Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buya Hamka dan Tragedi 1965

30 September 2018   08:16 Diperbarui: 30 September 2018   08:25 2645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: hidayatullah.com

Komunisme, melalui PKI di tahun-tahun itu mulai merasuki banyak posisi di pemerintahan. Sementara, oposisi terkuatnya, Masyumi, sudah dibubarkan. Di banyak daerah, PKI juga mulai menjalankan ide kesejahteraan a la mereka, dengan merebut banyak lahan dari tuan-tuan tanah. Hal ini memicu terjadinya banyak kerusuhan di daerah.

Di Masjid Al Azhar, Buya Hamka tetap mengupayakan sinar Islam tetap bercahaya. Beliau mendirikan majalah Panji Masyarakat, dan menjadi majalah Islam terpopuler saat itu. Dengan membawa semangan pembaharuan Islam dan semangat keindonesiaan, Panji Masyarakat mendapat tempat di masyarakat. Salah satu nomor paling fenomenalnya ialah ketika memuat tulisan Mohammad Hatta, yang saat itu sudah mundur dari kursi Wakil Presiden, yang mengkritik kebijakan Presiden Sukarno. Tulisan itu bertajuk "Demokrasi Kita".

Mendapat kritik yang tajam, bahkan dari mantan wakilnya, akhirnya majalah Panji Masyarakat ditutup pemerintah. Tak lama, karena dengan berbagai desakan, akhirnya dimunculkan kembali majalah dari masjid itu. Yakni, Gema Islam. Pendirian ini didukung pula oleh unsur tentara, seperti Jenderal Sudirman dan Jenderal A.H. Nasution. Melalui majalah ini, beliau mengkritik pemerintah dalam beberapa hal, terutama dalam keterlibatan komunis, namun di sisi lain juga mendukung pemerintah, seperti dalam kasus Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia.

Serangan terhadap Buya Hamka pada tahun-tahun itu banyak datang dari PKI. Salah satu koran terpopuler saat itu yang berafiliasi pada PKI, Bintang Timur, menyerang karya Buya Hamka. Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, karya sastra terbesar Buya Hamka, dituduh plagiat. Dalam berbagai edisi, koran itu menuduh cerita dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijk menjiplak novel Magdalena, karya penulis Mesir Musthafa Luthfi Al Manfaluthi.

Untuk menengahi polemik ini, HB Jassin, pakar sastra terkemuka di saat itu, mengadakan kajian. Hasilnya, novel Buya Hamka bukanlah plagiat. Sekalipun ada kemiripan di beberapa tempat, paling jauh hanya dapat dikatakan "disadur". Sebab, tokoh, latar, maupun banyak jalan cerita, merupakan khas Indonesia. Bahkan, dalam beberapa bagian, merupakan kisah dari kehidupan Buya Hamka sendiri.

Rupanya, polemik itu membuat nama Buya Hamka dijatuhkan dalam kalangan sastrawan. Di tengah kondisi yang sulit, nama Buya Hamka di kalangan "kiri" sudah buruk. Dituduh plagiat, mengkhianati negara, hingga tuduhan yang membawanya pada penjara. Merencanakan makar terhadap pemerintahan yang sah.


Senin siang, tanggal 23 Januari 1964 atau 12 Ramadhan 1383 H, datang tiga orang polisi dari Departemen Angkatan Kepolisian (Depak) menangkap Buya Hamka. Beliau ditangkap dengan alasan melanggar Penetapan Presiden nomor 11 tahun 1963. Isi dari Penpres itu membolehkan kepolisian menangkap siapapun yang dicurigai akan melakukan makar.

Buya Hamka dipenjara di berbagai tempat di wilayah Puncak hingga Sukabumi. Beliau diinterograsi (dengan salah satu kejadiannya sudah dikisahkan di awal) oleh banyak polisi secara bergantian. Pemeriksaan itu cukup menyiksa, dengan kondisi beliau saat itu sudah berusia 56 tahun, hingga tidak tertidur dalam beberapa hari pemeriksaan. Beliau akhirnya bisa istirahat setelah kemudian dipaksa menandatangani sebuah surat pengakuan. Mengakui hal yang tidak pernah ia perbuat sebelumnya.

Beliau juga dijebak dengan berbagai pertanyaan. Termasuk dengan sebuah pernyataan dari seorang sahabatnya, Zawawi, yang ternyata juga membuat sebuah pengakuan palsu karena tidak tahan disiksa. Buya Hamka kemudian mengarang bahwa pernah diadakan sebuah pertemuan untuk merencanakan pembunuhan Presiden Sukarno di Tangerang. Untuk menyukseskan gerakan ini, beliau dituduh mendapat bantuan empat juta dollar dari Perdana Menteri Malaysia. Meski kemudian terbantahkan melalui proses rekonstruksi yang tidak menemukan bukti maupun tempat seperti yang digambarkan.

Fitnah lainnya ialah bahwa Buya Hamka menghasut mahasiswa di IAIN Ciputat (kini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) untuk meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo (DI/TII), Daud Bereuh (Aceh) dan yang lainnya. Rupanya, ada seseorang yang menjadi mata-mata dan berpura-pura menjadi mahasiswa. Dia mendengar hanya setengah, datangnya terlambat, pulangnya lebih awal, ia tidak dengar sampai akhir. Lantas menyimpulkan bahwa Buya Hamka menghasut pemberontakan.

Buya Hamka kemudian ditahan selama kurang lebih dua tahun. Di tengah masa tahanan, penyakit wasir beliau kambuh. Sehingga beliau meneruskan tahanan di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Rupanya, menurut sebuah kisah, dokter yang merawat beliau di Rumah Sakit Persahabatan merupakan pengagum beliau. Sehingga, beliau terus dinyatakan "sakit" agar tidak harus kembali ke tahanan. Beliau tetap tinggal di rumah sakit dan bisa mendapat perawatan yang lebih manusiawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun