkan belanja litbang nasional mencapai 4,2% dari PDB - setara dengan angka persentasi pengeluran R&D terhadap PDB Korea Selatan saat ini. 

Bukan target yang mudah dan dapat dicapai dalam waktu singkat, karena banyak sektor lain yang juga meminta dana, mulai dari infrastruktur, subsidi listrik, subsidi BBM, subsidi jaminan sosial, subsidi rumah murah, anggaran desa, angggaran daerah tertinggal, bantuan rakyat miskin, anggaran daerah perbatasan, angaran bencana, kesehatan, pendidikan, pertahanan, belanja pegawai negeri dan tentara, pembayaran bunga hutang dan hutang yang jatuh tempo...  

Menjadi pemimpin negeri haruslah bijak mengalokasikan dana yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang nyaris tanpa batas. Dengan menetapkan target pengeluaran R&D 2% pada 2030 dan 4,2% pada 2045, Pemerintahan Jokowi sudah melangkah dengan benar. Tapi, banyak orang-orang tidak sabar dan egois, maunya negara mendahulukan kepentingan kelompoknya saja tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih besar.

Perlu diperhatikan pula bahwa belanja R&D bukanlah berasal dari Pemerintah saja. Di negara-negara maju, pengeluaran R&D justru lebih banyak berasal dari sektor swasta. Di Jepang, misalnya, swasta berkontribusi 76%, sedangkan di China 74%. 

Di Indonesia, kontribusi sektor swasta masih sangat kecil, pada tahun 2015 hanya 17% dan sisa 83% dari Pemerintah. Partisipasi swasta dalam R&D inilah yang  juga yang harus dipicu melalui berbagai kebijakan terkait, seperti pemberian berbagai insentif dan penyediaan infrastruktur yang diperlukan oleh industri untuk melakukan penelitian dan pengembangan di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun