Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elegi Sekuntum Melati

10 Februari 2023   05:32 Diperbarui: 10 Februari 2023   05:43 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ia tidak lagi terlihat sebagai dosenku yang cerdas dan berwibawa. Tetapi tampil sebagai seorang lelaki; kekasih yang tampan dan menakjubkan.
Aku merangkak mendekatinya. Kuletakkan kepalaku ke dadanya yang meskipun tidak berotot nampak menggairahkan. Aku menciumi leher dan tubuhnya, lalu merambat menyusuri wajahnya. Sorot matanya lembut, sedikit sendu.

"Cintai aku sedikit saja," bujukku. "Tidak perlu sebesar cintaku kepadamu."
Aku mencoba membangkitkan gairahnya dengan menyusupkan tanganku ke bagian bawah perutnya. Sesuatu yang secara naluri mampu kulakukan lantaran didorong rasa cinta dan gairah. Namun Ia tidak menunjukkan reaksi. Mematung sambil menerawang menatapi langit-langit. Tangan kanannya menangkap kepalaku. Membelainya.

"Aku tidak akan menuntut apa-apa kepadamu," lanjutku seraya menujamkan tubuhku makin dalam ke tubuhnya. Erat dan melekat.

"Cukup bila sesekali kita menikmati pertemuan seperti ini," desahku penuh hasrat masih menciumi dadanya. "Engkau bahkan tak usah menikahiku."

Seketika tubuh pak Bob menegang. Ia meregangkan tubuhku. Memandangiku dengan tatapan luruh. Begitu sedih dan putusasa.
"Sungguh tidak adil untukmu," bisiknya. "Beri aku waktu untuk mencari solusi masalah kita," janjinya.

Lantas bumi terasa berhenti berputar. Kami mencoba menarik diri. Kehilangan nyali melanjutkan ke berduaan kami dengan gairah. Hanya berbaring sambil berpelukan.

"Aku seorang dokter. Jadi tahu persis akibatnya bila ini diteruskan. Terutama bagimu. Aku tidak ingin kelak engkau menyesali dan berbalik jadi membenciku."

Kata-katanya bagai titik-titik salju di musim dingin yang secara perlahan membuat bara api di tubuhku surut.  

Kami bangkit, tiba-tiba sadar waktu tengah bergulir menjelang senja. Sudah saatnya mengakhiri kencan kami.
Dalam perjalanan pulang kami saling membisu. Kehilangan kata-kata memaknai kebersamaan kami yang begitu singkat, tanpa harapan dan masa depan yang jelas.

"Beri aku waktu untuk mencari solusi terbaik buat kita berdua!" Ia mengulangi janjinya sembari menurunkanku di depan rumah kost. Meremas tanganku sebelum membiarkanku turun dan menghilang.

Besoknya aku berangkat kuliah sebagaimana biasanya. Menghampiri teman-teman yang tengah membicarakan sesuatu secara ekspresif. Aku mengikuti cerita yang mereka tuturkan bagaikan tengah menonton filem drama di bioskop. Seolah-olah itu berada di luar hidupku. Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun