Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buya Hamka dan Tragedi 1965

30 September 2018   08:16 Diperbarui: 30 September 2018   08:25 2645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: hidayatullah.com

Buya Hamka dan Tragedi 1965

"Saudara pengkhianat! Menjual negara kepada Malaysia!", bentak seorang polisi dengan pistol di pinggang kepada Buya Hamka. Ia berusaha menaikkan pitam Buya Hamka.

Menangislah beliau mendengar hujatan semacam itu. Hampir-hampir beliau pun terpancing emosinya.

"Janganlah saya disiksa seperti itu. Bikin sajalah satu pengakuan bagaimana baiknya, akan saya tandatangani. Tetapi kata-kata demikian janganlah saudara ulangi", pinta Buya.

"Memang saudara pengkhianat!", katanya lagi dan ia pun berlalu pergi.

***

Hari-hari berkuasanya Komunisme di Indonesia, amat dirasakan oleh Buya Hamka. Ulama besar anggota Muhammadiyah, anggota parlemen dari Masyumi, peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, dan juga tokoh ada Minangkabau bergelar "Datuk Indomo". Beliau mendekam di dalam penjara sekira dua setengah tahun lamanya. Dijemput secara paksa dari rumahnya, dan dipenjara tanpa proses pengadilan.

Tahun 1960-an merupakan salah satu periode buruk dari bangsa Indonesia. Keadaan ekonomi mengalami inflasi besar-besaran. Situasi politik tidak menentu seiring dengan dibubarkannya Konstituante hasil pemilu dan digantikan oleh orang-orang yang Sukarno tunjuk sendiri. Belum lagi, dibubarkannya partai Masyumi, salah satu peraih besar dalam pemilu 1955. Tokoh-tokohnya ditangkap dan dipenjara tanpa bukti yang kuat. Situasi sosial pun cukup mencekam, karena banyak propaganda dan adu domba.

Di akhir dekade 1950-an, Buya Hamka melepaskan jabatannya dari pegawai Kementerian Agama karena ia tergabung dalam partai Masyumi. Tak lama setelah itu, Masyumi pun dibubarkan karena dianggap tidak sejalan dengan cita-cita pemerintah. Masyumi menentang ide "Kabinet Empat Kaki" karena dianggap memberi ruang pada Komunisme melalui PKI.

Dalam sebuah sidang Konstituante, dikisahkan, pernah Hamka menginterupsi Sukarno. Ketika Sukarno mempromosikan Kabinet Empat Kaki itu, ia menyebut, "inilah shiraatal mustaqiim" (jalan yang lurus). Hamka yang tidak setuju, kemudian menginterupsi, "itu bukan shiraatal mustaqiim, tapi shirat ilal jahim" (jalan menuju neraka), karena memberi kesempatan bagi Komunisme untuk berkuasa.

Buya Hamka kemudian mengonsentrasikan hidupnya dalam membangun dan memakmurkan Masjid Al Azhar di Kebayoran. Di tengah situasi nasional yang kurang bersahabat, beliau menyatakan bahwa "selama ini kita lalai memperhatikan masjid karena terlalu sibuk di parlemen, sekarang, kita mulai perjuangan dari masjid".

Komunisme, melalui PKI di tahun-tahun itu mulai merasuki banyak posisi di pemerintahan. Sementara, oposisi terkuatnya, Masyumi, sudah dibubarkan. Di banyak daerah, PKI juga mulai menjalankan ide kesejahteraan a la mereka, dengan merebut banyak lahan dari tuan-tuan tanah. Hal ini memicu terjadinya banyak kerusuhan di daerah.

Di Masjid Al Azhar, Buya Hamka tetap mengupayakan sinar Islam tetap bercahaya. Beliau mendirikan majalah Panji Masyarakat, dan menjadi majalah Islam terpopuler saat itu. Dengan membawa semangan pembaharuan Islam dan semangat keindonesiaan, Panji Masyarakat mendapat tempat di masyarakat. Salah satu nomor paling fenomenalnya ialah ketika memuat tulisan Mohammad Hatta, yang saat itu sudah mundur dari kursi Wakil Presiden, yang mengkritik kebijakan Presiden Sukarno. Tulisan itu bertajuk "Demokrasi Kita".

Mendapat kritik yang tajam, bahkan dari mantan wakilnya, akhirnya majalah Panji Masyarakat ditutup pemerintah. Tak lama, karena dengan berbagai desakan, akhirnya dimunculkan kembali majalah dari masjid itu. Yakni, Gema Islam. Pendirian ini didukung pula oleh unsur tentara, seperti Jenderal Sudirman dan Jenderal A.H. Nasution. Melalui majalah ini, beliau mengkritik pemerintah dalam beberapa hal, terutama dalam keterlibatan komunis, namun di sisi lain juga mendukung pemerintah, seperti dalam kasus Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia.

Serangan terhadap Buya Hamka pada tahun-tahun itu banyak datang dari PKI. Salah satu koran terpopuler saat itu yang berafiliasi pada PKI, Bintang Timur, menyerang karya Buya Hamka. Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, karya sastra terbesar Buya Hamka, dituduh plagiat. Dalam berbagai edisi, koran itu menuduh cerita dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijk menjiplak novel Magdalena, karya penulis Mesir Musthafa Luthfi Al Manfaluthi.

Untuk menengahi polemik ini, HB Jassin, pakar sastra terkemuka di saat itu, mengadakan kajian. Hasilnya, novel Buya Hamka bukanlah plagiat. Sekalipun ada kemiripan di beberapa tempat, paling jauh hanya dapat dikatakan "disadur". Sebab, tokoh, latar, maupun banyak jalan cerita, merupakan khas Indonesia. Bahkan, dalam beberapa bagian, merupakan kisah dari kehidupan Buya Hamka sendiri.

Rupanya, polemik itu membuat nama Buya Hamka dijatuhkan dalam kalangan sastrawan. Di tengah kondisi yang sulit, nama Buya Hamka di kalangan "kiri" sudah buruk. Dituduh plagiat, mengkhianati negara, hingga tuduhan yang membawanya pada penjara. Merencanakan makar terhadap pemerintahan yang sah.

Senin siang, tanggal 23 Januari 1964 atau 12 Ramadhan 1383 H, datang tiga orang polisi dari Departemen Angkatan Kepolisian (Depak) menangkap Buya Hamka. Beliau ditangkap dengan alasan melanggar Penetapan Presiden nomor 11 tahun 1963. Isi dari Penpres itu membolehkan kepolisian menangkap siapapun yang dicurigai akan melakukan makar.

Buya Hamka dipenjara di berbagai tempat di wilayah Puncak hingga Sukabumi. Beliau diinterograsi (dengan salah satu kejadiannya sudah dikisahkan di awal) oleh banyak polisi secara bergantian. Pemeriksaan itu cukup menyiksa, dengan kondisi beliau saat itu sudah berusia 56 tahun, hingga tidak tertidur dalam beberapa hari pemeriksaan. Beliau akhirnya bisa istirahat setelah kemudian dipaksa menandatangani sebuah surat pengakuan. Mengakui hal yang tidak pernah ia perbuat sebelumnya.

Beliau juga dijebak dengan berbagai pertanyaan. Termasuk dengan sebuah pernyataan dari seorang sahabatnya, Zawawi, yang ternyata juga membuat sebuah pengakuan palsu karena tidak tahan disiksa. Buya Hamka kemudian mengarang bahwa pernah diadakan sebuah pertemuan untuk merencanakan pembunuhan Presiden Sukarno di Tangerang. Untuk menyukseskan gerakan ini, beliau dituduh mendapat bantuan empat juta dollar dari Perdana Menteri Malaysia. Meski kemudian terbantahkan melalui proses rekonstruksi yang tidak menemukan bukti maupun tempat seperti yang digambarkan.

Fitnah lainnya ialah bahwa Buya Hamka menghasut mahasiswa di IAIN Ciputat (kini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) untuk meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo (DI/TII), Daud Bereuh (Aceh) dan yang lainnya. Rupanya, ada seseorang yang menjadi mata-mata dan berpura-pura menjadi mahasiswa. Dia mendengar hanya setengah, datangnya terlambat, pulangnya lebih awal, ia tidak dengar sampai akhir. Lantas menyimpulkan bahwa Buya Hamka menghasut pemberontakan.

Buya Hamka kemudian ditahan selama kurang lebih dua tahun. Di tengah masa tahanan, penyakit wasir beliau kambuh. Sehingga beliau meneruskan tahanan di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Rupanya, menurut sebuah kisah, dokter yang merawat beliau di Rumah Sakit Persahabatan merupakan pengagum beliau. Sehingga, beliau terus dinyatakan "sakit" agar tidak harus kembali ke tahanan. Beliau tetap tinggal di rumah sakit dan bisa mendapat perawatan yang lebih manusiawi.

Selama masa tahanan, Buya Hamka diizinkan untuk membawa berbagai buku bacaan. Beliau menghibur diri dengan kisah Ibnu Taimiyah, ulama besar Islam yang pernah mengalami hal serupa. Ditahan oleh rezim yang berkuasa dan mengalami penyiksaan.

Untuk mengisi waktu, beliau melanjutkan proyek penulisan buku Tafsir Al Azhar. Yang di kemudian hari akan menjadi magnum opus beliau. Buku tafsir ini pada akhirnya pun selesai, atau setidaknya hampir selesai, ketika masa tahanannya berakhir. Setelah bebas pada akhir Januari 1966, Buya Hamka kemudian melakukan penyempurnaan dan menerbitkan Tafsir Al Azhar, hingga bagian terakhirnya terbit beberapa waktu sebelum beliau meninggal dunia di tahun 1981.

Setelah bebas dari penjara, kemudian hidup di masa pemerintahan Orde Baru, Buya Hamka rupanya tidak menaruh dendam kepada orang-orang yang dahulu pernah menuduh dan memenjarakannya. Sebuah kisah menyebut, suatu ketika seorang perempuan datang ke rumah beliau bersama seorang pria, bermaksud untuk belajar Islam. 

Rupanya, perempuan tersebut adalah anak dari Pramoedya, sastrawan Lekra yang dahulu menuduh Buya Hamka melakukan plagiat. Dia mau menikahi seorang lelaki mualaf, namun dengan syarat dari bapaknya, "harus belajar Islam kepada Hamka". Akan tetapi, beliau tidak lantas mengusir atau membalas dendam. Beliau tetap mengajarkan perihal agama kepada keduanya dengan ikhlas.

Kepada Presiden Sukarno, yang dalam masa pemerintahannya pernah memenjarakan Buya Hamka, beliau juga tidak menaruh dendam. Di tahun 1970, ketika Sukarno wafat dalam tahanan politik, Buya Hamka menangis dan sedih atas kepergian sang Proklamator. Beliau pun datang untuk menjadi imam shalat jenazah dari Sukarno. Beliau pun berkata di tepi peti matinya, "dengan ikhlas saya berkata, aku maafkan engkau, saudaraku".

Pandangan Buya Hamka terhadap Komunisme

Mengenai paham Komunisme, salah satunya, beliau menuliskan pandangannya dalam Tafsir Al Azhar itu. Ketika sedang menafsirkan ayat ke-116 dari surat Al An'aam, yang berbunyi "dan, jika engkau ikut kebanyakan orang di bumi ini, niscaya akan mereka sesatkan engkau daripada jalan Allah. Karena, tidak ada yang mereka ikuti kecuali sangka-sangka. Dan, tidaklah ada mereka selain dari berdusta".

Setelah menjelaskan ayat ini dengan keterangan pada zaman Nabi Muhammad Saw., beliau melanjutkannya dengan yang terjadi di masa beliau hidup. Tulis beliau,

Bertambah jauh dari zaman Rasulullah Saw. bertambah banyaklah keluar pendapat-pendapat manusia, berbagai teori dalam hal filsafat, berbagai doktrin tentang susunan masyarakat, tentang susunan filsafat dan kenegaraan. (...). berbagai tafsir tentang pemerintahan-pemerintahan beraja, demokrasi, diktator, dan liberalisme. Berbagai macam teori tentang sosialisme, ajaran Proudhon dan ajaran Bakonin, ajaran Karl Marx. Kalau semuanya ini kita ikuti, jiwa kita akan pecah berderai, hilang pegangan. Disangka diri telah pintar karena terlalu banyak membaca buku, tetapi keberanian dan ketegasan sikap jiwa telah hilang sehingga ilmu bukan lagi menolong melepaskan diri dari kesulitan, melainkan menambah diri tenggelam ke dalam keraguan.

Lanjut beliau,

Seperti halnya dalam gelanggang ilmu pengetahuan, demikian pula teori-teori pemerintahan. Satu waktu orang mencela sistem pemerintahan kaum feodal yang bersengkongkol dengan kaum pendeta, lalu dipuji pemerintahan kaum borjuis. Kaum borjuis mengemukakan teori liberalisme. Dan, dipujikanlah liberalisme sebab pribadi manusia yang selama ini di bawah kungkungan kaum feodal bersengkongkol denga kaum gereja, sekarang telah bebas. Bebas jiwa dan bebas berusaha sekehendak hati. Tekanan tidak ada lagi. Kemudian dengan kebebasan tersebut, leluasalah orang yang banyak harta bendanya (kapital) menegakkan usaha, terutama karena perkembangan industri. Kian lama yang bebas itu kian kaya-raya, kian besar modalnya, kian banyak buruhnya yang terdiri dari orang-oang lemah. Kian lama buruh-buruh tadi tidak bebas lagi, tidak mengecap liberalisme menurut mestinya. Lalu dikutuk lagi liberalisme tadi dan timbullah teori sosialisme dan keadilan sosial, hidup yang sama rasa dan sama rata. Dan, akhirnya timbul komunisme. Oleh karena itu, datanglah akhir ayat, "dan tidaklah ada mereka selain dari berdusta". Dan, lebih tepat lagi kalau dipakai ungkapan yang lebih tegas, "dan tidaklah ada mereka selain omong kosong". Segala teori yang tidak berdasar atas kepercayaan kepada Allah adalah teori omong kosong, atau kedustaan dan kebohongan yang diatur rapi.

Pandangan lain beliau mengenai komunisme juga dituliskan dalam buku Keadilan Sosial dalam Islam. Beliau menulis,

Kaum komunis mengingkari adanya kekuasaan Allah. Bertuhan dipandang sebagai suatu kebodohan. Mereka menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan, dan juga dari Allah. Oleh karena teori itu melanggar ketentuan Sunnatullah, akhirnya terpaksa juga mereka mengadakan kekuasaan, yaitu kekuasaan diktator manusia. Katanya, diktator akan berhenti ketika kehidupan komunisme telah tercapai.

Hikmah 

Kisah Buya Hamka di kisaran konflik Indonesia di tahun 1965 (sebelum dan sesudahnya) memberi banyak hikmah bagi kita. Pertama, beliau mencontohkan kepada kita bagaimana tetap tegar di tengah badai fitnah dan masa yang kacau. Kedua, beliau mampu menjadi seorang yang lapang dada dan berhati ikhlas, bahkan kepada orang yang pernah berbuat jahat kepada beliau.

Ketiga, beliau mampu bersikap adil. Serangan dari kelompok komunis tidak lantas menjadikan beliau membenci orang-orangnya. Beliau membenci komunisme, menolak pahamnya, namun tidak menaruh benci bahkan kepada Pram, budayawan yang berkubu "kiri" pada masa itu. Keempat, beliau mampu memanfaatkan situasi sulit untuk sesuatu yang baik. Terbukti, sekalipun beliau dipenjara, beliau mengisi waktu dengan menulis. Bukan main-main, menulis tafsir Al Quran!

Terakhir, beliau mengajarkan untuk menjalin ikatan iman yang kuat. Dengan itulah, berbagai kesulitan dapat dilalui, dengan pertolongan dari Allah. Rencana Allah pastilah yang terbaik. Sekalipun mungkin di awal kita tidak nyaman ataupun tidak suka.

Semoga keteladanan beliau mampu kita jadikan pelajaran bagi kehidupan berbangsa di hari ini dan hari ke depan.

Daftar Bacaan

  1. HAMKA. Tafsir Al Azhar Jilid 1. (Jakarta: Gema Insani Press, 2015)
  2. HAMKA. Tafsir Al Azhar Jilid 3. (Jakarta: Gema Insani Press, 2015)
  3. HAMKA. Tasawuf Modern. (Jakarta: Republika, 2016)
  4. HAMKA. Keadilan Sosial dalam Islam. (Jakarta: Gema Insani Press, 2015)
  5. Rusydi Hamka. Pribadi dan Martabat Buya Hamka. (Jakarta: Noura Books, 2017)
  6. James R. Rush. Adicerita HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern. (Jakarta: Gramedia, 2017)
  7. Adrian Vickers. A History of Modern Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2007)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun