Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Bawah Pohon Yangliu (2)

24 April 2021   11:04 Diperbarui: 24 April 2021   11:10 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di depan pintu masuk rumah direktur Zhang yang mulai hari ini harus ku panggil Zhang Xien Shen ( tuan Zhang) aku dipapah turun oleh dua orang bibi. Tuan Zhang sudah berdiri menunggu. Kami berjalan beriringan menuju altar untuk bersama bersujud sambil membakar dupa melakukan ritual menyembayangi para leluhur.
Para tamu kemudian digiring menuju halaman yang sudah ditata menjadi area pesta. Ratusan meja berbentuk bulat yang masing-masing dikelilingi sepuluh buah kursi ditutup oleh taplak meja berwarna merah. Diatasnya sudah digelar puluhan hidangan mewah didampingi arak siap dinikmati para undangan.
Sebagai penghormatan kepada tamu aku disuruh mendampingi tuan Zhang beberapa saat menyapa para kerabat dan sejumlah tamu kehormatan yang berlomba mengajaknya bersulang untuk merayakan hari kebahagian ini. Sesekali tawa tuan Zhang meledak menanggapi gurauan bernada mesum para tetua keluarga itu. Aku tidak ikut menikmati suasana itu karena terhalang cadar. Untunglah sebelum perjamuan dimulai kedua bibi menuntun ku masuk menuju bilik pengantin. Sebelum meninggalkanku sendirian mereka mengajari ku hal-hal yang harus kulakukan bila nanti tuan Zhang memasuki kamar untuk menikmati malam pertamanya sebagai mempelai lelaki.
Merasa sendirian ku lepaskan cadar. Aku duduk di lantai yang ditutupi permadani sambil meluruskan kakiku yang kebas karena terlalu lama berlutut. Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki merunduk menghampiriku. Saat itu aku hampir jatuh tertidur.
Tangan kecil itu memegangi lenganku sambil mengguncang tubuhku. Ia seorang gadis kecil berumur sepuluh tahunan. Wajahnya berbentuk bulat penuh dengan bola mata  mirip kelereng. Kelihatan lincah dan cerdas. Ia langsung Memanggilku Zhang dai-dai sambil memperkenalkan dirinya sebagai pelayanku yang baru.
"Siapa namamu" tanyaku  mencubit pipinya yang kemerahan.
"Panggilanku Xiau Mei," katanya tersipu.
"Bagus!" Aku mengangguk. "Aku ada tugas pertama untukmu!"
Spontan ia mengguncang lenganku dengan semangat. "Apa?"
"Ambil limun dan dua potong mantouw atau bapao untukku," bisikku. "Aku haus dan lapar sekali karena sejak kemarin petang belum makan apapun."
Tanpa menunggu lebih lama ia langsung menghilang. Beberapa saat kemudian menghampiriku sambil menyorongkan sebotol limun disertai selang terbuat dari potongan bambu yang membuatku bisa minum tanpa tersedak. Lalu ia membantuku menyuapkan potongan bapao yang diisi irisan daging yang ku telan dengan lahap. Bocah pintar ini ternyata bermanfaat membantuku meneruskan hari baruku yang berat dan menjemukan. Beberapa kali kulihat ia mengamati ku dengan bengong. Lalu mengemukakan alasannya sebelum kutegur. "Dai-dai cantik dan masih muda sekali. Jauh lebih muda dari Zhang Sao Ye."
Yang ia maksud adalah putra sulung tuan Zhang yang sedang menempuh pendidikan ilmu kedokteran di Beijing.

Tengah malam hampir tiba ketika sayup-sayup kudengar para tamu dan undangan berpamitan kepada tuan Zhang yang suaranya parau terlalu banyak menegak arak.
Aku langsung menutup kembali wajahku dengan cadar. Berlutut di hadapan kursi yang akan diduduki tuan Zhang begitu memasuki kamar.
Tak lama kudengar langkahnya yang berat membuka pintu. Berdehem untuk menyatakan keberadaannya. Aku bergeming dalam posisiku. Menunggu ia melepaskan cadar yang sedari pagi menutupi wajahku. Panas dan pengab.
Beberapa saat kemudian tuan Zhang menghampiriku. Mencampakkan kain penutup itu sambil mengamati ku dengan ekspresi puas.
"Akhirnya aku berhasil mempersuntingmu." Napasnya sesak mengeluarkan bau arak yang menyengat ketika berada begitu dekat denganku. Ia mengulurkan tangannya mengangkat daguku. Menjejalkan mulutnya ke mulutku dengan kasar. Aku berusaha mengendalikan perasaan jijik dengan memejamkan mata dan menahan napasku. Mempelaiku, engkau cantik sekali." Ia akhirnya melepaskan ku. Duduk di kursinya sambil menyeringai.  Aku yakin ia dalam kondisi setengah mabok karena dicekoki terlalu banyak arak keberuntungan oleh teman-temannya.

Aku pergi ke kamar mandi mengambil baskom berisi air hangat yang sudah dipersiapkan kedua bibi tadi. Berlutut di bawah kursi yang diduduki tuan Zhang. Perlahan ku gosok kedua kakinya bergantian dengan cermat. Aku berusaha mengerahkan kekuatan tanganku untuk memijit dan menekan telapak kakinya untuk membuatnya nyaman. Setelah selesai menurut tradisi aku harus meminum air bekas cucian kakinya sebagai simbol kepatuhan istri kepada suaminya. Ia buru-buru mencegah tindakanku. " Tidak usah! Nanti kamu sakit perut!" Namun membiarkanku menggunakan bekas cucian kaki itu untuk membasuh wajahku.
Kukembalikan baskom ke tempat semula. Keluar dari kamar mandi tuan Zhang sudah menghadangku. Menghempaskan gaunku dan menjerembabkanku ke tempat tidur dengan kasar.
"Dua tahun lebih aku tidak menyentuh perempuan sejak kematian ibu anak-anakku!" Katanya sambil merangkak ke arahku. Lalu menjatuhkan tubuhnya di atas tubuhku. "Kamu membuatku gila!" Katanya. Dirobeknya  pakaian dalamku dan membuangnya. Kupicingkan mata agar tak usah memandangi air mukanya yang beringas ketika ia mengerahkan seluruh timbunan daya untuk menyalurkan nafsunya  menguasai ku.
Hampir satu jam harga diri dan tubuhku bagai tercabik-cabik melayani nafsunya yang tak terkendali. Penderitaanku berakhir tatkala ia mengerang dan terkapar di sebelahku. Tertatih aku bangun menuju kamar mandi. Meraih handuk putih yang disediakan kedua bibi. Kugunakan untuk membersihkan selangkanganku yang dipenuhi lendir dan darah lalu membuka pintu. Kulihat Xiao Mei sedang tertidur di luar kamar pengantin menunggui ku. Ku sepak ia hingga tergagap bangun. Lalu ku angsurkan handuk itu kepadanya untuk diberikan kepada kedua bibi yang sedang bergadang  di ruang keluarga. Ibu tuan Zhang sudah lama meninggal sehingga tugas itu diserahkan kepada kerabat dekat terpercaya. Mereka harus yakin tuan Zhang yang punya kedudukan sebagai ketua Marga -karena merupakan putra sulung dari anak pertama keluarga Zhang - tidak menikahi gadis yang telah tercemar kehormatannya.
Menjelang pagi selesai sudah tugas dan kewajiban pertamaku sebagai istri dan menantu keluarga Zhang mempersembahkan segenap jiwa-raga, kehormatan dan martabatku untuk keluarga baruku. Aku harus tabah menjalani nasibku seperti ibuku. Termasuk membekukan seluruh perasaanku terhadap Wang Qi.

Paginya dalam acara sarapan aku diperkenalkan secara resmi kepada seluruh anak tuan Zhang. Mereka sudah menunggu kami di ruang makan. Dengan tertib berjejer sesuai urutan usianya. Zhang Lung sengaja pulang dari Beijing untuk menghadiri acara pernikahan ayahnya. Usianya dua tahun lebih tua dariku. Wajahnya tampan dengan bentuk kening lebar dan penuh. Sangat mirip ayahnya. Sopan dan berwibawa. Setelah mengangguk dan bersoja ia memperkenalkan keempat adiknya kepadaku. Putra kedua Zhang Ming sudah tamat sekolah menengah. Menjelang musim gugur akan berangkat ke Shanghai mempelajari ilmu administrasi negara. Nampaknya ia lebih tertarik merintis karier di bidang militer diluar tradisi keluarga Zhang yang menekuni dunia pengobatan. Putra ketiga baru selesai menamatkan sekolah dasar, namanya Zhang Liang. Perawakannya agak pendek. Sifatnya pemalu. Kedua putrinya Lan-lan dan Xiu-xiu  baru berumur tujuh dan empat tahun. Keduanya cantik dan menggemaskan. Dari caranya menatap aku yakin keduanya menyukaiku. Aku sulit menahan deraian air mata haru tatkala serentak mereka Memanggilku "Mujin", sebagai bentuk pengakuan terhadapku yang mereka anggap sejajar ibu kandung. Secara spontan aku langsung berjongkok menghampiri kedua putriku. Memeluk erat mereka yang disambut dengan respon yang sama.
Kami pun menikmati acara sarapan pertama sebagai satu keluarga yang utuh. Setelah tuan Zhang duduk di kepala meja dengan tertib anak-anak mengambil posisi masing-masing. Bagian kanan untuk ketiga putra Zhang dan kiri bagi kedua putri. Aku mengambil posisi di sudut meja bersebelahan dengan Xiu-xiu. Itulah posisi yang pantas untukku sebagai istri kedua, walaupun ibu anak-anak sudah meninggal karena Malaria. Tuan Zhang nampak puas menyaksikan sikapku dalam memilih posisi duduk yang menunjukkan kerendahan hati dan siap melayani. Baik sebagai istri maupun ibu. Sepanjang jamuan aku sibuk mondar-mandir mengambilkan sop, mengganti mangkok tuan Zhang yang kotor, menuangkan teh ke cawannya serta menyodorkan lap untuk menyeka mulutnya yang dikotori sisa makanan. Setelah ia selesai dan beranjak meninggalkan ruang makan aku baru bisa kembali ke mejaku. Menyeruput buburku dengan tenang ditemani kedua putriku serta Xiau Mey yang melayani kebutuhan kami.
Melalui tata cara makan aku belajar mengenal lebih mendalam pola pikir keluarga Zhang yang penuh kontroversial. Di satu pihak Ingin melangkah maju mengikuti perkembangan jaman, sambil tetap mempertahankan tradisi yang mendudukkan kaum wanita sebagai warga kelas dua. Semua itu terwakili secara sempurna oleh sikap tuan Zhang kepadaku. Baik di ranjang maupun perilakunya sehari-hari. Ia ingin mencengkeram ku dalam balutan tradisi yang menyesakkan.

Upaya pertamaku sebagai nyonya rumah adalah berusaha membujuk suamiku agar bersedia mengirim Lan-lan ke sekolah putri milik Yayasan Khatolik dibawah pengawasan para biarawati. Aku sempat mengenyam pendidikan keperawatan di sana. Setahuku mereka juga menerima murid-murid putri seusia Lan-lan. Sambil memijati punggungnya ku utarakan pentingnya putri kami mengenal dunia luar yang berderap makin maju ketimbang hanya mengurungnya di rumah. Reaksi suamiku dingin. Ia memandangku bagai ingin mengunyah ku hidup-hidup sebelum mengusirku dari ruang keluarga. Bergegas aku pergi menjauhinya sebelum kemarahannya makin meledak. Lari menuju ruang belajar tempat Lan-lan dilatih berbagai seni ketrampilan dibawah pengawasan guru privat. Kudapati di sana Xiau Mei sedang menyulam mengikuti arahan Nona Liang yang kaget melihat kemunculanku. Sementara putriku tengah duduk santai mengunyah kuaci. Aku langsung marah. Menjewer telinga pelayan cilik ku.
"Lain kali akan ku cambuk kamu bila berani mengambil alih tugas-tugasnya!" Aku menunjuk Lan-lan yang langsung melompat berdiri dengan kaget.
Pelayanku berlutut di hadapanku. "Ampun dai-dai!" Serunya dengan nada memelas. "Kalau aku menolak akibatnya sama saja. Xiao Cie yang akan menghukum ku." Dia berusaha menyelamatkan diri sambil menunjuk putriku. " padahal Ia jauh lebih kejam dari dai-dai!"
Aku menahan rasa geli sambil mengusirnya pergi. Ku hampiri gadis cilik ku. Membelai sambil menegurnya, " Mengapa engkau mengabaikan tugas-tugas Liang Laoze? Andaikan Fujin tahu ia pasti akan menghukummu."
"Aku bosan dan tidak suka. Seharusnya fujin mengirim ku sekolah seperti Keke," ia menyebut kakak ketiga Zhang Liang yang oleh ayahnya dikirim belajar di sekolah umum.
Aku menarik napas panjang. Tidak tahu upaya apa lagi yang bisa kulakukan. Untunglah keesokan harinya kulihat tuan Zhang berangkat lebih awal mengenakan pakaian resmi berupa Cheongsam lengan panjang dari katun dipasangkan dengan topi hitam berbahan wol. Nampaknya ia bermaksud mengunjungi suatu tempat yang menuntutnya harus mengenakan pakaian resmi. Rupanya ia tidak sendirian. Nona Liang berjalan di belakangnya sambil menenteng berkas dan surat-surat. Dari guru privat anakku inilah akhirnya aku tahu ia pergi menemui kepala sekolah keputrian secara pribadi untuk mengetahui kondisi sekolah, serta apa saja yang diajarkan di situ guna meyakinkan diri apakah lingkungan itu cocok untuk pendidikan putrinya. Nona Lianglah yang akan ditugaskan mengawal serta menungguinya selama proses belajar berlangsung. Aku senang tuan Zhang akhirnya menuruti saranku. Walaupun demi mempertahankan harga dirinya aku bertindak seolah-olah tidak tahu apa yang sudah dilakukannya demi kemajuan putri kami. Kelak Lan-lan membalas apa yang telah kuupayakan untuknya dengan caranya sendiri.

Setelah dua tahun menikah aku belum juga hamil. Tuan Zhang sebenarnya tidak pernah mempersoalkan hal itu. Namun para bibi mulai usil mengunjungi ku. Mereka mencurigai adanya upaya dariku menghindari kewajiban melahirkan anak-anak bagi keluarga Zhang karena kemudaan usiaku. Dengan kejam Mereka menuduh aku lebih mementingkan menjaga kecantikanku ketimbang hamil dan menyusui bayi-bayiku.
Merasa dipojokkan oleh istri-istri paman tuan Zhang aku mengambil inisiatif mengajak Xiau Mei mengunjungi klinik kebidanan milik suamiku di luar pengetahuannya. Di sana ada  nyonya Liu yang bisa memeriksa kesehatan alat reproduksi dan kesuburanku. Ia seorang bidan berpengalaman yang dulu pernah menjadi atasanku. Hasilnya ada kesalahan  kedudukan rahimku yang menghalangi masuknya sperma ke situ tiap kali bersenggama. Itu bisa disembuhkan melalui pemijatan berkali-kali yang bertujuan membetulkan letak rahim.
Rupanya kunjunganku kesana dalam sekejap menyebar menjadi gosip yang akhirnya sampai ke telinga tuan Zhang. Sore itu ia pulang dalam keadaan murka. Langsung menyeretku masuk ke kamar begitu melihatku berdiri di muka pintu seperti biasanya untuk menyambut kedatangannya dan mengambil alih tas kerjanya. Didalam kamar ia meletupkan kemarahannya dengan memukuliku. Aku meringkuk di lantai menahan deraan dan tendangannya bertubi-tubi ke punggungku. Tidak mengerti kesalahan fatal yang telah dilakukan.
"Kamu bodoh sekali!" Ia merangsek ke arahku. Mencengkeram leherku dengan cekikan yang membuatku sesak napas. "Termakan jebakan para bibiku. Kini semua tahu aku menikahi seorang perempuan mandul." Ia memelototi ku dengan wajah bersemu merah mencapai puncak kemarahannya. Tamparannya kurasakan pedas ke mukaku.
"Ampuni aku xhien shen, saya tidak bermaksud mempermalukan anda," aku menghiba memohon belas kasihannya dengan tangisan tertahan.
Ia masih menghunjamkan tendangan berkali-kali yang kutahan dengan kedua lenganku sebelum bangkit. Berdiri sambil berkecak pinggang.
"Kamu tahu sekarang mereka punya alasan mengejarku untuk mengambil istri lagi!" Napasnya tersengal-sengal sambil menjambak rambutku dan menampar ku lagi.
Beberapa saat kemudian ia terduduk berusaha menurunkan kadar kemarahannya. Ditopangnya kepalanya dengan wajah sedih. Aku merangkak bangun. Bersujud sambil menciumi kakinya untuk mengekspresikan rasa penyesalanku. Seluruh tubuh dan mukaku terasa nyeri oleh siksaannya.
"Kamu tahu selama ini aku berusaha melindungimu karena tak ingin menyakiti perasaanmu," katanya kesal. "Aku cuma membutuhkanmu. Tidak perlu ada tambahan istri-istri lain."
Aku merayap bangun. Menjatuhkan kepalaku ke pangkuannya. Meledakkan tangis penyesalanku. Ia menahan bahuku yang terguncang oleh tangis dengan kedua tangannya selama beberapa saat. Akhirnya ia mendorongku menjauhinya dan beranjak pergi sambil membanting pintu.
Hingga tengah malam tuan Zhang belum kembali ke kamar. Ku rebahkan badanku yang sakit dan lapar hingga tertidur di lantai kamar. Tidak berani naik ke atas ranjang. Menjelang pagi ia masuk ke kamar dalam keadaan bau arak. Mengangkat tubuhku dari lantai, memindahkannya ke kasur. Kudengar ia memerintahkan Xiao Mei mengambil baskom berisi air hangat. Lalu menelanjangi ku. Membolak-balik tubuhku untuk mengamati akibat perbuatannya. Ia Berusaha mengkompres luka-luka di sekujur tubuh, lengan dan betisku dengan handuk yang sudah dicelupkan ke dalam air hangat bercampur desinfektan. Dibelainya pipiku yang memar dengan raut sedih.
"Aku sangat mencintaimu," bisiknya.
"Kalau tuan mencintaiku, mengapa anda memukuliku?" Aku sungguh tak tahan. Ingin memahami lebih dalam perasaannya yang sesungguhnya terhadapku. Begitu kompleks dan membingungkan. Namun ia cuma membuang muka. Tidak menjawab.
Menjelang siang tuan Zhang mengirim perawat dari klinik anak untuk mengobati luka-lukaku. Tak lama kemudian beredar gosip baru di lingkungan kami: direktur Zhang menyiksa dan memukuli istrinya gara-gara mandul. Yang paling menikmati gosip itu tentu saja para bibi marga Zhang. Beberapa hari kemudian silih berganti mak comblang mendatangi rumah kami. Semuanya diusir dengan kasar oleh suamiku.

Beberapa tahun kemudian sebuah peristiwa besar terjadi dalam keluarga kami yang menyebabkan tuan Zhang gagal mengendalikan emosinya. Kembali aku harus menanggung akibatnya menjadi korban penyiksaannya, walaupun semua ini tidak ada sangkut pautnya denganku.
Melalui sambungan telpon ke kantor rumah sakit putra sulung kami mengabarkan pernikahannya dengan teman kuliahnya di Beijing. Upacara pernikahan diselenggarakan di sebuah gereja kecil dengan dihadiri cuma enam orang sahabat mereka. Tanpa mengundang orangtua maupun kaum kerabat. Tuan Zhang langsung sesak napas mendengar berita itu. Ia merasa terhina oleh sikap putra sulungnya yang kelak bakal meneruskan jabatannya sebagai ketua marga Zhang. Namun ia masih bisa membujuk anaknya agar pulang sambil membawa istrinya untuk diperkenalkan kepada sanak family.
Keduanya datang berkunjung menjelang perayaan pesta awal musim semi. Angela adalah gadis asal pulau Formosa yang semenjak kecil menerima pendidikan kaum misionaris yang berpikiran amat maju. Perawakannya tinggi, jauh dari kesan feminim. Rambutnya dipotong pendek. Ia mengenakan pakaian mirip perempuan asing berupa celana panjang berbahan tunik dipandu kemeja lengan panjang dengan bordiran melingkari leher. Tidak cantik menurut standard wanita masa itu sehingga semula aku heran bagaimana putra kami yang tampan bisa memilihnya sebagai istri. Namun setelah mengenalnya lebih jauh aku amat menyukainya. Matanya yang bulat besar memancarkan ketulusan dan kebaikan hati. Sikapnya bersahaja. Tidak canggung  tanpa terjerat oleh tata-krama serta tradisi baku secara berlebihan. Begitu melihatku ia langsung merentangkan tangan, mengambil inisiatif memelukku.
"Senang bertemu anda Zhang mama," ia langsung Memanggilku menuruti panggilan terhadap mertua yang bersifat nasional. Tidak mengikuti aturan adat kami dimana ia seharusnya memanggil Ta Kwan dan Ta Niang ( tuan dan nyonya besar). Badanku yang jauh lebih pendek dan kurus langsung menyusup kedalam pelukannya. Dari penampilannya ku tafsir umur kami sebenarnya sebaya.
Namun semua kehangatannya langsung surut begitu berhadapan dengan tuan Zhang. Angela menangkupkan tangan bersoja tanpa membungkukkan badan. Suamiku langsung membuang muka dengan raut wajah membeku. Anehnya ia nampak tidak terlalu terpengaruh. Meskipun akhirnya menuruti ajakan putra kami untuk bersujud kepada suamiku yang berdiri angkuh sambil memelototi putra sulungnya.
"Fujin, hari ini saya datang memperkenalkan istri saya Angela untuk menghaturkan salam hormat." Zhang Lung menyembah hingga menyentuhkan keningnya tiga kali ke lantai sebagai sikap merendah disertai permintaan maaf. Ia mengucapkan kata-katanya dengan suara lantang dan jernih menggunakan aksen Beijing yang terdengar keren sekali. Tapi sikapnya sama sekali tidak mencerminkan ketakutan. Dalam posisinya ia tetap nampak anggun penuh harga diri. Aku berdiri di kejauhan menyaksikan adegan itu penuh rasa haru. Sama sekali tidak memperhitungkan karakter tuan Zhang yang impulsif. Ia menghampiri pasangan itu. Lalu menendang kepala putranya beberapa kali. Putra sulungnya bergeming. Membiarkan ayahnya melampiaskan kemarahannya dengan memperlakukan kepalanya seperti bola sepak. Angela bangkit dari sikap bersujudnya dengan ekspresi syok. Aku cepat lari bersujud di depan Zhang Lung sambil memeluk kedua kaki suamiku seraya memohon ia menghentikan perbuatannya.
Kini tuan Zhang mengalihkan sasarannya kepadaku. Ia menyeretku menjauhi pasangan itu sambil menggebuki ku. Angela yang tidak terbiasa menyaksikan adegan primitif semacam itu menjerit-jerit histeris berusaha menghampiriku untuk menolongku. Di bawah hujan pukulan dan tendangan tuan Zhang aku berteriak mencegahnya mendekat. Menyuruhnya membawa suaminya menghindari kami.
Malu ketika kebiadabannya menjadi tontonan anak dan menantunya serta para pelayan tuan Zhang menjambak rambutku. Menarikku ke kamar. Kemudian melanjutkan penyiksaannya. Aku pasrah menerima perlakuan lelaki yang berulang kali menyatakan mencintaiku namun selalu menyakitiku itu. tiba-tiba pintu kamar kami didobrak dari luar. Zhang Liang dan kedua putri kami menyerbu masuk. Putra ketiga ku berlutut di depanku sementara Lan-lan dan Xiu-Xiu melakukan hal sama di kanan dan kiriku. Mereka meratap mohon ampun kepada ayahnya sambil membentuk benteng untuk melindungiku dari siksaan sang ayah.Perlakuan mereka inilah yang akhirnya mampu meledakkan tangisku yang sengaja kutahan dari tadi. Kali ini Aku tidak sudi meminta bekas kasihan suamiku untukku seburuk apapun perlakuannya terhadapku. Bahkan kalau ia bermaksud membunuh ku. Namun aku jadi tak tahan melihat ketiga anakku yang menunjukkan kepeduliannya terhadapku. Sejak hari pertama memasuki gerbang rumah keluarga Zhang aku sudah mempersiapkan fisik dan mentalku menghadapi semua yang bakal ditimpakan terhadapku sebagai perempuan.

Malam itu pasangan pengantin baru  langsung pergi dari rumah sambil menyimpan kemarahan terhadap ayahnya. Bertahun-tahun tidak memberi kabar maupun mengontak kami. Namun di luar persetujuan suami diam-diam aku menjalin hubungan surat menyurat dengan Angela guna mengetahui keberadaan serta kabar mereka. Itu diawali oleh kiriman surat Angela kepadaku yang diterima seorang pelayan yang kasihan kepadaku. Ia menyuruh Xiao Mei menyerahkannya langsung kepadaku secara rahasia.
Angela begitu prihatin menyaksikan kehidupan perkawinanku. Dengan naif ia menyarankan agar aku melaporkan perbuatan suamiku ke polisi lokal sambil menunjukkan bukti-bukti penganiayaan itu secara fisik. Ia yakin suamiku bakal di penjara karena sesungguhnya pemerintah  sekarang sudah membuat undang-undang perlindungan terhadap perempuan. Aku tertawa geli membayangkan akibat yang bakal kutanggung seandainya mengikuti saran Angela.  
Para bibi marga Zhang akan mencibir kan bibir sambil berkomentar "Perempuan itu jahat sekali. Masa suami sendiri dilaporkan ke polisi".  
Sumber utama penderitaan wanita sebenarnya berasal dari kaumnya sendiri yang terjebak oleh kebodohan dan pemahaman salah tentang nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana mungkin kebiasaan menggebuki istri bisa dianggap sebagai hak dan kewajiban seorang suami?      

Setelah kepergian Zhang Lung dan istrinya dari rumah kesehatan tuan Zhang terus menurun. Kehilangan selera makan sementara kebiasaannya mereguk minuman keras makin kuat. Aku sering harus memapahnya masuk ke kamar tengah malam dalam keadaan mabok. Dalam ilmu keperawatan yang pernah ku pelajari gejala itu disebut depresi. Sayang upayaku meminta bantuan rumah sakit untuk mengirim dokter ke rumah ditolak mentah-merah suamiku.
"Apa kamu pikir aku sudah gila sehingga harus dirawat ahli jiwa!" Teriaknya murka kepadaku. Membuat dokter Shen yang masih berstatus bawahannya pergi dengan putus asa.
Karena kekurangan asupan gizi ia sering menggigil kedinginan. Sementara batang kelelakiannya kian hari makin menguncup. Acap kali ia membangunkan ku tengah malam dalam keadaan gelisah. Menyuruhku menanggalkan pakaian dan menggunakan panas tubuhku untuk menghangatkan tubuhnya. Aku menurutinya. Memeluknya erat hingga ia merasa lebih tenang dan tertidur.  
Sayangnya upayaku ini pun lama-lama tak membantu karena di tengah gelombang kemurungannya tak lama disusul gejala lain.  Ia mengalami penurunan sikap mental  ( regresi) , sering menangis dan merengek seperti anak-anak. Dengan cemas ku kabarkan keadaan itu kepada Angela. Memohon agar mereka secepatnya pulang untuk menemui sang ayah. Sudah beberapa bulan operasional rumah sakit diserahkan kepada wakil direktur Zhang Wei yang masih sepupu suamiku. Anak paman ketiga. Kurasa sudah saatnya anak sulung kami pulang guna menggantikan jabatan sang ayah sebagai direktur Zhang yang baru.
Di tengah kondisinya yang makin parah ia Sering meracau sambil membelai wajahku. Mengungkapkan hal-hal yang ia sembunyikan selama ini.
"Suatu ketika aku melihat kalian berjalan berdampingan di selasar rumah sakit. Wajahmu begitu cerah memandanginya. Entah kenapa aku menjadi begitu marah dan bertekad merebutmu dari sisinya." Mukanya yang berwarna abu-abu kelihatan begitu menderita. "Akulah yang mengatur kepindahan dokter Wang ke ibu kota untuk memisahkan kalian." Lanjutnya.
Pedih mendengar pengakuannya kutundukkan wajahku. Sekian lama aku berusaha mengusir bayangan Wang Qi dari benak, namun sosoknya justru hadir makin besar dan makin besar hingga suatu ketika bagai ingin menelan diriku.
Aku menelan ludah. Memijati tangan tuan Zhang yang kerontang, bagai batang pohon yang tercerabut dari akar kehidupan.
"Bukankah kini tuan berhasil mendapatkanku?" Bisikku sambil mendekatkan mulutku ke telinganya.
"Tidak......" ia menggeleng. "Aku bisa melihat itu dari sorot matamu." Ia menangis lirih. "Setiap kali aku mencengkeram makin kuat engkau justru makin menjauh dariku. Engkau hanya menyerahkan tubuhmu untukku, sedang sukmamu selalu kau berikan kepadanya."
Aku tersenyum pahit. Apa yang ia katakan benar. Wang Qi lah yang membuatku tahan menghadapi perilaku suamiku terhadapku. Karena aku selalu merasa ia ada bersamaku.
Aku selalu iri kepadamu." Tuan Zhang mencengkeram tanganku erat-erat. "Bagaimana mungkin engkau yang nampak lemah tak berdaya memiliki kekuatan begitu besar sehingga mampu membuat lelaki setampan dokter Wang rela tidak menikah dan menunggumu sampai sekarang." Isak tangisnya lirih penuh ratapan. Aku terkejut mendengarnya. Kususuti wajahnya yang basah dengan saputangan.
"Bagaimana tuan bisa tahu ia belum menikah?" Tanyaku penasaran.
"Karena Rasa bersalah. "  ia membuat pengakuan. "Akulah yang menghancurkan hidupnya.  Kalau asistenku pergi ke Shanghai aku selalu memintanya pergi ke rumah sakit Chang Hang tempat dokter Wang menjadi direkturnya untuk mengetahui keadaannya. Kudengar ia menjauhi semua perempuan yang mendekatinya."
Aku mengiringi tuan Zhang ikut menangis lirih. Ku jatuhkan kepalaku ke dadanya yang tipis memperlihatkan tonjolan tulang-tulang rusuknya. Wang Qi mengapa engkau melakukan ini semua?
"Engkau telah mengambil semua yang ingin ku raih." Suamiku mengangkat kepalaku. Memandangiku dengan putus asa. "Aku telah kehilangan semuanya. Hatimu...... juga hati anak-anakku. Aku yang membesarkan mareka selama ini. Namun Mereka semua lebih memilihmu. Termasuk putra sulungku."   Ia melanjutkan tangisnya. "Kalian membuat semangat hidupku menguap. Aku tidak punya apa-apa. Lagi untuk dipertahankan. Kau dan dokter Wang telah mengambil semuanya dariku."

Itulah terakhir kali suamiku berkomunikasi denganku. Setelah itu ia berbaring luruh. Pandangannya kosong menatap awang-awang. Ia sedang menunggu kepulangan kedua putra kami. Zhang Ming sudah lima tahun bertugas di pedalaman Mancuria menekuni karier militernya. Kami sangat jarang mendengar kabar beritanya. Namun aku sudah meminta wakil direktur Zhang mencari kontak untuk mengabari keadaan ayahnya. Juga Zhang Lung yang bertugas sebagai dokter penyakit dalam di Beijing.
Sambil menantikan kepulangan mereka aku terus berada di sisi suamiku. Menyuapi, memandikan dan menggunakan tubuhku untuk menghangatkan tubuhnya yang makin lama makin membeku. Membiarkan air liurnya terus menetes membanjiri dadaku. Aku berusaha menuntaskan seluruh kewajibanku sebagai istri kepadanya karena ikatan takdir yang tak mampu kotolak.
Zhang Lung akhirnya tiba beberapa hari kemudian. Aku kecewa karena Angela yang masih memendam kemarahannya kepada mertua tidak mau ikut. Putra kami yang kedua juga tidak bisa pulang karena terjebak oleh perang melawan kaum separatis di area tugasnya.
Wajah suamiku memancarkan kelegaan tatkala ku bisikkan kabar kedatangan Zhang Lung yang sudah ia tunggu sekian lama kepadanya. Ia menyuruhku segera memanggil putranya. Ada pesan yang ingin ia sampaikan kepadanya.
Setelah Zhang Lung masuk ke kamar dan menyaksikan kondisi ayahnya dengan penuh sesal aku keluar sambil menutup pintu. Membiarkan keduanya saling berbagi maaf dan pengampunan guna melapangkan jalan suamiku menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.

Suamiku menunjukkan kebaikan hatinya terhadapku menjelang akhir hayatnya dengan meninggalkan surat wasiat yang diamanatkan kepada putra sulungnya untuk secepatnya dilaksanakan. Ia memutuskan ikatan takdirku terhadapnya dengan menceraikan ku. Dengan begitu aku bisa membebaskan diri dari cengkeraman marga Zhang guna mempersiapkan masa depanku sendiri dalam usiaku yang sudah tigapuluh tahun. Ia juga sudah mengutus orang untuk menghubungi dokter Wang agar secepatnya menjemputku.
Karena aku sudah kehilangan hak tinggal di kompleks perumahan milik keluarga Zhang. Putra sulungku mempersiapkan sebuah kamar di asrama milik rumah sakit untuk kutinggali sambil menunggu kedatangan Wang Qi. Kamarku sederhana, namun aku merasakan kenyamanan luar biasa bisa menghirup napas kebebasanku.
Hari yang ku nantikan sepanjang hidup akhirnya tiba. Dengan bersemangat aku berdiri di bawah naungan pohon Yangliu yang menyimpan kisah kasih kami berdua. Hatiku bergemuruh menunggu hingga sosok itu muncul dari garis cakrawala mendekati ku. Ia masih memiliki gaya jalan menakjubkan itu: ringan dengan ayunan kaki lebar ditopang oleh postur tubuhnya yang tinggi dan ramping. Ia bahkan masih setampan dulu, walaupun helai-helai rambut putih mulai menghiasi kepalanya. Dalam saku kemejanya tersemat sapu tangan merah hasil sulamanku. Ternyata ia berhasil menangkap burung Hong dan memenjarakannya di dalam hatinya. Membuat burung itu tidak pernah terbang lagi, menyatu dengan kehidupannya yang panjang dan sepi.
Aku lari memburu orang yang kurindukan sekian lama. Ia menangkap tubuhku dan mengangkatnya tinggi sebelum menjatuhkan kecupan ke keningku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun