Namun sepandai-pandai tupai meloncat, toh bakalan jatuh juga. Demikian juga dengan kekhawatiran seandainya para penulis abal-abal dengan mudah meproklamirkan hasil tulisannya lalu dengan pongah mencemooh para penulis asli, betapa tidak tahu malunya.
Seperti apapun itu, akan tetap ada kelemahan dari tulisan yang diperoleh dari mesin chatbot. Karena dibuat oleh mesin tentu saja gaya yang dihasilkan juga bergaya mesin. Tata bahasanya tentu saja kaku, tak seluwes bahasa manusia. Ibarat robot, disuruh melakukan apapun bisa, meskipun terkesan alami, pastilah ada sisi kekakuan, tak seluwes manusia pada umumnya.Â
And so, sampai secanggih apa pun mesin chathbot. Seperti plagiat yang dilakukan  penulis abal-abal, tetap saja tulisan penulis asli lebih menarik dan memiliki ciri khas tertentu. Meski memang akan sulit dipahami oleh orang awam, namun dengan masih adanya mereka yang memiliki tingkat kecerdasan dan literasi tinggi dalam memahami tata bahasa dan gaya bahasa tulisan, maka plagiat tetap tak ada tempat di hati pegiat literasi.
Penulis handal dan profesional tetap takkan terkalahkan oleh chatbot apa pun, sebab gaya bahasa dan ciri khas identik jelas di atas segalanya. Ibarat memakai sepatu dengan brand mahal dan berkelas, lalu dihadapkan dengan sepatu sama persis tapi palsu, tentu saja hanya mereka yang cerdas literasi dan informasi yang mampu memahami.
Lalu bagaimana bila sendainya nanti dapat terlampaui juga kemampuan super untuk meniru penulis sesungguhnya? Percayalah, yang asli lebih berkualitas daripada yang hanya meniru dan tinggal copy paste dari chatbot saja.Â
Namun seandainya hal tersebut itu terjadi juga. Maka tidak akan diperlukan lagi penulis-penulis asli berbakat, hancurlah peradaban penulis bermutu, dan kiamatlah dunia kepenulisan, sebab semua berjiwa plagiat. Tak ada yag teliti dan berminat menulis, sebab tinggal copas dari mesin telusur berbasis kecerdasan buatan.Â
Sehingga menimbulkan pertanyaan, kehadiran ChatGPT benarkah sebagai sebuah perubahan positif luar biasa membantu bagi manusia, atau justru akan mengalahkan manusia itu sendiri. Mungkinkah suatu saat segalanya akan diambil alih oleh robot sehingga manusia tekuk lutut tak berdaya?
Tetapi seiring waktu, maka akan tiba saatnya pada titik nadir. Ketika penulis-penulis asli dirindukan kembali, yang tentu saja lebih memiliki gaya tarik humanis dibanding robot.