Mohon tunggu...
Fikriyatul Falashifah
Fikriyatul Falashifah Mohon Tunggu... -

Petualang Seumur Hidup. Independen Mutlak. Koleris Sanguinis. Muslimah (amiiin)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Indonesia: Krisis Apresiasi yang Kritis

28 Juli 2016   11:58 Diperbarui: 28 Juli 2016   12:17 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebelum menggelontorkan isi kepala saya, saya ingin menekankan beberapa hal agar tidak terjadi salah paham:
1. Saya tidak pernah menjadi fanatik terhadap suatu golongan, seseorang, atau sesuatu. Saya hanya meneladani dan mengapresiasi apa yang saya lihat baik, juga berusaha belajar dari hal buruk.
2. Saya meyakini setiap orang punya kekurangan. Hendaknya kita melengkapi kekurangan ini dan membantu mencapai kesempurnaan. Bukan dengan hujatan, melainkan dengan kritikan yang membangun, disampaikan pada forum yang tepat dan sesuai kapasitasnya sehingga memiliki dampak yang nyata.
3. Ini hanya opini, hanya ungkapan hati. Saya mungkin jauh dari politik dan bukan politisi. Saya cuma generasi muda Indonesia yang sedang mencari jatidiri. Saya bisa jadi tidak sebaik yang anda pikirkan, tetapi juga tidak seburuk yang anda prasangkakan. Silakan ambil hal baik dari saya dan kritisi hal buruk saya. Saya akan jadikan sebagai bahan introspeksi.

Isu reshuffle kabinet sedang merebak di berbagai media, diantaranya media sosial serta media massa baik cetak maupun elektronik. Hangat, dan sedang gencar dipenbincangkan dengan berbagai spekulasi dan sudut pandang.

Pertama yang akan saya soroti adalah kembalinya Ibu Sri Mulyani, sang srikandi Indonesia setelah hijrah ke world bank untuk mengabdi di kancah internasional. Saya ucapkan selamat datang dan selamat mengabdi kembali. Kembalinya Ibu mungkin akan jadi angin segar untuk mengangkat dan memperkuat perekonomian Indonesia.

Saya sama sekali bukan ahli, dan mungkin buta politik. Tidak ngerti sama sekali soal intrik-intrik. Saya hanyalah anak muda kacangan yang bahkan belum punya posisi untuk bekerja dimanapun. Selama ini saya hanya belajar dari pengetahuan yang saya peroleh dari buku-buku modul eksakta, jurnal dan beberapa info menarik dari media. Saya masih bersyukur memiliki banyak waktu luang untuk belajar banyak hal untuk memuaskan keingintahuan saya yang besar.

Kembali soal Ibu Sri Mulyani. Saya masih ingat betapa kontrasnya jaman dulu dan jaman sekarang. Ketika dulu Sang Srikandi terdzolimi akibat skandal bank century. Beberapa oknum pemerintah menghujat. Publik juga ikut menghujat.

Dikutip dari salah satu media, "Jika di dalam negeri melekat dengan banyak masalah, bagi dunia internasional sosoknya dikenal sebagai pemimpin ekonomi yang kerap diganjar penghargaan. Misalnya, awal 2008, dia dianugerahi penghargaan oleh Institut Singapore untuk Urusan Internasional sebagai seorang pemimpin yang mempengaruhi perkembangan Asia. Ia juga pernah menerima penghargaan dari dua media internasional karena dianggap berhasil mengamankan Indonesia dari terjangan krisis ekonomi global. Ia memperoleh penghargaan sebagai Menteri Keuangan Asia Terbaik 2008 dari majalah Emerging Markets Asia dan Menteri Keuangan Terbaik 2008 versi majalah Euro Money."


Tentu saja kita mengharapkan orang-orang yang berkompeten untuk dapat menyelesaikan permasalahan negara yang banyak. Tetapi penyakit lama kita sejak jaman dahulu belum juga berubah. Orang-orang berkompeten ini selalu kita cari kelemahannya, selalu kita halangi jalan pengabdiannya, selalu kita pandang negatif citranya dan kita "tendang".

BJ Habibie menjadi orang besar di Jerman, di negaranya sendiri justru "diserang". Sri Mulyani dan mungkin beberapa "orang besar" lainnya mungkin menghadapi kendala yang serupa. Kendala yang membuat sebagian besar ilmuwan Indonesia yang berkompeten enggan mengabdi di negara ini karena banyak sekali masyarakat yang negative thinking dan tidak menghargai beliau-beliau yang tulus untuk mengabdi. Alih-alih menghargai, justru sikap yang kita berikan adalah memberikan berbagai tekanan sosial. Alih-alih mengapresiasi kinerjanya, yang kita berikan justru menjegal dan memojokkannya.

Baru setelah level dunia memberikan apresiasi, Srikandi Indonesia disambut baik dan hangat. Salut untuk Ibu Sri karena telah bermain dengan cantik untuk membuktikan bahwa ada segelintir orang yang rela bekerja keras untuk mengabdi di bangsa ini. Kalau bukan karena ketulusan, bagaimana mungkin dia mau kembali ke Indonesia? Gaji Ibu di world bank kurang lebih 8 M, gaji seorang menteri plus tunjangannya masih jauh dari angka itu.

Ketika dulu kita menghujat beliau dan sekarang mengharapkan banyak hal setelah Ia kembali, apa kita tidak malu?

Saya jadi berpikir, menjadi orang besar akan selalu menuai banyak hujatan. Kita menghujat Pak Harto karena otoriternya. Semasa kepemimpinan SBY kita banyak menjagal kekurangannya juga. Habibie juga diperlakukan serupa. Kita akan selalu mengedepankan sikap "sirik" kepada pemerintah yang bertugas dan di sisi lain memberikan tuntutan yang tidak sedikit.

Masalah di negara ini sangat banyak, dan mungkin setiap pemimpin memiliki jatah untuk menyelesaikannya satu persatu. Terlepas dari kekurangan dalam pemerintahannya dan citra negatif yang kita berikan, usaha keras mereka untuk mengurangi jam tidur dan memikirkan lebih banyak hal dari kita patut diapresiasi.

Jikalau mereka memiliki kekurangan, kritiklah dengan cara yang elegan. Kritiklah dengan cara dimana kritik anda akan didengar dan menghasilkan suatu perubahan. Kritiklah di saluran yang tepat dan memang sudah disediakan untuk pengaduan agar segera ditindaklanjuti. Sebagai contoh, ketika anda berada di Kabupaten Batang, setiap jumat kliwon, Bapak Bupati Yoyok Riyo Sudibyo menggelar "Bapak Bupati Mendengar" dimana kita bisa langsung menyuarakan aspirasi kepada pemimpin. Jika ini pun tidak ditanggapi atau tanggapannya tidak memuaskan, lanjutkanlah hidup dengan pengabdian sesuai profesi anda masing-masing. Mungkin para pemimpin kita memiliki prioritas lain dan cara tersendiri, atau ada hal-hal yang tidak kita tahu dalam level kita sebagai masyarakat sipil biasa.

Jika anda banyak mengkritik dan menyuarakan hal negatif di media sosial tapi tidak menghasilkan apa-apa, anda hanya akan menghasilkan dua hal: Pertama, anda hanya akan melahirkan pesimisme kolektif dan sikap skeptis serta antipati terhadap setiap kekurangan, bukan melahirkan hasrat untuk turut memperbaiki dan tentu saja mengurangi objektivitas karena tidak menimbang dari dua arah. Yang kedua, anda hanya akan menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat.

Memang benar, untuk setiap perkembangan dan kemajuan akan langkah yang akan di ambil, akan selalu ada pihak yang pro dan kontra. Tidak apa. Kita butuh keduanya. Memang butuh keduanya. Kita butuh dukungan dan penyempurnaan. Tapi tolong pikirkan caranya. Apakah cara tersebut efektif dan menghasilkan perubahan, atau hanya ceracau ketidakpuasan anda saja?

Di negara maju seperti Selandia Baru, tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintahnya mendekati 70%, serta menduduki sebagai negara nomer 1 anti korupsi sedunia. Disana, masyarakat akan lebih banyak bekerja dan mengasah kreativitas diri untuk meningkatkan perekonomian (kalau di Indonesia ini disebut sektor industri kreatif/ ekonomi kreatif). Mungkin ini bisa dicontoh untuk beberapa muda-mudi Indonesia, daripada kita semua sibuk mengkritik sana-sini terhadap pemerintah padahal kita juga belum tentu tahu persis apa yang terjadi di level pemerintahan, mending kita mengabdi sesuai profesi. Menjalani hobi dan berkreasi. Membuka ruang bagi diri kita sendiri, syukur-syukur itu jadi peluang usaha yang bisa merekrut orang banyak. Bukankah lebih bermanfaat?

Kalian pernah merasakan hal ini tentunya: telah bekerja sedemikian keras tetapi tidak dihargai, digaji sedikit dan tidak sesuai dengan pengorbanan yang dikeluarkan. Bahkan mungkin difitnah sana-sini padahal kalian telah berbuat dan mengusahakan yang terbaik, tapi tetap saja ada orang yang merasa kurang atau menuntut banyak hal. Apa yang akan kalian lakukan sebagai karyawan jika menghadapi hal ini? Mungkin sebulan dua bulan kalian akan berpikir untuk resign. Apalagi pemerintah kita yang menghadapi masalah yang tidak mudah, dengan tuntutan dan hujatan yang mungkin lebih banyak daripada dukungan serta apresiasi yang diterimanya. Sebulan dua bulan dihujat dan tidak dihargai di perusahaan saja kita sudah tidak tahan dan ingin resign, menyelesaikan skripsi saja lebih dari target (termasuk saya sendiri), kok menginginkan manusia lain menjadi lebih sempurna? Think again.

Lama kelamaan, orang akan malas mengabdi di Indonesia karena lebih banyak cercaannya. Ilmuwan cerdas akan malas mengabdi di Indonesia karena minimnya apreasiasi dan ruang yang diberikan. Saya melihat dari komentar beberapa orang di kolom "manfaat kecoa", beberapa dari mereka menganggap para ilmuwan ini sinting. Dulu, sebelum ada pesawat terbang, kita menganggap transportasi udara itu khayalan dan kesintingan belaka. Lalu apa yang ada sekarang? Transportasi udara telah menghubungkan seluruh negara dan menjadi kebutuhan vital serta bermanfaat bagi umat. Gimana, masih mau berpikir kolot, tradisional, dan mental seorang penghujat? Mainmu kurang jauh, nak! Mending kita belajar menari atau mendongeng untuk adik-adik kita dirumah, itu lebih bagus, setidaknya waktu kita dan apa yang kita tuturkan baik dan bermanfaat untuk sekitar kita. Setidaknya, apa yang kita lakukan itu mendidik dan berdampak baik.

INDONESIA MEMANG KRISIS APRESIASI.

Halo anak muda Indonesia, di saat kalian sedang nongkrong, ketawa-ketiwi, nonton film dan bersenang-senang dengan rekan sebaya, bisa jadi para pemimpin kita sedang terjun ke remoted area untuk bekerja. Jika 10 atau 20 jurnal membuat kalian pusing kepala karena membacanya, para staff ahli kita sedang mencerna ratusan referensi dan mengumpulkannya menjadi satu acuan kebijakan. Sadarlah, teman-teman, yang kita lakukan dan usahakan belum seberapa. Kita masih awam dan anak bawang, jangan bersikap seperti langit dan mengobarkan permusuhan yang sengit.

Saya berpesan kepada diri sendiri dan mungkin orang-orang yang tetap positif thinking terhadap negeri ini, banyak sekali hal positif yang bisa kita gali, pelajari dan apresiasi. Saya jelas bukan orang politik dan sama sekali belum menyentuh level politik, makanya saya belum mau mengkritik karena belum punya solusi taktis serta bukan kapasitas saya. Saya masih anak bawang yang dalam penganggurannya hanya bisa membaca banyak hal dari dunia yang saya geluti dan mengambil pelajaran dari orang-orang di sekeliling saya. Mengabdilah sesuai kapasitasmu, dan jika kamu belum bisa merubah sesuatu, maka diamlah. Lakukan apa yang bisa kamu lakukan. Teruslah memperbaiki.

Jangan membenci. Amat sayang jika hidup kita, hati kita, kita habiskan untuk kebencian. Aura kebencian ini disebarkan oleh setan bukan? Akan lebih baik aura kompetisi ini kita ganti menjadi "era kolaborasi". Jika kita berkompetisi, jagal-menjagal akan sangat dimungkinkan terjadi. Tapi jika kita berkolaborasi, maka kita akan saling memperbaiki dan menuju ke arah yang sama, tujuan yang sama, demi Indonesia yang lebih baik. Sebarkan aura positif dan lebih condongkan sudut pandang kita kepada prestasi bangsa, yang membuat kita bangga menjadi bagian dari Indonesia.

Ibarat berumah tangga, kita adalah bagian dari rumah tangga Indonesia. Biarkan orang luar tahunya Indonesia itu makmur dan gemah ripah loh jinawi, dengan masyarakat yang tenteram dan damai, sehingga negara lain pun tidak ragu untuk memberikan bantuan karena citra positif yang kita gaungkan. Biarlah kekurangan negeri kita hanya kita yang tahu, sebagaimana masalah rumah tangga kita sama sekali tidak boleh terdengar oleh pihak luar. Dan hendaknya, jika ada masalah, segera selesaikan dengan baik, tepat dan efisien.

Jika kita bukan dalam levelnya untuk menyelesaikan masalah, maka berkaryalah sesuai kapasitas kita. Sebagaimana jika dalam urusan rumah tangga, jika ada permasalahan yang bisa diselesaikan orang tua kita, biar cukup orang tua kita saja. Jangan ikut campur dan sok tahu sebagai anak, berikan bantuan dan dukungan serta kepercayaan kepada orang tua kita, selebihnya tetaplah belajar dan lakukan hal-hal sebagaimana levelnya seorang anak. Bahkan menjadi pemimpin dalam keluarga saja kita belum mengalaminya.

Melalui tulisan ini, saya mengajak generasi muda Indonesia untuk lebih sering membuka situs Good News From Indonesia, Kompas Muda atau National Geographic Indonesia, dibandingkan membuka situs yang berpotensi meracuni pikiran kita dan mengurangi kecintaan kita kepada Indonesia. Siapapun yang menjabat di negeri kita saat ini, terlepas dari apapun konflik dan baik buruknya pemerintahan anda, saya menyatakan dukungan sebagai warga negara. Saya belum tentu sebaik anda jika nanti saya memimpin, bahkan untuk memimpin wadah kecil saja saya belum berani, makanya saya menghargai keberanian anda untuk memimpin dalam wadah sebesar ini. Anda adalah orang-orang pilihan Allah untuk kita teladani, baik buruknya anda, umatlah yang mengilhami dan mempelajari. Kita butuh contoh baik dan contoh buruk untuk bisa belajar, bukan?

Untuk Ibu Sri Mulyani, jangan kapok untuk mengabdi di Indonesia. Saya mencintai negeri ini, dan saya yakin cinta anda lebih besar untuk negeri ini, yang membuat anda kembali menduduki posisi anda sekarang. Terima kasih sudah memberikan teladan yang baik dan menyebarkan aura positif di negeri ini, semoga amanah dan selamat berjuang.

-Catatan seorang anak awam yang belum tahu apa-apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun