Mohon tunggu...
Fallenpx
Fallenpx Mohon Tunggu... -

I'll write more if deemed necessary ;)

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Mengupas Hal-hal Lain Seputar Polemik Pengadaan MBT buat TNI-AD

5 Februari 2012   21:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:01 4928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

>Kedua: Lapisan baja komposit yang dimiliki oleh Challenger 2 (yang dikenal dengan nama Dorchester Armor) dan konstruksi MBT modern mampu membatasi kerusakan sehingga hulu ledak ganda dari RPG-29 tersebut tidak mengakibatkan hancurnya tank tersebut secara keseluruhan dan masih memberikan perlindungan terhadap semua awaknya - walaupun sang pengemudi mengalami cedera.

Setelah peristiwa itu, semua MBT Challenger 2 Inggris yang beroperasi di medan konflik dimodifikasi dengan memasang perlindungan tambahan termasuk lapis baja reaktif untuk menghadapi roket-roket dan peluru-peluru kendali anti-tank dan memperkuat dasar tank untuk mampu bertahan terhadap ledakan ranjau IED (Improvised Explosive Device). Walhasil, dari beberapa kejadian setelahnya, tak ada lagi awak tank yang menjadi korban biarpun tank-tank mereka mengalami rusak parah terkena hantaman ranjau-ranjau dan senjata-senjata anti-tank tersebut.

Sebagai ilustrasi tambahan, sebuah T-90 Rusia dalam medan perang Chechnya, dihantam 7 buah RPG namun tetap bisa beroperasi. Kemudian dalam perang Libanon, dari puluhan tank-tank Merkava yang terkena serangan RPG dan ATGM, hanya dua yang dikategorikan sebagai "total loss" dimana sebagian besar yang lainnya hanya perlu ditarik kembali ke markas untuk diperbaiki dan siap operasional kembali. Belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut, negara-negara pembuat MBT merancang sistem lapis baja modular (modular armor) dimana kerusakan yang parah bisa diperbaiki di lapangan dengan hanya mengganti komponen-komponen yang mengalami kerusakan. Sistem modular ini juga membuat MBT-MBT modern mampu menyesuaikan diri dengan skala ancaman yang dihadapi yang menjadikan MBT-MBT tersebut semakin fleksibel dalam penggelarannya di lapangan.

Perkembangan selanjutnya, dalam hal "aksi dan reaksi" sebagaimana dituliskan pada poin b diatas, membuat MBT modern tidak lagi hanya mampu "bertahan dan berharap yang terbaik" bila diserang dengan RPG dan ATGM. Sistim perlindungan aktif (Active Protection System) seperti Arena dari Rusia, AMAP-ADS buatan Jerman dan Iron Fist serta Trophy buatan Israel, yang telah mulai diterapkan beberapa tahun belakangan ini, mampu menghancurkan senjata-senjata tersebut dari jarak aman sebelum sempat menghantam lapisan baja tank-tank tersebut. Sebuah riset yang tengah dijalankan di Amerika Serikat bahkan menjajaki kemungkinan menerapkan perisai elektromagnetis seperti dalam film-film fiksi ilmiah yang digadang mampu melumpuhkan semua senjata-senjata anti-tank masa kini termasuk proyektil energi kinetis dari tank-tank lawan.

Disini jelas terlihat hubungan yang saling berkait dan terus berkelanjutan dalam perkembangan teknologi militer dimana suatu inovasi akan melahirkan penangkalnya yang kemudian juga akan melahirkan penangkal dari penangkal teknologi tersebut, dan seterusnya. Jadi bila hal ini dikaitkan dalam diskusi pro-kontra MBT vs RPG dan ATGM, adalah sebuah pandangan yang amat sempit bila menilai pembelian Leopard 2 oleh TNI sebagai hal yang tidak perlu dan menganggap lebih baik membekali TNI dengan senjata-senjata anti tank daripada membeli MBT - suatu hal yang sangat konyol bila suatu saat para prajurit TNI harus berhadapan dengan MBT-MBT berteknologi tinggi milik negara asing yang dilengkapi dengan proteksi aktif yang datang untuk mengancam kedaulatan negara ini.

Ini belum menyebut kesulitan yang akan dihadapi oleh infantri pengusung RPG dan ATGM bila MBT-MBT tersebut bergerak bersama dukungan infantri-infantri dan kekuatan udara musuh. Perlu diketahui bahwa doktrin perang modern tidak mengajarkan MBT untuk bergerak sendirian, melainkan saling mendukung antara satu kekuatan dengan kekuatan lainnya. Inilah salah satu pengejawantahan konsep "combined arms" yang tidak disadari oleh para kalangan yang berpandangan sempit itu. Dengan penggelaran semacam ini, tak hanya infantri pengusung RPG dan ATGM yang akan bisa diatasi, ancaman serangan udara terhadap kekuatan tersebutpun telah diantisipasi dengan memberikan senjata rudal panggul anti pesawat terbang kepada infantri pendukungnya disamping artileri dan kendaraan peluncur peluru kendali anti pesawat terbang yang mengikuti di belakangnya.

Ini semua bukan berarti bahwa senjata-senjata anti-tank tersebut tidak mempunyai tempat dalam inventaris TNI. Solusi yang paling tepat adalah menganggarkan pembelian MBT bersama senjata-senjata anti-tank - baik itu yang dibawa oleh infantri maupun yang diluncurkan dari kendaraan-kendaraan tempur lainnya. Ini dikarenakan jenis dan skala ancaman yang sangat beragam membutuhkan penanganan, taktik dan alat yang bervariasi pula sebagaimana dituliskan dalam poin a diatas.

Namun semua penjelasan ini mungkin belum cukup meyakinkan kalangan pendukung RPG dan ATGM sebagai senjata "sakti" pemusnah tank yang memandang rencana pembelian MBT sebagai kemubaziran. Menariknya, opini-opini semacam ini bukanlah hal yang baru karena sejak infantri mulai dibekali dengan senapan dan amunisi khusus penembus baja (di era Perang Dunia I dan II) hingga ATGM di masa sekarang, pendapat yang menyatakan kejayaan tank telah berakhir telah bergaung dengan lantang. Nyatanya kita melihat bahkan di medan perang Afghanistan yang terkenal sulit bagi penggelaran klasik lapis baja, MBT masih memegang peranan penting dalam peperangan. Lalu menarik pula untuk dicermati bahwa negara-negara pembuat MBT, masing-masing masih memiliki proyek-proyek MBT generasi selanjutnya yang setidaknya mengilustrasikan bahwa peran lapis baja di medan tempur modern di masa depan masih tetap dianggap penting dan esensial bagi kekuatan militer negara-negara tersebut.

******

3. Indonesia negara kepulauan. Tidak cocok untuk MBT, dan sangat sulit untuk memindah-mindahkan MBT dari satu pulau ke pulau yang lain!

Jepang adalah sebuah negara kepulauan dengan komposisi yang mirip dengan Indonesia (dalam artian bergunung-gunung dan dengan masih banyak area yang berhutan lebat), tapi itu tidak menjadikan negara tersebut memandang MBT sebagai sebuah hal yang tidak diperlukan. Betul bahwa sarana dan prasarana jalan dan jembatan di Jepang jauh lebih maju dibanding di Indonesia, akan tetapi bila dihubungkan dengan penjelasan pertama diatas, keterbatasan sarana dan prasarana jalan dan jembatan di Indonesia tidak lantas menjadikan penggelaran MBT menjadi hal yang mustahil.

Tentang medan Indonesia - khususnya di Kalimantan yang dianggap tidak bisa ditembus oleh lapis baja, dan tentang "keyakinan" bahwa ATGM, RPG dan helikopter serang sudah cukup untuk menghentikan MBT modern seperti pada bahasan nomer 2, mengingatkan tentang pendapat yang digemakan Marshal Pétain (Jendral Phillipe Pétain) di Perancis pada tahun 1930 yang menyatakan bahwa hutan Ardennes dan garis pertahanan Maginot tidak akan bisa ditembus dan bahwa kombinasi ranjau anti-tank serta artileri sudah cukup untuk menghancurkan tank-tank Jerman. Fakta sejarah membuktikan lain. Di tahun 1940 kekuatan lapis baja Jerman merangsek maju melalui kerapatan hutan Ardennes, mem-"by-pass" garis pertahanan Maginot dan memotong jalur logistiknya. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kejatuhan Perancis yang tidak menyangka bahwa apa yang mereka nilai sebagai hal yang mustahil dilakukan oleh Jerman, justru adalah apa yang dilakukan oleh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun