Mohon tunggu...
Fanny F. Putri
Fanny F. Putri Mohon Tunggu... Administrasi - stay at home mom, writer, translator

a lifelong learner in the school of life

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kunci Keberhasilan Pengembangan Wisata Danau Toba Ada di Kolaborasi

23 September 2021   15:42 Diperbarui: 23 September 2021   15:43 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan Danau Toba dari Bukit Holbung (dok. Facebook Dinas Pariwisata Kab. Samosir)

Siapa tak kenal Danau Toba. Bagi yang hobi melancong, danau kebanggaan tanah Batak ini biasanya masuk urutan teratas bucket list perjalanan mereka. Begitu pula dengan minat wisatawan asing yang cukup baik, dengan jumlah turis mancanegara sebelum pandemi Covid-19 berada di kisaran 230 ribu -- 270 ribu pengunjung per tahun pada periode 2015-2019 (data BPS). Tak hanya menjadi ikon wisata Wonderful Indonesia, pengakuan dunia juga sudah didapat dengan penetapan Kaldera Toba sebagai geopark dunia oleh UNESCO pada 2020 lalu.

Pengakuan UNESCO ini memberikan kesempatan bagi pengembangan ekonomi dan pembangunan di kawasan Danau Toba dan sekitarnya. Kawasan ini juga merupakan satu dari lima Destinasi Super Prioritas (DSP Toba) yang diusung Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun yang namanya pembangunan, manfaatnya datang beriringan dengan dampak pada kelestarian lingkungan/alam maupun kebudayaan lokal. Karena itu, ada catatan penting dalam pengembangan kawasan Danau Toba kelak, yakni harus ramah lingkungan, berkelanjutan, mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, dengan tetap memperhatikan sejarah, tradisi, serta karakter Toba itu sendiri. Tak ayal, ini menjadi tantangan besar bagi para pengelola negara untuk menciptakan ekosistem pariwisata yang sesuai dengan prinsip Heritage of Toba.

Mengapa menantang? Pertama, berkaitan dengan penerimaan masyarakat lokal terhadap eksploitasi alam dan budayanya. Bisa dengan tangan terbuka, tapi bisa juga ada resistensi pada bermacam perubahan yang akan terjadi. Kedua, pengembangan pariwisata yang selama ini sudah ada dijalankan secara parsial. Ada wisata sejarah, wisata seni dan budaya, wisata kuliner, wisata olahraga alam, hingga wisata pemandangan, yang semuanya berdiri sendiri-sendiri. Apabila dapat diintegrasikan, potensi keuntungan ekonomi dapat dimaksimalkan.

Tantangan ketiga adalah skala geografis kawasan Danau Toba yang ukurannya sudah seperti lautan, dengan luas 1.130 km2 dan kedalaman mencapai 500 m. Areanya meliputi beberapa kabupaten/kota yaitu Kabupaten Samosir, Toba, Simalungun, Karo, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, dan Dairi. Kondisi ini menuntut kerjasama pemerintah daerah setempat, baik dari segi personil, aturan hukum, dan penganggaran. Tak bisa dipungkiri, kecenderungan ego sektoral masih menjadi isu dalam pengelolaan pemerintahan.

Lantas, bagaimana menyikapi tantangan tersebut? Berikut sedikit sumbang saran saya.

Pendekatan bottom-up

Benjamin Franklin mengatakan, "if you fail to plan, you plan to fail". Kita sepakat bahwa tahapan perencanaan sangat penting. Lebih jauh, pendekatan yang dipilih juga menentukan kesuksesan sebuah proyek. Dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat, pendekatan bottom-up dapat menjadi pilihan. Dalam pendekatan ini, inisiatif pembangunan berasal dari masyarakat Toba untuk kemudian direalisasikan oleh pemerintah. Dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek, mereka yang menentukan keunggulan potensial yang akan diangkat, sekaligus sejauh mana eksplorasi bisa dilakukan tanpa melewati batasan secara adat dan tradisi. Peran pemerintah adalah sebagai penyedia daya dukung seperti infrastruktur, finansial, akses, promosi, branding, dan sebagainya. Sementara motornya, ada di masyarakat. Tentunya kita tidak menginginkan pembangunan besar-besaran yang ternyata tidak dibutuhkan oleh masyarakatnya.

Semangat kolaborasi

Menyaksikan video publikasi wisata Danau Toba pada laman resmi indonesia.travel, ternyata sudah banyak lokasi di sekitaran Toba yang menyuguhkan pengalaman wisata berbeda-beda. Kita bisa menengok rumah adat warisan Raja Sidauruk di Museum Huta Bolon Simanindo, ada juga Desa Huta Ginjang yang terkenal sebagai spot olahraga paralayang, pecinta adrenalin bisa bersepeda di Bukit Holbung, atau sekadar memandangi danau di Menara Pandang Tele. Saya rasa menarik apabila ini dibuatkan tur tematik yang berkolaborasi dengan penyedia jasa transportasi seperti bis DAMRI dan kapal feri, serta agen travel lokal. Jangan lupa untuk menyiapkan spot-spot foto yang instagramable, karena memang beginilah esensi jalan-jalan zaman now.

Penyusunan road map yang tepat sasaran

Dikarenakan banyaknya pihak yang terkait dengan proyek ini, maka diperlukan intervensi pemerintah pusat dengan membentuk sekretariat tim pengembangan wisata Danau Toba. Surat ketetapan tim ini harus menunjuk nama (bukan jabatan) dari berbagai pihak yang keahliannya dibutuhkan, dengan masa kontrak multiyears dan fee yang pantas. Tim akan bekerja berdasarkan road map (peta jalan) yang ditetapkan untuk periode tertentu, misalnya lima tahun. Road map tersebut menggambarkan kondisi eksisting, penetapan secara rinci target tahunan, rencana anggaran, dan penanggung jawab setiap tugas, serta bagaimana kondisi akhir yang diharapkan. Tim juga perlu melakukan evaluasi berkala dan hendaknya ada fleksibilitas anggaran apabila diperlukan. Dengan demikian, capaian proyek ini dapat diukur dengan tepat sasaran.

Revitalisasi Objek Wisata menjadi pusat industri/ekonomi kreatif

Objek Wisata Budaya Sigale-gale di Desa Tomok yang sudah cukup terkenal bisa 'disulap' menjadi pusat industri/ekonomi kreatif. Selain menjadi tempat pertunjukan tari legendaris tor tor sigale gale, tempat ini bisa juga dibangun menjadi tempat pelatihan atau coaching clinic pembuatan dan pemanfaatan ulos, membuat ukiran, belajar menari, belajar digital marketing, cara produksi yang ramah lingkungan, dan lain-lain. Programnya bisa benchmark ke pusat industri kreatif yang sudah ada seperti Bali Creative Industry Center, atau kalau mau mencontoh negara lain bisa belajar dari TCDC Thailand dan HKDC Hongkong. Tempat-tempat tersebut intinya bertujuan untuk menciptakan ekosistem kreatif.

Bangun tourist attraction center yang bikin 'ketagihan' 

Tidak semua wisatawan perlu sesuatu yang unik. Ada juga kok tipe turis mainstream, yang sukanya jalan-jalan untuk belanja oleh-oleh makanan atau suvenir khas daerah tersebut. Ambil contoh Pasar Chatuchak di Bangkok atau Queen Victoria Market di Melbourne. Nah, kalau Toba bisa membuat yang seperti itu, dijamin wisatawan betah dan ingin balik lagi.

Sebagai penutup dari saya, pemerintah juga bisa mengkondisikan pengadaan kegiatan MICE (meeting, incentive, convention, exhibition) dalam negeri melalui kampanye "MICE di Indonesia Aja". Seingat saya, hal ini pernah dilakukan untuk memulihkan ekonomi Kota Yogyakarta setelah bencana letusan Gunung Merapi 2010 silam. Saat itu para ASN diinstruksikan untuk memindahkan berbagai kegiatan yang biasanya diadakan di Jakarta atau Bali, ke Yogya. Hal yang sama bisa dijalankan di kawasan Danau Toba, sehingga kawasan ini tetap bisa hidup walaupun bukan musim liburan.

Kalau visinya sudah sama antara pemerintah dan masyarakat, maka kesuksesan pengembangan wisata Danau Toba sudah di depan mata. Horas!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun