Mohon tunggu...
Muhammad Fakhriansyah
Muhammad Fakhriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa semester akhir di program studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta. Sejak Februari 2021 menjadi kontributor tetap Tirto.ID. Tulisannya berfokus pada sejarah kesehatan Indonesia dan sejarah politik internasional. Penulis dapat dihubungi melalui: fakhriansyahmuhammad27@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Politik Balas Budi dan Praktik Pendidikan Setengah Hati

21 September 2020   17:19 Diperbarui: 28 Maret 2022   11:27 1726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik Balas Budi dan Praktik Pendidikan Setengah Hati (Sumber: KITLV)

Meski begitu, sekalipun ini merupakan bagian dari kebijakan etis, akses pendidikan kepada bumiputra tidak diberikan begitu saja. Dengan kata lain, akses warga bumiputra kebanyakan terhadap pendidikan modern ketika itu sangat terbatas. Pembatasan tersebut dapat dilihat ketika pemeritah kolonial menerapkan bebeberapa kebijakan terkait pendidikan pada masa itu. 

Nasution dalam Sejarah Pendidikan Indonesia (1983), mengungkapkan enam ciri umum kebijakan pendidikan pada masa etis.

Pertama, pendidikan yang dengan sengaja mempertahankan perbedaan sosial dengan didirikannya sekolah untuk anak Belanda dan sekolah untuk anak bumiputra. 

Kedua, pendidikan yang mengusahakan edukasi yang sesederhana mungkin bagi anak bumiputra. Salah satu alasannya adalah mahalnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan pemerintah. 

Baca juga : Humanisme Barat dan Politik Etis

Ketiga, pendidikan yang dikontrol ketat oleh pemerintah sehingga kecil kemungkinan terlambatnya proses perkembangan pendidikan di Hindia Belanda. Dampaknya perkembangan pendidikan bumiptera sangat lambat. 

Keempat, adanya prinsip yang mengharuskan semua sekolah berorientasi barat. 

Kelima, tidak adanya rancangan terlebih dahulu ketika melakukan proses pendidikan. Akibatnya, proses pembelajaran terganggu akibat adanya revisi terus menerus atas aturan pendidikan. 

Keenam, keterbatasan tujuan karir setelah lulus sekolah.

Keenam ciri umum tersebut bisa dibilang merupakan halangan ketika bumiputra memperoleh pendidikan. Meski pendidikan gaya barat tersebut merupakan tanda resmi dari Politik Etis, program tersebut memiliki tujuan yang sangat utama yaitu untuk memproduksi jenis tenaga kerja yang diperlukan oleh negara.  

Pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial memang tidak pernah sengaja dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk bumiputra di wilayah koloni. Alih-alih mereka membangun sekolah, lebih baik mereka membuka perkebunan, misalnya, yang bisa memberikan keuntungan bagi mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun