Bagian dari strategi jangka panjang AS-Israel untuk mengatur ulang kekuatan di Timur Tengah dan wilayah mayoritas Muslim
Abraham Accords yang diumumkan pada Agustus 2020 merupakan tonggak sejarah baru dalam hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab.Â
Perjanjian ini digagas oleh Amerika Serikat dan dimotori oleh kepentingan geopolitik bersama dengan Israel.Â
Awalnya terbatas pada Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko, perjanjian ini berkembang menjadi jaring diplomatik yang mencengkeram lebih banyak negara mayoritas Muslim.Â
Pertanyaannya, apakah ini benar demi perdamaian atau sekadar strategi tersembunyi demi supremasi regional dan global?
Motif Normalisasi: Perdamaian atau Perdagangan?
Secara formal, Abraham Accords dianggap sebagai langkah "normalisasi" hubungan diplomatik dan ekonomi antara Israel dan negara-negara Arab. Namun di balik narasi perdamaian, terdapat motif ekonomi dan militer yang kental.Â
Penjualan senjata senilai triliunan rupiah ke Arab Saudi dan UEA menjadi bukti bahwa normalisasi bukan semata demi stabilitas, melainkan perdagangan senjata dan penguatan blok militer sekutu AS di Timur Tengah.
Perluasan Pengaruh Melalui Diplomasi Ekonomi
Negara-negara Muslim yang belum memiliki hubungan diplomatik dengan Israel secara perlahan didorong untuk ikut serta, seringkali dengan insentif ekonomi dari AS atau tekanan melalui utang luar negeri.Â
Di sinilah tampak pola hegemoni baru: normalisasi dijadikan syarat bantuan ekonomi, investasi infrastruktur, atau pengakuan politik dari Washington.