Pandemi covid-19 menyebabkan Pilkada 2020 mengalami penjadwalan ulang. Pemerintah bersama KPU dan DPR sepakat menunda Pilkada 2020 hingga bulan Desember 2020, melalui Perppu No. 2 Tahun 2020.
Sayangnya, kondisi covid-19 di Indonesia hingga kini belum menunjukan tanda-tanda akan berakhir. Konsekuensi logisnya, akan menimbulkan kekosongan jabatan kepala daerah. Padahal, faktor kepemimpinan lokal memiliki pengaruh dalam efektivitas pengendalian pandemi Covid-19 (Yang, & Ren, 2020).[1]
Berdasarkan Pasal 201 ayat (6) UU No. 10 Tahun 2016, Indonesia memiliki agenda untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) di tanggal 23 September 2020.
Namun, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2020, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menjadwalkan ulang pilkada menjadi tanggal 9 Desember 2020, Penjadwalan ulang Pilkada mendatang juga mendapat berbagai kecaman, yang mana didasari atas rasa kewaspadaan dan kecemasan akibat terlebih lagi karena belum terkontrolnya kasus penularan Covid-19 di Indonesia.Â
Hingga saat ini pun, masih terdapat kewaspadaan dan kekhawatiran dengan menjadikan keselamatan masyarakat yang mana harus diprioritaskan terlebih dahulu. Banyak dari berbagai pihak yang menilai bahwa, Pelaksanaan Pilkada pada 9 Desember memang terkesan terburu-buru, di tengah fakta pandemi yang masih belum ada penurunan di dalam grafik nya.
Pro dan kontra dalam menanggapi rencana pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah Covid-19 memang sangat menarik untuk diperbincangkan. Pro dan kontra yang timbul akibat Covid-19, pada akhirnya menjadi polemik baru dan memunculkan output hukum berupa Perppu No.02 Tahun 2020 yang mana dimaksudkan untuk menjembatani antara hak dan kewajiban secara seimbang.
Opini yang bernada pro, tentu menginginkan terciptanya kualitas demokrasi yang baik melalui mekanisme dan prosedur tertentu walaupun di tengah ancaman wabah.
Kemudian, opini yang bernada kontra adalah bagian dari kekhawatiran dan kepedulian terhadap pemerintah dan masyarakat di tingkat daerah di masa pandemi Covid-19. Pada intinya, kontra terhadap pelaksanaan Pilkada 2020 adalah sesuatu yang juga rasional yang mana menyangkut keselamatan seluruh masyarakat Indonesia.
Pemerintah Indonesia sebaiknya mulai menjalin komunikasi dan konsolidasi dengan pemerintah daerah, beserta instrumen penyelenggara Pilkada secara lebih intens.
Selain itu, perlunya sosialisasi bagi warga masyarakat di seluruh daerah juga menjadi sangat urgent untuk diagendakan secara khusus, mengingat Pilkada di tahun 2020 ini juga berada dalam situasi darurat akibat bencana wabah Covid-19. Artinya opini publik yang saat ini berseteru, harus dijadikan dasar untuk menentukan langkah mana yang harus diputuskan dan kebijakan susulan ke depan yang mana harus dilaksanakan secara adil bagi kepentingan rakyat Indonesia.
Selain itu, keputusan maupun kebijakan susulan yang dibuat harus menjembatani kepentingan orang banyak tanpa menitikberatkan pada kecenderungan terhadap salah satu kelompok masyarakat tertentu tanpa terkecuali.
Keputusan Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menjadwalkan ulang pilkada menjadi tanggal 9 Desember 2020, menimbulkan perdebatan di masyarakat. Banyak pihak khawatir,bila pilkada tetap dilangsungkan pada bulan Desember 2020 justru akan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.
Persoalan Covid-19 yang berhubungan dengan pemilihan tahun 2020 masih membutuhkan ruang khusus. Namun jika merujuk kepada kondisi pandemi Covid-19 yang masih belum terkendali, maka sebaiknya Pilkada di 2020 ini memang ditunda total. Prioritas yang semestinya diutamakan adalah, tentang bagaimana Negara memenuhi aspek dan kebutuhan fundamental bagi tiap warganya (kesehatan & keselamatan).[2]
Sebagaimana kita ketahui, pemilu adalah konsekuensi logis dari negara demokrasi, dan demokrasi adalah cara aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum (Hidayat, 2010).Pandemi Covid-19 memaksa kita untuk membuat norma dan normal baru (memperbarui kebiasaan, tingkah laku, dan berbagai aturan).
Demokrasi tetap harus dijalankan, namun dengan mematuhi dan menjaga protokol serta hak kesehatan masyarakat. Hak kesehatan adalah HAM, yang muncul karena demokratisasi (Aswandi, & Roisah,2019), maka rasanya kurang elok bila hak kesehatan dikorbankan atas nama demokrasi.
Perppu No. 2 Tahun 2020 yang dikeluarkan pemerintah dengan dukungan DPR, menunjukkan Indonesia tetap mempertahankan sistem pilkada secara langsung dengan cara konvensional. Namun keputusan ini tetap harus diapresiasi, karena adanya keinginan pemerintah untuk menjamin keberlangsungan hak konstitusional setiap warga negara.
Namun demi menjalankan pilkada konvensional tersebut, setidaknya ada dua aspek hak dalam HAM yang utama dan hendaknya menjadi perhatian khusus dalam penyelenggaraan pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19, yaitu hak atas kesehatan dan hak atas politik (memilih dan/ atau dipilih).
Pilkada di masa pandemi Covid-19 ini, tentu memerlukan kerjasama dari berbagai pihak agar mengedepankan kepentingan bersama. Bagaimana pun, kemaslahatan orang banyak adalah prioritas utama yang memang harus dikuatkan oleh Pemerintah dalam suatu negara, supaya apabila timbul kerugian nantinya tidak menjadi persoalan tambahan yang malah menambah beban bagi daerah-daerah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pandemi Covid-19 memaksa kita untuk membuat norma dan normal baru (memperbarui kebiasaan, tingkah laku, dan berbagai aturan), terkhusus pada pelaksanaan PILKADA 2020, Demokrasi memang tetap harus dijalankan, namun sebaiknya harus mematuhi dan menjaga protokol serta hak kesehatan masyarakat, dilaksanakannya kebijakan ini bertujuan untuk kesejahteraan dan kepentingan bersama bukan untuk kepentingan kelompok masyarakat tertentu.
Oleh karena itu, Pemerintah wajib memastikan protokol kesehatan Covid-19 dijalankan secara ketat ketika pelaksanaan proses pilkada. Protokol kesehatan itu hendaknya dinormakan dalam PKPU dengan disertai sanksi agar memiliki kekuatan berlaku mengikat dan efektif.
Penerapan protokol kesehatan ketika pilkada tentu berakibat pada kenaikan anggaran pengeluaran negara. Inilah harga yang harus dibayar untuk memastikan kesehatan warga negara dan keniscayaan sebuah demokrasi.
Sumber:
[1] Richard Kennedy, Bonaventura Pradana Suhendarto, Diskursus Hukum: Alternatif Pola Pengisian Jabatan Kepala Daerah di Masa Pandemi Covid-19,(Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,2020), Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum Volume 2, Nomor 2, Tahun 2020
[2] Andrian Habibi, Upaya Menyelamatkan Pemilihan Umum Di Tahun 2020, (Jakarta: Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (POSKO-LEGNAS), 2020),hlm. 168, Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan, Vol. 4, No. 1
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI