Mohon tunggu...
Fandy Ahmad Salim
Fandy Ahmad Salim Mohon Tunggu... Peternak - Lahir tahun 2003 dan selalu berusaha menggarap apa saja. Mulai dari tulisan, karya grafis, sampai usaha.

Pelajar di SMAN 1 Surakarta. Menulis, Membaca, dan merancang grafis. Penggemar karya sastra, non-fiksi dan karya lain. Dapat disapa lewat Instagram di @fandysalim_

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Solo, Salib, dan Simbol-Simbol

22 Januari 2019   21:34 Diperbarui: 23 Januari 2019   08:37 7043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribun Jateng

Adalah tanda dan simbol yang menguasai dunia, bukan kata-kata maupun hukum.

Kutipan dari filsuf kuno timur itu, Lao Tzu, agaknya masih tetap relevan beribu-ribu tahun setelah disabdakan. Simbol menjadi perintah, identitas, dan informasi yang maujud menjadi bentuk-bentuk visual-spasial.

Ia menjelma ke dalam seni-seni pahat dan lukis leluhur kita, menjadi pengandaian dalam susunan karya-karya sastra. Tapi bagaimana kalau manusia mulai menyembah simbol?

Baru beberapa hari lalu, Solo dibuat gempar dengan demonstrasi segolongan orang yang menuntut renovasi pada pola jalan di Jl. Jenderal Sudirman, dekat Bundaran Gladak. Pasalnya, bentuk pola paving tersebut mirip dengan bentuk salib yang identik dengan umat kristiani. Mereka lantas berbondong-bondong turun ke jalan, berorasi, dan memaksa pemkot untuk menggantinya.

Tak tanggung-tanggung, mereka membentangkan spanduk --yang entah maknanya seruan atau ancaman-- bertuliskan, "CIPTAKAN SOLO DAMAI" dan "TOLAK MOSAIK MIRIP SALIB DI JALAN JENDERAL SUDIRMAN"

Sebelas dua belas dengan ejaan meme yang sempat viral tahun kemarin, seperti "T E R K E D J O E T" dan "T E R C Y D U C K"

Sumber: liputan6.com
Sumber: liputan6.com
Saya bukan warga Solo. Rumah saya terletak di Kartasura, sebuah kecamatan milik Kabupaten Sukoharjo yang letaknya nangkring persis di sebelah baratnya. Namun, setiap hari saya berangkat sekolah di sebuah SMA yang terletak di Kota Solo. Keluarga ibu saya pun adalah warga asli Solo dan saya berkesempatan tinggal di rumah nenek saya di kawasan keraton sampai umur satu tahun.

Selain kisruh yang terjadi pada 1981 dan 1998, saya melihat Solo selalu adem ayem. Di sini ada perkampungan keturunan Cina di Pasar Gede, perkampungan keturunan Arab di Pasar Kliwon, dan seabrek suku-suku dari seantero Indonesia Raya. Selain dari kedua tragedi di atas yang sebenarnya berkaitan besar dengan ketidakpuasan masyarakat di Orde Baru, Solo tidak pernah mengalami clash antar etnis dan suku.

Kalau sebatas stereotip klasik, mungkin masih ada. Tapi toleransi warga Solo bisa dibilang ngetop. Dari sebuah survei yang dipublikasikan saja, Kota Solo menempati urutan pertama sebagai kota paling nyaman ditinggali di Indonesia. Wah, itu kami bangganya bukan main. Saking bangganya, kami bahkan memajang sebuah papan elektronik besar bertuliskan "Kota Paling Nyaman" di pinggir jalan utama.

Di daerah kawasan keraton, masyarakat masih melestarikan kepercayaan kejawen. Banyak patung dewa yang masih kebagian dupa dan sesajen. Lampion-lampion selalu dipasang di daerah Pasar Gede menjelang Hari Raya Imlek dan menjadi destinasi wisata yang cukup populer.

Bahkan, di daerah Serengan, ada Masjid Al Hikmah yang letaknya bersampingan persis dengan Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan. Beberapa contoh di atas adalah secuil bukti tingkat toleransi warga Solo terhadap perbedaan, baik keyakinan maupun etnis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun