Pada tanggal 17 Juni 2020, Narasi TVÂ merilis sebuah video analisis pendek mengenai penanganan pandemi di Indonesia. Di dalam video tersebut, Narasi TVÂ menganalisis bahwa tindakan pemerintah Indonesia selama sekitar empat bulan ini tampak sekedar mengikuti langkah-langkah yang telah dilakukan oleh negara-negara lain yang berhasil baik menangani pandemi tanpa mempertimbangkan kondisi dalam negeri.Â
Melalui video pendek ini, Narasi TVÂ berhasil mengadirkan paradoks kebijakan pemerintah yang pada satu sisi terlambat dan pada sisi lain terlalu cepat diperkenalkan.Â
Kebijakan tersebut terlambat pada sisi respons awal terhadap kemunculan COVID-19, sedangkan terlalu cepat pada sisi pelonggaran karantina (yang dibahasakan pemerintah sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar, PSBB).Â
Dengan demikian, kebijakan pemerintah belakangan tampak tidak pernah tepat waktu dalam merespons permasalahan yang melanda Indonesia---dan pada sisi lain juga dalam melihat perkembangan kawasan Asia-Pasifik.
Tren keterlambatan dan keadaan serba tidak tepat yang demikian dalam kasus pembuatan kebijakan di kepulauan ini bukan suatu hal baru yang terjadi pada satu administrasi presiden saja. Keterlambatan adalah aspek yang endemik pada pembuatan kebijakan setidaknya sejak masa Hindia Belanda (1818--1942).Â
Ide Anak Agung Gde Agung (1973: 98) menyatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda selalu terlambat dalam membaca perkembangan politik yang berada di sekitarnya. Sedikitnya, Hindia Belanda telah memperkenalkan tiga kebijakan yang ketinggalan zaman (out of step) pada masanya.
Pada permulaan abad ke-19, Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC) menyatakan kebangkrutannya sehingga membuat segala harta dan kewajiban perusahaan diserahkan kepada pemerintah Negeri Belanda.Â
Sebelum sempat menyusun administrasi bagi koloni barunya di Asia, Negeri Belanda terseret dalam percaturan politik dan konflik di Eropa yang membuatnya berada di bawah pengaruh Kekaisaran Prancis yang baru. Hal ini membuat negeri koloni baru juga berada di bawah otoritas Belanda-Prancis yang mengirim Marsekal Herman Willem Daendels (1762--1818; menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda-Prancis, 1808--11) untuk memerintah di Jawa.Â
Marsekal baru berfokus pada persiapan perang dan reorganisasi administrasi sehingga tidak banyak memperhatikan perubahan sosial-ekonomi yang sedang terjadi di kawasan Asia.Â
Ketika Daendels sedang sibuk memainkan catur politiknya dengan kerajaan-kerajaan Jawa tengah-selatan untuk mendapat dukungan dalam pembangunan infrastruktur perangnya, Gilbert Elliot-Murray (bergelar Lord Minto; 1751--1814; menjabat Gubernur Jenderal India, 1807--1813) memperkenalkan sistem ekonomi uang dan sistem baru pajak tanah di India.Â