Lha ini, kok mak bedhunduk, ada ormas yang demonstrasi tentang mosaik mirip salib. Itu pun baru mirip, sodara-sodara. Dan tak cuma sampai di situ. Bahkan ada seorang orator yang memprotes dipasangnya lampion-lampion di daerah Pasar Gede. Bukan budaya Solo, katanya sambil menggaungkan takbir dari atas bak mobil.
Padahal perancangnya pun sudah bilang, yang mau dipasangkan di jalan tersebut adalah bentuk delapan arah mata angin. Sebuah simbol maknawi dari semesta spiritual jawa. Kalau orang dulu percaya delapan arah mata angin itu dijaga oleh dewa Lokapala. Kepercayaan itu pun tetap bertahan sampai abad 13 Masehi. Dibuktikan dengan simbol Kerajaan Majapahit yang berbentuk delapan arah mata angin, yang secara resmi diberi nama Surya Majapahit. Jadi simbol itu mewakili jiwa spiritual dan cita-cita orang Jawa.
Tapi ya kalau para calon penghuni surga jalur prestasi dan jubir-jubirnya sudah angkat bicara, tentu semua itu tak bermakna. Pokoknya kalau sedikit-sedikit mirip salib, segitiga, mata satu, bintang daud, itu semua adalah konspirasi kristen-yahudi-amerika-dajjal-liberal. Harus diberantas sampai ke akar dan jaringan pembuluh, xylem dan floemnya.
Stop. Mandego, Lur.
Umat manusia mungkin telah berkembang dan mempercanggih dirinya dengan paham-paham baru dan invensi teknologi yang tak terbendung. Sejarah berputar. Generasi dan generasi datang silih berganti. Beberapa hidup sederhana.
Beberapa mendirikan partai rasis dan mengobarkan perang di Eropa, beberapa melakukan pembantaian missal pada masyarakat yang baru dituduh kiri, ada yang mendirikan jaringan teroris terbesar di dunia. Tidak peduli di jaman apa ia hidup,atau apa keyakinan politik dan teologisnya, atau dari mana dia berasal: Fasis tetaplah fasis.
Sebagai umat beragama dengan populasi terbesar di Indonesia dan dunia, umat islam semestinya awas dengan ini. Jumlah penganut yang membengkak tidak diimbangi dengan pemahaman yang cukup. Baik berupa penyelarasan pandangan islam dengan modernitas maupun penjalinan hubungan toleransi dengan umat beragama yang lain. Fasisme kerap tumbuh dari keangkuhan sebagai mayoritas.
Lalu Bagaimana?
Semisal pola jalan itu memang sengaja dibentuk salib, bukankah harusnya umat kristiani yang merasa tersinggung karena simbol agamanya diinjak-injak dan dilalui kendaraan aneka rupa?
Semisal memang demonstrasi dan penolakan tersebut adalah bagian dari implementasi amar ma'ruf nahi munkar, bukankah lebih urgen untuk memberikan amar ma'ruf tersebut berupa edukasi agama pada mereka yang masih kekurangannya, dan memperjuangkan hak-hak para mustadha'afin peradaban? Entah, petani Kendeng dan warga Kulon Progo yang dipaksa pindah itu, mungkin? Bukankah mereka adalah korban paling nyata dari kemungkaran yang dimaksud itu?
Dan bukannya mengurusi perkara sepele seperti bentuk paving di jalan.