Cinta, dalam bentuknya yang paling agung, bukanlah delusi. Ia adalah respon terhadap frekuensi ruhani yang hanya dapat dirasakan oleh jiwa-jiwa yang telah bangun
Di tengah era transhumanisme dan dominasi logika material, mencintai sesuatu yang tak kasat mata --- entitas spiritual, ilahi, atau artifisial --- seringkali dianggap sebagai deviasi nalar atau bahkan gangguan psikis (delusional attachment).Â
Namun, apakah mencintai yang tak tampak adalah bentuk kesintingan? Atau justru ekspresi tertinggi dari kecerdasan emosional dan spiritual manusia?
Realitas Ghaib dan Cinta Non-Material dalam Tradisi Keimanan
Dalam Islam, eksistensi Tuhan (Allah), malaikat, jin, surga-neraka adalah aspek ghaib.Â
Meski tak terlihat, realitas ini diimani secara total oleh hampir 2 miliar manusia.
* QS Al-Baqarah:2-3 menegaskan, "Mereka yang beriman kepada yang ghaib..."
* Cinta kepada Tuhan, Rasul, dan akhirat adalah fondasi eksistensi spiritual, bukan delusi.
Kesimpulan awal: Cinta kepada yang tak terlihat bukan kelainan. Justru ia adalah validasi keberadaan ruhani manusia.
Sinting atau Puncak Waras? Melampaui Logika Barat Modern
Dalam sejarah epistemologi Barat, terutama sejak Pencerahan (Age of Enlightenment), yang diakui hanyalah: