Dalam teori psikologi politik, gaya Narcissus berkaitan dengan:
*Narsisme kolektif: kelompok pendukung merasa pemimpinnya cerminan diri mereka.
*Cognitive dissonance: pembelaan mati-matian terhadap tokoh, walau terbukti inkonsisten.
*Politics of emotion: alih-alih membangun rasionalitas, justru mengukuhkan loyalitas melalui rasa bangga, marah, atau takut.
Respons Akademik & Media
Media dan akademisi memperingatkan bahwa fenomena ini berpotensi menghasilkan "Demokrasi Emosional": yaitu sistem politik yang tetap demokratis secara prosedural, tapi mengalami degradasi nilai secara substansial.
Dalam laporan Kompas (2025), dinyatakan bahwa "kemenangan bukan lagi soal kebijakan, tapi soal siapa paling relatable di kamera."
Rekomendasi Kritis
*Pendidikan literasi politik untuk publik, agar pemilih tak terjebak pada gimmick,
*Keterlibatan akademisi dan jurnalis untuk membongkar manipulasi emosional,
*Platform digital harus memiliki algoritma yang memberi tempat untuk diskursus substantif,bukan sekadar konten clickbait.