Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Stasiun Kenangan

4 Desember 2022   05:39 Diperbarui: 4 Desember 2022   06:02 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Kisah kami dimulai Jumat tengah malam, awal Desember dua tahun lalu. Ketika itu hujan deras mengguyur kotaku. Aku tengah duduk di kedai peron. Menikmati secangkir kopi sambil menunggu kedatangan kereta Gajayana yang akan membawa suamiku kembali dari Jakarta. Keleluasaan waktu kugunakan untuk membaca novel yang sengaja kubawa dari rumah.
Masih ada sekitar setengah jam lebih sebelum kereta tiba. Sesekali konsentrasiku terpecah oleh bunyi peluit panjang diiringi lagu "Di tepi sungai Serayu"  karya R Soetedjo sebagai isyarat kedatangan kereta di stasiun. Saat itulah seseorang menghampiri mejaku, menyibakkan keasyikanku sambil memanggil namaku. Suaranya yang parau nyaris tertelan bunyi curah hujan yang bising menghantam atap seng stasiun.
Aku bangkit dengan gugup. Tubuhku menggigil ditimpa kejutan yang sama sekali tak kupersiapkan menerimanya. Bahkan dalam alam mimpi terliar ku.
"Kris?" Bisikku tak percaya.
Ia mengangguk, mengambil tangan kananku yang gemetar dengan kedua belah tangannya. Menangkupkannya. Erat dan hangat. Lalu mengikuti isyaratku mengambil kursi seberang dan duduk .
"Berminggu-minggu kuamati engkau dari jendela," ungkapnya dengan napas memburu. "Engkau selalu duduk di meja yang sama. Asyik membaca buku. Engkau masih suka membaca. "
Aku tersenyum . Kehangatan perasaan menyusupi hati demi menyadari ia ternyata  masih ingat hobiku.
"Hari ini kuputuskan mendatangimu," katanya sambil bangkit. "Sayang waktuku habis," ia merentangkan kedua tangannya dengan menyesal tatkala mendengar bunyi peluit dan pengumuman yang menandai keberangkatan kereta Bima yang akan membawanya ke Surabaya.
"Kita ketemu Jumat depan!" Sayup-sayup kudengar suaranya, sebelum tubuhnya yang pendek dan kurus menghilang kedalam gerbong.
Deru hujan belum reda mengiringi gemuruh dadaku yang gelisah. Tak mampu mencerna yang sedang kuhadapi. Aku baru saja berjumpa dengan pria masa laluku. Yang sudah nyaris kulupakan tertelan masa berpuluh tahun yang lampau.
Sekitar sepuluh menit kemudian pria masa kiniku tiba. Langkahnya tegap tanpa tergesa-gesa menghampiri dan memelukku. Kami berjalan berbarengan keluar lewat gerbang selatan. Menuju mobil bersama supir yang sudah menunggu guna membawa kami pulang ke rumah.
                                                                 ***

Suamiku bekerja sebagai penyelia di sebuah perusahaan konstruksi di Jakarta. Berangkat setiap minggu malam dan kembali Jumat malam. Rutinitas ini sudah berlangsung puluhan tahun.
Dalam seminggu kami hanya punya dua hari untuk dinikmati bersama. Karena itu aku berusaha menciptakan suasana dan waktu berkualitas bagi kami berdua. Apalagi setelah anak-anak lulus kuliah dan ikut pindah untuk bekerja di Jakarta. Aku tidak ikut bergabung karena harus mengurusi bisnis yang kami rintis. Sebuah warung yang menjual beragam kebutuhan pokok.
Aku tidak ingin melepaskan usaha ini karena yakin bila suamiku sudah pensiun warung tersebut bakal mampu menunjang biaya hidup dan pengobatan bagi kami berdua tanpa membebani keuangan anak-anak.
Gara-gara Kris Quality Time kami jadi berantakan.  Aku kehilangan konsentrasi dalam bekerja dan mengurus rumah. Gelisah mengharap dan menghitung hari. Menantikan Jumat keramat  yang akan mempertemukan ku dengan pria yang pernah menjadi bagian  awal hingga akhir masa remajaku.

Jumat yang ku nantikan akhirnya tiba. Aku keluar dari kedai kopi menyongsong dia yang melompat turun dari kereta secara tergesa-gesa. Mengindahkan  kepantasan  kami saling menahan diri,  tidak menghambur berpelukan, walau aku sangat ingin melakukannya. Ia mengambil tangan kananku. Menggenggamnya erat sambil menancapkan tatapan  tajam ke seluruh penampilanku.
"Engkau tidak banyak berubah. Masih sama seperti yang ku bayangkan walaupun sedikit gemuk." Ia melepas genggamannya sambil mundur selangkah. "Aku selalu kangen padamu."
Ucapannya menyenangkan, karena aku tahu ia mengungkapkan sesuatu menurut apa adanya. Tidak dibuat-buat.  Kris yang kukenal sedari muda adalah lelaki jujur, bersahaja. Perbendaharaan katanya sangat terbatas, karena pada dasarnya ia sangat pendiam.
Sebelum berpisah ia menyerahkan bungkusan plastik. "Aku ingin engkau mengenang makanan ini," katanya sambil tersenyum pahit. Isinya arem-arem dan bakwan goreng.
"Buatan mamamu?" Tanyaku takjub.
"Bukan. Aku membelinya di depan kantor,"  katanya. Wajahnya berubah sedih. "Yang jual nenek-nenek. Ia mengingatkanku pada mama, rasanya juga mirip."
Sebelum berpisah ia menambahkan. "Mamaku sudah meninggal tiga tahun lalu. Sempat ikut aku pindah ke Surabaya setelah kami menikah."

Kris berasal dari keluarga yang membutuhkan tarikan napas sangat panjang untuk bertahan hidup. Ibunya menjanda sebelum berumur tigapuluh tahun. Waktu itu Kris baru berusia tujuh tahun. Ia anak tunggal.
Tanpa bekal keahlian dan ilmu yang memadai sang ibu berusaha membiayai keluarganya dengan membuat arem-arem dan gorengan. Setiap pagi sambil berangkat sekolah Kris mengirim dagangan ibunya ke pasar untuk dititipkan ke bakul jajanan. Ada pula yang dijual lewat kantin sekolah. Ia anak yang tabah melakoni jalan hidup dan takdirnya. Tidak malu dan jarang mengeluh.
Pulang sekolah dengan bersepeda ia mampir ke kantin dan pasar untuk mengambil uang yang disetorkan secara utuh kepada sang ibu. Hatinya gelisah bila jualan banyak yang tersisa.
Sebagai teman sebangku dari awal kami masuk SMP aku berusaha menolongnya dengan  menjual sisa panganan ke  warung dekat rumah. Esoknya uang yang kuperoleh ku setorkan padanya beserta laporan panganan yang tersisa. Biasanya  kumakan sendiri atau kubagikan ke adik. Itu kesepakatan kami. Namun perasaanku tidak enak kalau sedikit yang terjual. Karena aku sadar keberlangsungan hidupnya dan sang ibu bergantung dari penjualan makanan tersebut.

Kami punya banyak kenangan bersama sepeda tua milik Kris yang ia pakai untuk berangkat ke sekolah, mengantar panganan, mengambil setoran dan mengajakku berboncengan menyusuri kota pada hari libur sekolah atau Minggu.
Dengan kendaraan peninggalan ayahnya pula ia mengajariku mengendarai sepeda. Kami pergi ke stadion Widodo di jalan Overste Isdirman minggu pagi. Ia begitu bersemangat menyuruhku mengayuh sambil memegangi boncengan erat-erat.
"Gak usah kuatir. Aku pegangi gak mungkin jatuh!" Serunya menenangkan.
Sayang tubuhnya yang kecil tak mampu menahan semangatku mengayuh dengan keseimbangan tubuh yang buruk. Akhirnya kami sama-sama jatuh terjerembab. Peristiwa itu menimbulkan pengalaman traumatis bagiku. Sampai tua aku satu-satunya yang tidak bisa naik sepeda atau motor dalam keluargaku.

Jatuh dari sepeda terulang minggu berikutnya. Tapi itu lebih karena kesalahanku. Waktu itu kami sedang berboncengan menyusuri jalanan Sokaraja yang lapang dengan jajaran pohon Bungur di kedua sisinya. Hambaran sawah yang menghijau membangkitkan rasa puitis dalam diriku. Itu kuungkapkan sambil melingkarkan tanganku ke pinggangnya.
"Coba kau dengar Kris, ternyata angin bisa menyanyi," ungkap ku sambil memicingkan mata dan menengadah. Membiarkan angin bertiup menerpa wajahku, menimbulkan sensasi kenikmatan luar biasa.
"Apa iya? Kok aku gak dengar apa-apa?" Sanggahnya.
"Angkat wajah dan picingkan matamu!" Seruku yang celakanya dipatuhinya. Akibatnya fatal. Sepedanya oleng dan menabrak pohon pembatas jalan. Kami berdua tersungkur ke sawah. Untung tidak luka walaupun sekujur muka dan tubuh penuh lumpur.
Kuungkit  kembali peristiwa ini ketika bertemu Jumat berikutnya.
"Semua terjadi gara-gara mendengarkan nyanyian angin", katanya disela-sela ledakan tawa kami.
Sayang keriangan kami terputus oleh bunyi peluit, ketika ia harus kembali ke gerbong guna melanjutkan perjalanan.

Kris sangat gemar dan mahir melukis. Sesekali kalau sedang bosan mengelilingi kota kami  mampir ke suatu tempat yang sunyi,  duduk hampir setengah hari dalam hening. Dia mengeluarkan kertas dan pena untuk melukis burung, bunga, sawah atau sungai lengkap dengan gerakan airnya yang mampu ia gambarkan dengan dinamis, berikut ikan-ikan kecil yang meliuk di dalamnya.
Aku tak ingin mengusiknya, karena ia sangat membutuhkan konsentrasi ketika sedang melukis. Jadi kubawa bacaan  dari rumah. Mencari rimbunan pohon. Berteduh sambil membaca. Novel atau kumpulan puisi.
Kris adalah salah seorang yang memupuk kegemaranku untuk menyendiri. Menulis sesuatu sebagai ungkapan serta bentuk komunikasiku kepada orang lain tanpa terjebak dalam suasana hingar-bingar yang memang tidak kami berdua sukai.
Keheningan yang lama menghilang dalam hidup kembali kami nikmati dalam pertemuan Jumat berikutnya.
Sambil menyesap kopi yang sengaja ku pesankan sebelum ia tiba kami saling berpandangan tanpa kata-kata. Kuamati guratan-guratan tipis yang mengumpul di sudut matanya yang nampak lelah dan redup. Kulitnya kehitaman, kontras dengan rambutnya yang nyaris putih semua. Ia nampak begitu tua dan kurang sehat. Mengkhianati anganku yang membayangkan dirinya sebagai pemuda yang energik, muda dan tangguh. Gambaran itulah yang terpatri selama ini dalam ingatanku ketika kami berpisah setelah lulus SMA.
Karena ketiadaan biaya melanjutkan sekolah ia memutuskan hijrah ke Jakarta untuk mencari kerja sambil menumpang hidup di rumah pamannya dari pihak ayah. Karier terakhirnya dan kini masih dijalani adalah menjadi manajer design grafis di sebuah perusahaan reklame ternama. Jasanya banyak dipakai oleh pabrik rokok . Iklan rancangannya menghiasi sudut-sudut jalan di perkotaan.

Kami pernah menjalin kekariban sangat erat namun begitu pesimis terhadap keberlangsungannya sehingga tidak punya keberanian merancang dan mengikat janji bagi masa depan. Ia harus berjuang memperbaiki nasib sementara aku begitu ingin kuliah. Kami pun berpisah begitu saja tanpa kejelasan hubungan kami selanjutnya.
Beberapa kali aku pergi ke rumahnya menemui sang ibu. Berharap Kris menitipkan surat atau berkabar. Tapi hasilnya nihil. Akhirnya ia ku hapus dari perencanaan masa depanku. Aku berusaha melupakannya.

"Aku pernah datang ke rumahmu setelah mendapat pekerjaan yang mapan," katanya sambil menggenggam erat tanganku.
Pengakuannya mengirimkan gelombang panas kepedihan dan penyesalan di hatiku. "Yang menemuiku kakak sulungmu!" Ada nada getir dalam suaranya. "Waktu itu engkau baru sebulan menikah dan pindah ke Tegal! Aku yang minta dia agar tidak memberitahu kedatanganku."
Ia memutuskan menikahi sekretarisnya tiga bulan kemudian. Karena harus keluar dari pekerjaan istrinya memilih pindah ke Surabaya, tinggal bersama orangtuanya. Beberapa tahun kemudian mereka mampu membangun rumah sendiri. Kris lantas memboyong ibunya untuk hidup bersama hingga meninggal. Pernikahan mereka tak dikaruniai anak.
"Istriku wanita baik. Sabar dan tidak berisik. Hampir sepuluh tahun ia merawat ibuku yang terkena stroke." Ia membeberkan kehidupannya sekarang. Aku merasa ikut bersyukur baginya.
Setelah didera hidup miskin semenjak kanak-kanak sudah sepantasnya ia memperoleh semua yang terbaik untuk diri dan ibunya.
"Aku akan senantiasa mendoakan kebahagiaanmu," kataku tulus sebelum melihatnya memasuki gerbong keberangkatan .

Jumat malam berikutnya ia mendatangiku dengan kondisi meriang. Kulihat tubuhnya menggigil dibalik jaketnya, walaupun cuaca saat itu biasa saja.
"Kurasa setelan AC di kereta agak kegedean," kilahnya sambil meneguk kopi panas yang ku pesankan dengan buru-buru.
Aku bangkit, melepaskan syal wol yang ku kenakan. Tanpa canggung melingkarkannya ke lehernya.
"Kuharap ini bisa membantu," kataku cemas. "Periksakan dirimu ke dokter setiba di rumah."
Ia mengangguk patuh. "Akan kukembalikan syalmu minggu depan!"

Sayang Jumat berikutnya ia tidak muncul. Aku duduk gelisah mengamati keberangkatan kereta Bima. Tak menemukan sosok yang kuharapkan menghambur mendatangiku.
Jangan-jangan meriangnya berubah jadi flu berat yang mengharuskannya beristirahat total di rumah selama seminggu. Aku berusaha mengurangi kecemasanku lewat pengolahan penalaranku.
Jumat berikutnya ia kembali tak datang. Mungkin setelah tidak masuk seminggu pekerjaannya di kantor menumpuk sehingga memutuskan tidak pulang ke Surabaya.
Jumat ketiga kereta Bima tiba tepat waktu. Namun tidak kulihat Kris. Mungkinkah ia pindah naik kereta lain?
Benakku mulai dirasuki kegelisahan dan kepanikan yang mencapai puncaknya pada Jumat ke enam.
Aku  merajuk kepada Sang Pencipta. Tuhan Engkau tahu aku tidak mengharapkan sesuatu yang berlebihan di senja usiaku. Yang kuinginkan hanya sekedar merajut kembali kekariban dua orang kekasih lama yang kini telah saling memiliki dunia mapannya masing-masing tanpa saling mengusik. Waktu yang kuminta  juga tidak panjang. Hanya delapan hingga sepuluh menit per minggu di peron setasiun. Jadi aku mohon padaMu, jangan Engkau ambil waktu kebersamaan kami.  Biarkan Kris datang menemuiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun