Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Benarkah 2019 Indonesia Berpotensi Krisis?

31 Agustus 2018   14:12 Diperbarui: 1 September 2018   18:21 5838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak bermaksud untuk menebar ketakutan atau pesimisme. Tetapi, ada baiknya kita membaca keadaan dan mewaspadai apa yang ada di hadapan. Jika kita berkaca pada sejarah, Indonesia setidaknya pernah melewati dua kali krisis parah. 

Pertama krisis tahun 1966-1967. Kedua, krisis tahun 1997-1998. Kedua krisis ini bisa kita lihat memiliki pola yang mirip, yakni saling berkelindannya faktor ekonomi dan faktor politik sehingga muncul sebuah ledakan krisis yang menghantam berbagai lini kehidupan.

Tahun depan, kita pun dihadapkan pada kondisi yang tidak jauh berbeda. Dari sisi politik, kita akan berhadapan dengan pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD) dan eksekutif (Presiden).  Dari sisi ekonomi, kita dalam bayang-bayang lesunya ekonomi dunia, khususnya negara berkembang.

Pertama, sisi politik. Sebenarnya, pemilu 2019 adalah sesuatu yang wajar, biasa, dan lumrah dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Setiap lima tahun, kita memang punya hajatan untuk memilih pemimpin dan perwakilan di lembaga perwakilan rakyat. Tapi, sayangnya situasi politik kali ini agak berbeda. 

Situasi politik jelang pemilu 2019 kali ini akan lebih terpusat pada pemilu presiden, yang gaungnya sudah berbunyi sejak tahun kemarin. Yang paling mengkhawatirkan di kondisi yang seperti ini adalah terjadinya polarisasi. Masyarakat seperti dibelah oleh tagar #2019GantiPresiden dan #Jokowi2Periode. Seolah-olah, masyarakat harus ada di satu posisi sembari menafikan yang lain. Hal ini tentu berbahaya bagi stabilitas masyarakat.

Apalagi, akhir-akhir ini kita juga dipertontonkan dengan aksi saling balas kedua kubu. Satu kubu merasa dipersekusi, kubu lain merasa wajar karena mereka dianggap makar. Keduanya sama-sama menutup mata dan telinga dari memahami rasionalisasi kubu lawannya. 

Akhirnya, ribut-ribut nirfaedah terjadi. Di dunia maya, kedua tagar dan pendukungnya berebut menjadi trending topic. Di dunia nyata, kita disajikan dengan debat minim argumen di televisi. Akhirnya, kedua pihak tidak berfokus pada program, tapi lebih fokus pada menang-menangan suara.

Memang, beberapa waktu yang lalu, dua tokoh sentral, Jokowi dan Prabowo, saling berpelukan di ajang olahraga Asian Games. Sayangnya, di pihak simpatisan, masih saja belum meredakan suasana, sebagaimana para elit sudah mencontohkan. 

Kondisi ini, diakui atau tidak, membawa suasana panas di masyarakat. Jika kedua pihak tidak menahan diri dan memperbaiki sikap, bukan tidak mungkin konflik yang lebih runcing akan terjadi. Kita tentu tidak mengharap yang demikian.

Kedua, sisi ekonomi. Kita melihat adanya kondisi ekonomi yang cukup memgkhawatirkan, baik internal maupun eksternal.

Di dalam negeri, kita menghadapi pelemahan daya beli. Dua tahun terakhir, kita melihat kondisi pusat perbelanjaan yang tidak seramai lima tahun yang lalu. Beberapa toko retail, seperti Ramayana, Giant, dan Matahari, menutup sebagian gerainya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun