Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balada Gadis Padang Hijau (2)

20 Desember 2021   02:35 Diperbarui: 20 Desember 2021   05:55 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menjelang dini hari aku terbangun ketika mencium bau busuk yang menyengat. Sebagian berasal dari tubuh sendiri. Sehingga aku hampir yakin diriku sudah meninggal dan kini jenazahku mulai membusuk. Sumber bau lainnya berasal dari mulut seorang lelaki tua yang wajahnya berada hanya beberapa cm diatas wajahku. Ia sedang mencermati keadaanku dengan gelisah. Ekspresinya memudar tatkala aku mulai membuka mata.

"Syukurlah kau tidak mati!" Katanya dengan suara paraunya yang menjengkelkan.

Aku meraba keningku yang memar. Bekas hantaman benda tumpul yang cukup keras. Kepalaku serasa berdenyut-denyut. Sementara seluruh tubuhku menjadi kaku lantaran terbalut lumpur yang mulai mengering.

Aku mencoba menjernihkan pikiran. Berangsur ingatanku pulih. Sadar kini aku sedang dalam bahaya. Berada di bawah kekuasaan seorang pembunuh didampingi pelayannya yang meskipun sudah tua namun badannya besar dan kekar. Gumamannya  tak jelas "a...a....u....u....!" Sambil menunjuk-nunjuk diriku.

Tanpa membangkitkan rasa curiganya aku mencoba bangun. Lelaki tua yang rupanya ayah Kencana membantu dengan menahan bahuku. Saat itulah secara reflek kudorong tubuhnya hingga tersungkur ke lantai. Sang pelayan yang mencoba menghadangku di pintu kuhadiahi bogel mentah yang rupanya lumayan. Ia surut sambil mengusap wajahnya seraya meringis kesakitan.

Aku lari secepatnya menjauhi bangunan yang belakangan kuketahui sebagai tempat tinggal tukang kebun keluarga Kencana. Semalam aku disekap di sana setelah dihantam hingga pingsan dan diseret dari kuburan yang tengah kugali.


Aku meluncur menerobos keluar dari hutan bambu, melewati padang rumput hingga mencapai rumah kecil berlantai dua yang kupondoki.  

Langit sudah mulai terang tatkala aku sampai. Kencana sedang duduk di undakan depan pintu masuk dengan kepala menelungkup. Entah sejak kapan. Dia langsung melompat bangun menyongsongku yang penampilannya mirip sesosok yeti nyaris tak berwujud itu. Menjerit ketakutan.

"Apa yang sudah terjadi denganmu!"

Aku menahan tubuhnya agar tak melekat ke tubuhku yang kotor luar biasa.

"Tidak apa-apa," sergahku. "Aku mencoba menangkap kelinci lantas terguling jatuh ke lumpur." Aku berdalih sekenanya. Eh dia percaya. Menyeringai sambil mengikuti ke kamar mandi.

Rasa cemasnya muncul kembali setelah kondisi tubuhku bersih dan melihat keningku yang benjol keunguan.

"Siapa yang memukulmu hingga seperti ini?" Ia mengusap wajahku.

"Entahlah..... seseorang mencoba membegalku tadi." Aku berusaha menghindar.

Spontan dia berdiri membeku.

"Semalam papaku turun dari vila. Apa dia yang melakukannya?"

Sorot matanya setajam pisau. "Dia mencoba membunuhmu?"

Aku berusaha menghimpun segenap kemampuan untuk meredakan kecemasannya yang kukuatirkan bisa memicu ledakan emosinya yang liar.  Kuraih dirinya. Memeluknya erat.

"Kencana, percayalah ayahmu tidak akan berani berbuat apapun terhadapku," bisikku menenangkannya. "Engkau harus percaya kepadaku."

Kuusap punggungnya. "Aku bisa melindungimu dan anak kita."

Agar tidak memperparah suasana Kencana kudesak pulang secepatnya. Siapa tahu sang ayah sedang menunggunya di rumah. Untung ia menurut.

Kini aku pun  tahu langkah hukum yangharus kutempuh guna menghadapi ayah Kencana: melaporkannya ke pihak berkewenangan. Untuk menguak lebih jauh misteri keluarga tersebut aku perlu mendatangi sang Kepala Desa yang notabene merupakan kakek Kencana. Mustahil ia tidak ingin mengusut kematian putrinya dan mengetahui keberadaan jazadnya sesungguhnya. Kuburan kosong itu telah berhasil mengelabui Kencana sepanjang hidupnya.

Namun respon yang Kuterima sungguh mengecewakan. Dengan alasan kasus itu sudah terlalu lama sang Kepala Desa justru mengatakan "Tidak berniat membicarakan masalah tersebut lebih lanjut".  Ia bahkan mengancam akan mengusir ku dari desanya bila terus menerus mengusik ketenangan hidup masyarakat serta keluarga Kencana.

Di desa ini rupanya yang gila bukan hanya keluarga Kencana!

Belum putus asa aku pergi ke kantor Polsek guna melaporkan kasus pembunuhan dan penghilangan jenazah ibu Kencana.

Aku diterima petugas yang sedang piket. Ia membuka berkas-berkas lama sebelum menyimpulkan kasus itu tidak pernah dilaporkan dan tidak pernah tercatat di situ.

"Jangan-jangan bapak termakan gosip masa lalu," kata sang petugas sambil menyengir sinis. "Kami hanya mengurusi peristiwa kriminal dan pengaduan yang berdasarkan fakta!" Lantas ia memandangku tajam sambil menekankan kalimat menjengkelkan. "Bukan berdasar gosip para emak-emak!"

Aku kembali ke rumah dengan lunglai. Namun masalah belum surut. Bahkan kini menghadangku.

Lelaki tua itu berjalan mondar-mandir di halaman rumah dengan gelisah. Kuamati dari jauh dirinya guna mengukur kekuatan fisiknya. Kusimpulkan dengan tubuhnya yang renta dan tak terawat tidak mudah baginya untuk mencelakaiku. Lebih-lebih tatkala aku sedang dalam kondisi siaga.

Jadi ia kusambut sambil berkecak pinggang. Siap tempur.

"Boleh aku masuk?" Tanyanya dengan suara parau yang mengeluarkan bau busuk.

Ia mencoba merangkul bahuku, tapi kukibas kan dengan kasar. Kugerakkan kepalaku memberi kode agar ia mengikutiku masuk ke rumah.

Tertatih-tatih ia mengikutiku. Duduk di ruang tamu tanpa berhasil menyembunyikan kegelisahannya.

"Rasanya tidak mudah untuk meyakinkanmu agar jangan mendekati putriku."

Ia memandangku. Wajahnya dipenuhi gurat-gurat kepedihan dan putus asa.  Meskipun begitu ia masih mencoba meyakinkanku.

"Percayalah. Itu juga demi kebaikanmu!"

Aku mengendurkan sikap konfrontatifku. Yakin lelaki ini bisa kukendalikan.

"Aku sungguh mencintai putri bapak dan ingin menikahinya." Aku mencoba meyakinkannya. "Jangan menghalangi kami seperti yang sudah-sudah."

Aku mendekatinya. Menggenggam tangannya.

"Bapak sudah membuat dia hampir gila karena terus-menerus ditinggalkan. Tapi aku tidak akan melakukannya!" Tekadku.

Namun ia terus menggeleng seraya menarik napas berat.

"Sesungguhnya engkau tidak tahu keadaan sebenarnya." Keluhnya seraya mencoba mengerahkan segenap upayanya guna meyakinkanku.

"Kencana adalah satu-satunya buah hatiku. Kau kira aku tidak mencintainya hah?"

Ia terus meremas dan mengguncang tanganku.

"Kau kira aku tidak ingin membuatnya bahagia?"

Aku bengong dihadapkan dalam situasi yang tidak kupahami. Karena dari penampilannya ia tidak memiliki aura kekejaman. Yang ada hanyalah sosok lelaki renta yang didera kepedihan dan keputusasaan. Amat jauh dari gambaran masyarakat selama ini. Ia membuatku kehabisan kata-kata.

"Apapun yang terjadi aku akan menikahi putrimu!" Kataku setelah keheningan diantara kami berlangsung beberapa menit.

"Aku berjanji akan merawatnya dengan baik." Kuserahkan sisa daya untuk meyakinkannya.

"Kalau begitu akan kuajak engkau mengetahui rahasia terkelam keluarga kami."

Ia bangkit. Mengajakku mengikutinya.

                                                                     ***

Ayah Kencana mengajakku pergi mengunjungi vila di atas bukit, tempat ia mengasingkan diri bertahun-tahun tanpa seorang pun tahu apa yang ia lakukan di sana. Termasuk Kencana.

Kami menyusuri jalan setapak berlandaskan bebatuan gunung. Sela-selanya tumbuh rerumputan liar yang tak pernah dibersihkan sehingga nyaris menutupi permukaan jalan. Aku mengikuti langkahnya sambil menyibak rumput yang tingginya hampir sepinggang dan daun-daunnya yang tajam bisa mengiris betis dengan hati-hati.

Lelaki tua itu sengaja membiarkan kondisi jalan seperti itu guna menghalau siapapun yang mencoba mengunjungi tempat peristirahatannya.

Setelah menempuh jalan hutan yang terus menanjak hampir sejauh satu km dan membuat napasku tersengal-sengal akhirnya kami sampai di bawah bangunan misterius yang bertengger di dinding gunung. Untuk mencapainya kami harus melangkahi anak-anak tangga yang jumlahnya ratusan. Jalan masuk dibatasi sebuah pintu besi yang dipasangi rantai dan terkunci. Mirip penjara.

"Sesekali kusuruh pak Tono datang untuk membersihkan rumah dan mengirim bahan makanan." Dia menyebut tukang kebunnya yang bisu-tuli sambil membuka gembok.

"Aku tidak ingin Kencana datang ke sini dan menyaksikan semuanya."

Bangunan dengan dua kamar itu memiliki teras menghadap punggung gunung. Aku berusaha mengatur napasku yang tersengal-sengal mengikutinya memasuki ruangan menuju salah satu kamar yang luasnya cukup mendukung untuk melakukan aktivitas harian.

Ada meja makan berkursi dua. Sofa panjang menghadap sebuah pesawat TV serta kamar mandi dalam. Meskipun bersih kondisinya sedikit berantakan.

Sesosok perempuan dalam balutan gaun panjang dan rambut terurai kusut masai berdiri mematung tengah berdiri di teras memunggungi kami. Lelaki itu mendekatinya dengan langkah perlahan. Membalikkan tubuhnya yang kaku bagai patung kearahku.

Aku terperangah menatap wajah tanpa ekspresi itu. Bagai kembaran Kencana. Menyimpan kecantikan abadi yang tragis.

"Dia ibu Kencana." Lelaki itu melingkarkan lengannya ke bahu perempuan yang sama sekali tidak menyiratkan cahaya kehidupan itu dengan penuh perasaan.

" kau pernah mendengar penyakit yang diturunkan selama beberapa generasi kepada kaum perempuan?"

Lelaki itu menarik napas dalam-dalam sambil menyusut wajahnya yang penuh derita. Memandangku lekat seraya mendekati istrinya. Mendudukkannya di kursi goyang dengan sikap amat lembut.

"Penyakit itu secara medis disebut Post Partum Psychosis. Istriku mewarisi ini dari nenek maupun ibunya. Keduanya meninggal di sanatorium dalam keadaan amat memilukan."

Kurasakan kerongkonganku kering. Disekat rasa haru.

"Aku membangun vila ini untuknya. Karena tidak ingin mengirimnya ke rumahsakit jiwa. Aku bertekad merawatnya sendiri."

Ia melemparkan tatapannya yang menyayat terhadapku.

"Suatu ketika aku pernah dicegah menikahinya oleh ayahnya. Karena gadis yang kucintai akan menjadi gila begitu ia menjalani proses melahirkan. Sampai saat ini penyakit ini belum bisa disembuhkan"

Ayah Kencana berusaha merapikan rambut istrinya dengan lembut.

"Namun aku terlalu mencintainya sehingga memutuskan membawa lari gadisku. Kami baru kembali ke sini tatkala istriku hampir melahirkan."

Wanita itu tidak menunjukkan reaksi apa-apa terhadap kehadiran kami. Ia seperti terbungkus dalam wadah kaca yang meskipun tembus pandang namun kedap terhadap segala yang ada diluar dunianya yang gelap.

"Aku terpaksa menjauhkan Kencana darinya semenjak lahir. Karena ia tidak mampu mengenali anaknya sendiri. Berulang kali berusaha mencekik atau membanting bayinya yang dianggapnya boneka."

Lelaki itu duduk di tangan kursi tempat istrinya bersender dengan tubuh kaku. Kudengar tangis lirih lelaki malang itu. Sejenak kemudian ia bangkit dengan ekspresi getir.

" tinggalkan Kencana," ratapnya sambil bangkit mendekatiku.

Aku belum pernah menyaksikan seorang lelaki sehancur itu.

"Aku tidak ingin engkau terjebak oleh cinta semacam itu." Ia memohon dengan amat sangat. "Kau tidak mungkin sanggup menjalaninya."

Aku masih berdiri tertegun sulit mencerna keadaan yang sangat emosional itu tatkala dikejutkan oleh jeritan menyayat dari teras di depan kamar.

Kami tidak sadar ternyata Kencana secara diam-diam membuntuti kami. Entah sejak kapan dia bersembunyi di situ mengikuti pembicaraan kami. Ia berdiri di hadapan kami dengan menyibakkan gorden penyekat kamar ke arah teras. Fungsinya untuk menghalangi sorot matahari yang langsung menimpa ke kamar.

Ledakan situasi ini rupanya berhasil meruntuhkan kestabilan mentalnya yang susah-payah kubangun melalui sikapku yang meyakinkannya, bahwa aku sungguh mencintai dan tidak akan pernah meninggalkannya.

Ia menunjukkan ekspresinya yang sangat kacau. Derai tawa lantangnya langsung disusul jerit tangis menyayat.

"Kalian bertiga penipu!" Ia berteriak kasar sambil memandangi kami  yang bengong sama sekali tidak memperhitungkan kemunculannya. Bola matanya berputar liar. Hatiku hancur melihat ekspresinya yang mirip orang kesurupan.

"Kalian bersekongkol ingin menghancurkanku!"

Ia mengacungkan telunjuknya bergantian ke arah kami bertiga. Lalu tatapannya terpaku terhadap sosok sang ibu. Memandanginya dengan ngeri.

"Aku tidak mau seperti itu!" Tatapannya diwarnai ekspresi jijik. "Aku tidak mau.....!"

Kencana mundur menuju pagar pembatas.

Aku merasakan sekujur tubuhku mendingin. Berusaha mencegahnya mundur lebih jauh dengan beringsut mendekatinya.

"Kencana, " bisikku selembut mungkin. " jangan ke situ. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu dan anak kita." Aku mencoba mengerahkan segenap upaya untuk meredakan ledakan emosi liarnya. Mengulurkan tanganku kepadanya.

Namun dia menggeleng. Tatapannya yang ketakutan dilemparkan ke sosok ibunya.

"Tapi aku tidak mau jadi seperti itu!" Lengkingnya berusaha mundur lagi lebih jauh.

"Oh tidak Kencana! Stop!" Teriakku panik. "Kamu jangan mundur lagi!"

Aku tidak berani melangkah lebih dekat guna mencegahnya surut lebih jauh. Karena di belakangnya membentang jurang yang kedalamannya entah berapa ratus meter. Berbatasan dengan tebing gunung Slamet.

"Aku bersumpah tidak akan meninggalkanmu."aku berlutut di hadapannya. Memohon ia berhenti dan meyakini kesungguhanku. "Aku mohon Kencana....." ratapku putus asa.

Ternyata upayaku tak mampu meredakan serangan kegilaannya.

Tatapannya yang mengerikan terus terpaku kepada sang ibu. Ia menggeleng seraya mengibaskan tanganku yang berusaha meraih ujung gaunnya yang berjuntai.

"Aku tidak mau jadi seperti itu!" Jeritnya. "Aku tidak mau jadi monster seperti itu!"

Kencana sungguh sudah kehilangan akal sehatnya. Ia terus mundur hingga mepet ke pagar pembatas.

"Aku tidak mau......!

Aku jatuh tersungkur tatkala berusaha meraih salah satu kakinya yang menaiki pagar pembatas teras.

Lengkinganku membahana berbarengan dengan teriakannya yang panjang "Aku tidak mau........!"

Lalu dengan sekujur tubuh lunglai aku menyaksikan kekasihku terjun disertai jeritannya yang kian lama kian sayup " Aku...... ti..........dak...............ma......"

Aku lari memburu ke arah pagar pembatas. Menyaksikan gadis yang kucintai terbang meluncur bagai burung layang-layang mengepakkan sayap  terjun ke bawah, menyisakan bayangan gaun putihnya yang berkibar tertarik daya tarik bumi makin mengecil hingga lenyap dari pandangan.

Teriakannya yang sayup menggema " Aku...... tidak mau......."

Selanjutnya sunyi senyap.

Matahari yang mulai naik ke titik kulminasi menyorotkan sinarnya yang kuat menyapu tebing gunung, menimbulkan kilatan warna keemasan. Namun jauh di bawah sana tidak nampak apa-apa. Dasar jurang tertutup tanaman perdu dan pakis-pakisan. Sesekali kudengar gemericik bunyi tetesan air yang muncul dari balik cadas diselingi lenguhan burung-burung liar pemangsa serangga.

Aku terus berteriak memanggil Kencana. Namun yang kudengar hanyalah gema suaraku sendiri. Makin lama makin parau hingga aku kehabisan suara. Terbelenggu oleh kesunyian berkepanjangan.

                                                                      ***

Hari-hariku bergulir menjadi minggu, bulan hingga tahun. Aku masih terus menjalani kehidupan yang diwarnai kesunyian berkepanjangan. Tak mampu mengolah peristiwa yang menimpaku dengan nalar, seolah segenap kesedihan bisa kulupakan begitu saja. Cukup dijadikan mimpi buruk yang bisa dihapuskan ketika kita terbangun keesokan harinya.

Hidup ternyata tidak sesederhana itu ketika kita jatuh cinta kepada seseorang yang kehadirannya dalam hidup kita cuma sekelebatan. Kencana itu mirip fatamorgana di padang gurun. Bila dipandang dari jauh begitu cantik memabokkan. Namun tatkala kita berusaha mendekati dan meraihnya, ia menghilang begitu saja.

Aku cuma bisa meratapi kepergiannya, dan merangkai kenanganku terhadapnya dalam tulisan panjang yang sedang engkau baca ini. Kenanganku kepadanya adalah kenangan kepada gadis terakhir dalam hidupku (fan.c)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun