Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lorong Kehidupan (2)

2 Oktober 2021   06:22 Diperbarui: 2 Oktober 2021   06:42 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Liang Hao tengah menungguku di wilayah perbatasan. Tanduku dihentikan di tengah jalan oleh anak buahnya. Keempat lelaki yang mengantarku berhenti. Menyibakkan kain penutup tandu dan mempersilahkan aku turun dengan wajah cemas.
"Siaocia tugas kami hanya sampai di sini," kata sang pemimpin sambil mengulurkan tangan membantuku keluar. Ia nampak begitu meresahkan keselamatanku.
Aku mengangguk. "Kini kalian bisa pergi," kataku tenang sambil mengamati ia mengosongkan isi tandu. Meletakkannya di jalanan.
Setelah mereka berpamitan dan pergi meninggalkanku Liang Hao dengan langkah tegapnya berjalan menghampiriku. Menyongsongku dengan wajah berseri-seri.
Ia telah menyiapkan sebuah kereta berukir indah dihela sepasang kuda yang gagah.
"Selamat datang selirku yang cantik," ujarnya dengan gaya menyanjung. " Aku telah menyiapkan semuanya untuk menyambut kehadiranmu dalam hidupku."
Aku bergeming. Membiarkan ia yang menghampiriku dengan sikap siap menghadapinya.

"Ajudan bupati yang terhormat," akhirnya aku menangkupkan tangan memberi hormat dengan sikap resmi begitu ia berada di mukaku. "Terimakasih tuan sudah membantu saya keluar dari keluarga Tsang."
Ia menunjukkan reaksi terkejut. "Ini apa-apaan?" Teriaknya. " Kamu jangan mempermainkanku!"
Aku menghampirinya. "Liang Hao," bujukku sambil meletakkan tangan di bahunya. "Engkau kini bukan lagi orang yang sama dengan kekasih yang kucintai dulu. Engkau sudah berubah. Dalam dirimu kini tersemat reputasi dan kehormatan keluarga bupati. Penguasa tertinggi daerah."
Aku memandanginya dengan tenang namun penuh kesungguhan.
"Jangan kau kotori nama baikmu dengan merebut istri orang, lalu menjadikannya selirmu." Aku memberanikan diri memeluknya. "Engkau akan menjadi bahan tertawaan orang. Termasuk seluruh keluarga istrimu!" Aku mengingatkannya.
Ia menggeleng dengan resah. Merenggangkan tubuhku. Namun tidak menyanggah ucapanku.
"Ayo lah," bujukku. "Kini kita impas. Tidak saling berhutang apapun. Biarlah kita menyusuri lorong kehidupan yang sudah digariskan takdir masing-masing. "

Akhirnya Liang Hao surut dari hadapanku dengan geram. Kembali ke keretanya diiringi para anak buahnya. Aku berdiri mengamati kepergian mereka dengan dingin. Pria itu sudah lama tidak ada lagi dalam hatiku. Sama seperti yang dia lakukan, menghempaskanku begitu saja tanpa upaya mengetahui keberadaan serta nasibku sekian tahun.
Sayup-sayup kudengar kereta itu beranjak menjauh disertai umpatan dan caci-maki Liang Hao terhadap keluarga Tsang yang tidak memenuhi janjinya terhadap dia. Dianggap sudah menipunya mentah-mentah.
Aku masih sempat mendengar seruannya. "Akan kubuat bangkrut keluarga itu!"
Namun aku tidak peduli. Bagiku mereka sudah bukan siapa-siapa. Sudah saatnya keluarga yang tidak pernah menghargai perempuan sebagaimana mestinya dihancurkan oleh seorang perempuan. Kendati harus meminjam tangan Liang Hao.

                                                                  ***

Berdiri di tepi jalan sendirian kuamati hamparan cakrawala di hadapanku yang Menampilkan keleluasaan alam. Setelah berhasil menutup buku masa laluku kini yang perlu kulakukan hanyalah membuka lembaran baru kehidupanku yang ingin kuisi dengan berbagai hal yang mencerminkan keberadaanku sebagai manusia bebas. Tidak terkekang tradisi yang sarat ketidakadilan terhadap kaumku. Dengan bekal yang diberikan keluarga Tsang rasanya aku mampu mengatur hidupku secara layak. Termasuk menyalurkan hasratku melukis dan menulis kaligrafi.

Keheningan tak berlangsung lama.
Dari kejauhan diantara kepulan debu menyeruak sebuah pedati berderak mendekatiku. Keretanya berbentuk sederhana, mirip milik petani yang biasa digunakan mengangkut hasil bumi.
Sayup-sayup kudengar suara bocah memanggil  bersama hembusan angin yang sepoi-sepoi menerpa wajahku.
"Ayi... Ayi...... kami datang menjemputmu."
Sang kusir yang sebagian wajahnya tertutup topi jerami melompat turun. Berdiri di sebelah kereta sambil membungkuk penuh hormat.
"Selamat datang siaocie," ia mengubah panggilan terhadapku disesuaikan dengan statusku yang sudah bebas.
Tuan Deng dan Yin-yin berjalan menghampiri. Keduanya menunjukkan ekspresi riang bersemangat.
Aku tersenyum lebar. Mengangsurkan tanganku. Memeluk Yin-yin dengan erat.
"Untung anda berdua bisa menangkap pesan yang tersirat dari kaligrafi yang kuberikan," kataku menarik napas lega. Dadaku bergemuruh dilimpahi kebahagiaan. Karena orang yang sangat kuharapkan akhirnya datang menjemputku.
Yin-yin melingkarkan tangannya yang kecil ke pinggangku. Merapatkan kepalanya ke tubuhku.
"Fujin sudah mempersiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan Ayi ke rumah kami," ia berpromosi. " kita juga punya kamar khusus untuk menggambar."
Aku mengangguk. Hanya mengangguk guna meyakinkan bocah itu bahwa aku siap mempersatukan hidupku bersama mereka. Tenggorokanku sesak tercekat rasa haru.
Namun seperti takut kehilangan ia masih terus berceloteh.
"Kita akan terbang ke angkasa mengejar pelangi seperti yang Ayi gambar." Ia merentangkan tangannya menunjuk langit.
Tuan Deng memandangku dengan pancaran matanya yang lembut. Lalu mengangsurkan tangannya. Membantuku naik ke kereta.
"Ayo," serunya sambil memberi isyarat kepada putrinya agar duduk dibagian belakang pedati.
"Mari kita tangkap mimpi-mimpi kita sebelum terlambat," bisiknya lebih ditujukan kepadaku.
Ia memandangku: hangat dan menjanjikan.  Lalu meraih tali kekang dan menyentakkannya.  Membawa pedati berderak maju menembus langit tak berbatas yang benderang dipenuhi warna-warni awan. (fani.c)

Setelah perkenalan pertama kami tuan Deng secara khusus meminta ijin kepada suamiku dan keluarganya agar memperbolehkan putrinya mengunjungiku secara rutin. Untuk belajar melukis dan kaligrafi. Ibu mertuaku bersikap tidak peduli. Namun suamiku sama sekali tidak keberatan.
Terkadang tuan Deng datang sendiri untuk mengantar atau menjemput putrinya. Biasanya diselingi berbincang sambil menikmati acara minum teh bersama suami. Namun bila sibuk ia akan menyuruh pelayan pribadi mengantar dan menunggui Yin-yin.

Kehadiran Yin-yin dan tuan Deng dalam hidup keseharianku mirip secercah cahaya rembulan di tengah kegelapan langit. Muncul sesaat sebelum tertelan kepekatan malam. Perasaanku kutuangkan ke kanvas, "MUNG XIA DE YE LIANG". Rembulan dalam impian.
Lama tuan Deng berdiri di depan kanvas. Mencermati karyaku. Lalu memandangku dengan sorot matanya yang tajam. Secara spontan ia mengambil kuas. Menambahkan "SHI WANG DE DAI YANG" , matahari harapan di bawah goresan penaku. Tersirat hasratnya yang kuat untuk menyemangatiku.
Ia kembali memandangku cukup lama sebelum mengembalikan kuas kepadaku.
"Engkau wanita cantik dan anggun," ujarnya dengan nada tulus. " bangkitlah seperti matahari yang terbit setiap hari. Bagikan sinarmu kepada sekitarmu." Lantas ia menyinggahkan tatapannya kepada putrinya. Hangat menyayangi. "Termasuk bagi kami berdua."
Kurasakan pelupuk mataku memberat oleh air yang tak mampu kucurahkan.
"Akan kuingat terus kata-katamu tuan Deng," kataku membuang muka. Tak kuasa menerima pandangan maupun hujaman kata-katanya.
Aku merasa begitu menderita terbelenggu oleh cinta yang tak mampu kutuntaskan. Kepada Yin-yin dan ayahnya.

Siapa yang menduga cercah harapanku muncul melalui tampilnya sosok lain yang sama sekali tak pernah kuperhitungkan. Siap meruntuhkan keluarga berumur ratusan tahun dan berdiri kokoh menjalani tradisi feodal yang angkuh itu.
Hari itu rumah keluarga Tsang ditimpa kepanikan dan kesibukan luar biasa.
Bupati yang baru berniat mengutus ajudannya berkunjung ke tempat tinggal dan area pemeliharaan serta produksi benang sutra milik keluarga Tsang sudah berjalan hampir empat generasi.
Pada masa itu seorang bupati punya kekuasaan bagai raja kecil. Dialah yang berhak menentukan besaran pajak serta upeti yang harus diserahkan terhadapnya untuk mengisi kas daerah serta kantong pribadi. Korupsi dan pemanfaatan jabatan sudah lazim terjadi. Apalagi sejak terjadinya revolusi yang berhasil menggulingkan kekuasaan kaum bangsawan dan tuan tanah. Beralih  ke tangan kaum buruh dan militer

Suamiku sebagai anak sulung adalah ketua marga serta pimpinan perusahaan keluarganya. Kelangsungan hidup generasi Tsang kini ada di tangannya. Sementara ia bukan lelaki berkarakter kuat. Kurang punya persiapan mental menghadapi kehadiran seorang pejabat daerah yang bisa membolak-balikkan nasibnya sesukanya.
Konon sang ajudan yang akan berkunjung adalah tangan kanan kepercayaan sekaligus menantu sang bupati.  Konon Selama ini dialah yang selalu tampil secara resmi guna melaksanakan berbagai kebijaksanaan demi melindungi kekuasaan serta kepentingan mertuanya. Hadi secara tidak resmi dialah Kepala Daerah yang sesungguhnya.      

Ajudan itu datang menjelang malam beserta beberapa orang anak buahnya. Tuan Tsang menyambutnya di gerbang masuk didampingi staf administrasi perusahaan. Termasuk jajaran pelayan dan kepala juru masak.
Ia lelaki yang pongah dan banyak tingkah. Berjalan tegap memasuki rumah tanpa mengindahkan suamiku dan para penyambutnya yang bersoja menangkupkan tangan dengan badan membungkuk terhadapnya. Postur tubuhnya kokoh. Langkahnya panjang dengan tangan terayun bebas. Khas cara berjalan orang yang lama berkecimpung  di dunia militer.
" Aku tidak melihat nyonya rumah ikut menyambutku!" Suaranya menggelegar sambil menyapu ruangan.
Saat itu aku berada dibalik partisi kaca yang menyekat ruang penyambutan dengan tempat perjamuan yang bakal digunakan untuk melayani para tamu kehormatan makan malam. Membantu mengawasi para pelayan wanita. Perasaan tidak nyaman langsung menyerangku demi mendengar suara paraunya yang jauh dari nilai-nilai kesopanan.
Suamiku tergopoh-gopoh mendekatinya sambil membungkuk berkali-kali. Ia tampak begitu mengenaskan.
"Panggil istrimu!" Sang ajudan menghardik. Membuat suamiku lari ke arahku.
Entah kenapa pemandangan ini membuatku merasa puas. Terutama tatkala menyadari lelaki yang selama ini menindasku hari ini bisa jatuh martabatnya secara menyedihkan. Mirip seekor tikus menghadapi kucing yang siap memangsanya.
Aku keluar dari balik partisi dengan langkah tenang di belakang suamiku. Menahan rasa kejutan yang bergelora di dadaku.
Kutentang pandangan sang ajudan yang menyapu seluruh penampilanku sambil menyungging senyum mengejek. Ia tidak nampak terkejut melihatku. Sebaliknya justru sangat menikmati pertemuan ini.
"Aiya....." ia berseru seraya mengusap dagunya berulang kali dengan gaya tengil.
"Pantas tuan Tsang begitu ingin menyembunyikan istrinya dariku!" Serunya diiringi tawa membahana. "Begitu cantik..... begitu muda..." ia mendecak lidah.
Pandangannya beralih kepada suamiku yang seketika pucat pasi.
"Padahal kehadiran nyonya ini  akan membuat suasana perjamuan jadi lebih menyenangkan!" Lanjutnya sambil mengerling genit kepadaku. Membuat wajah suamiku bagai terbakar.
Ia nampak murka menghadapi hinaan ini. Namun tidak berdaya. Reaksi konyolnya ini spontan menimbulkan efek sebaliknya untukku. Meningkatkan rasa percaya diriku yang lama hancur dijadikan permainan olehnya.          

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun