Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elegi Sekuntum Melati

10 Februari 2023   05:32 Diperbarui: 10 Februari 2023   05:43 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tangannya trampil memegang sebatang spidol. Menggambar materi yang disampaikannya, misalnya tendon dan jaringan otot lengan dengan proporsional ke papan di hadapan kami. Mirip seorang pelukis tengah mengekspresikan imaginasinya ke kanvas. Tiap kali berbicara dengan ekspresi penuh percaya diri ia akan menyapukan tatapannya dari balik bingkai kacamata kepada kami yang duduk dengan muka tolol menikmati penampilannya.

Aku bertemu secara khusus dengan pak Bob tatkala mengunjungi teman kost yang habis menjalani operasi usus buntu. Ketika itu beliau sedang piket dan melakukan visite ke kamar Naning, temanku yang dirawat paska operasi. Begitu melihatku ia mengernyitkan dahi. Sambil masih menatapku ia menempelkan stetoskop ke dada Naning. Selesai menyuruh perawat pendamping mengukur nadi pak Bob menyapaku.

" bukankah engkau anak Psikologi?"
Aku mengangguk senang.
"Benar pak. Cara bapak menyampaikan materi kuliah sangat saya sukai," aku langsung menyampaikan pendapatku yang membuat beliau jengah.

"Terimakasih." Ia mengangguk sambil memberikan instruksi kepada perawat mengenai pemberian obat untuk sang pasien. Sebelum beranjak sekali lagi ia melemparkan tatapannya yang tajam kepadaku sambil tersenyum tipis.
"Aku selalu senang memberi kuliah di fakultasmu," katanya dengan nada ringan. "Siswinya cantik-cantik."
Ucapannya membuat wajahku memanas. Meskipun aku harus menganggap apa yang disampaikannya tidak serius.

Kami kembali berpapasan di lorong rumahsakit. Waktu itu aku bermaksud pulang selesai menjenguk. Pak Bob berjalan sambil menenteng tas kulit berwarna hitam. Tidak lagi memakai baju dinas. Spontan ia menjejeriku seraya menanyakan tempat tinggalku. Kusebutkan alamat kostku di jalan Setiabudi. Ia langsung mengatakan : kita sehaluan. Jadi dengan nada mendesak menyuruhku ikut mobilnya ketimbang harus naik angkot yang membutuhkan dua kali berganti kendaraan.

Meskipun canggung aku senang menerima tawarannya. Tak lama mobil Honda Jazz abu-abunya yang berbodi ramping membawa kami melaju menuju rumahmakan You di belakang rumahsakit Boromeus. Dengan nada mendesak ia menyuruhku menemaninya menikmati semangkok "Mie Masak" yang dipromosikannya sebagai masakan mie bercampur sayuran terenak di kota Bandung.

Langit sore itu cerah dengan semilir angin yang menyejukkan. Aku menuruti inisiatifnya yang mengambil tempat duduk untuk dua orang dengan meja berbentuk bulat dipadukan kursi rotan yang asri. Tepat dibawah naungan pohon kelengkeng.

Dengan cepat terbangun suasana akrab diantara kami. Terutama oleh sikapnya yang lugas dan hangat.

Aku akhirnya tahu pak Bob sudah menikah enam tahun lamanya. Belum dikaruniai anak. Pasangan itu sibuk dengan kariernya masing-masing. Istrinya seorang konsultan yang bekerja di sebuah firma hukum di Jakarta. Mereka praktis hanya punya waktu bersama tiap Jumat sore hingga minggu siang. Kala sang istri pulang ke Bandung menikmati libur akhir pekan. Terkadang kebersamaan mereka terpangkas oleh jadwal piket pak Bob di rumahsakit Imanuel.

Aku menikmati semangkok mie hangat sambil sesekali mencuri pandang ke wajahnya yang diselimuti kesepian. Menempatkan diriku sebagai seorang pendengar yang bersimpati terhadapnya. Namun aku berusaha menghindari hasrat untuk mengenal kehidupan pribadinya terlalu jauh. Karena kuanggap itu tidak pantas. Apalagi kami baru pertama kali bertemu dan secara kebetulan jalan bersama.

Kami menikmati kencan pertama dalam suasana yang hangat mengesankan. Menimbulkan hasrat untuk saling berbagi. Ini diulangi berulang kali. Terutama selesai beliau membawakan kuliah yang sering diselenggarakan sore hari. Setelah ia selesai menjalankan fungsinya sebagai dosen tetap di fakultas Kedokteran Unpad.  Sebagai Ketua Kelas seusai kuliah aku biasanya menghampiri sang dosen sambil menyodorkan daftar hadir siswa untuk ditandatangani. Pada saat itulah ia membisikiku, berharap aku menunggunya di area parkir.  Ia memiliki kekuatan magnetis yang membuatku tidak bisa menolak ajakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun