Tuhan menjawab kegelisahanku minggu berikutnya. Seorang pemuda usia tiga puluhan lari menghambur ke arahku semenit setelah kereta Bima tiba. Berdiri di hadapanku dengan pandangan yang membuatku merasa sangat tidak nyaman.
'Pak Kris berpesan lewat istrinya  bahwa saya harus menemui seorang ibu yang sedang membaca buku di sudut kedai kopi," katanya dengan rona kesedihan.
"Saya asisten pak Kris. Setelah kepergiannya istri beliau mengirimkan barang ini dan menyuruh saya memberikannya kepada ibu."
Ia mengulurkan tangannya. Menjabat tanganku yang gemetar menerima pemberiannya.
"Paru-parunya meledak," ia menjelaskan. "Meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit."
"Kanker paru," bisikku tertahan. Ia mengangguk, "sudah lima tahun."
Lama setelah pemuda itu berangkat naik kereta menuju Surabaya -guna mengikuti misa arwah empatpuluh hari meninggalnya Kris - aku masih duduk bengong sambil memegangi syal yang kupinjamkan kepadanya di hari terakhir kami bertemu. Â
Beberapa menit kemudian suamiku turun dari kereta Gajayana yang tiba terlambat beberapa menit. Aku merasa begitu letih dan putus asa. Kusenderkan kepalaku di bahunya. Ia melingkarkan tangannya ke pinggangku. Pelukannya erat dan hangat. Menjanjikan kekuatan, ketulusan dan ketabahan.
 "Kita mampir dulu ke warung pak Maman?" Ia menawari ku.
Aku mengangguk patuh. "Aku tidak lapar. Tapi kalau kau ingin makan akan ku temani."
Kami berhenti di depan kantor PLN dekat alun-alun. Di sana ada warung yang menyajikan nasi dan mie goreng kesukaan kami. Sambil menunggu suami dan supir kami menghabiskan mie rebus aku keluar dari tenda  yang sumpek dipenuhi asap beraroma bawang goreng bercampur kemiri. Di luar ku tumpahkan air mata yang kutahan sedari tadi.
Langit tampil dalam ketemaramannya yang sempurna. Tanpa rembulan dan bintang-bintang. Kuangkat wajahku.  Hembusan  angin malam menerpa pipiku yang basah. Dingin mengiris kulit. Kupejamkan mata,  begitu merindukan kehadirannya.
"Kris datanglah," bisikku. Aku ingin mengajakmu bergabung bersama ku mendengarkan nyanyian angin: Â
                Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
                dengan kata yang tak sempat diucapkan
                Kayu kepada api yang menjadikannya abu
                Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
                dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
                awan kepada hujan yang menjadikannya tiada  (fan.c)
Syair dikutip dari puisi berjudul AKU INGIN , karya Sapardi Djoko Damono
       Â
                   Â
                Â