Mohon tunggu...
Fajrin Haerudin
Fajrin Haerudin Mohon Tunggu... Penulis - Pecinta Kopi

Kopi Biar Sehat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

The State Is A Killer of Humanity, Portrait of Afganistan Refugees

18 Agustus 2021   15:01 Diperbarui: 18 Agustus 2021   15:05 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kondisi pengungsi Afghanistan yang istana kepresidenannya sudah diduduki Taliban kini sangat memprihatinkan, selama 20 tahun konflik, bahwa proses penggulingan yang berlangsung sudah banyak memakan korban jiwa, belum lagi kondisi terkini dari pengungsi yang status kewarganegaraannya tidak jelas.

Terkonfirmasi bahwa pemikiran biopolitik Giorgio Agamben sangat menjelaskan kondisi pengungsi Afghanistan sekarang. Bahwa ada kesalahan pada selangkangan tata-hukum kita, dimana status kemanusiaan disamakan dengan status kewarganegaraan. Suatu pemahaman tentang status pengungsi yang hanya dihargai haknya secara politik.

Filsafat politik Agamben juga sering disebut sebagai filsafat biopolitik, yakni filsafat politik yang berbicara tentang kehidupan. Para filsuf politik sebelumnya melihat kehidupan manusia selalu dalam konteks politik, yakni konteks adanya suatu negara, ataupun entitas politik lainnya, yang menopang kehidupan manusia tersebut. Semua itu, menurut Agamben, menjadi patah, ketika kita berhadapan dengan konsep "pengungsi".

"Pengungsi", demikian tulisnya, "haruslah dilihat sebagai apa adanya dirinya, tidak kurang dari konsep yang terbatas secara radikal. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap kategori-kategori dasar dari negara-bangsa, dari lahirnya suatu negara sampai dengan adanya warga negara," Keberadaan pengungsi yang semakin banyak di akhir abad 20 dan abad 21 membuat kita harus memikirkan ulang konsep manusia di dalam filsafat politik modern, tidak lagi sebagai manusia legal politis yang terikat pada suatu entitas politik tertentu, seperti negara, melainkan sebagai manusia yang telanjang, rapuh, tak berdaya, tak punya kewarganegaraan. Agamben mengajak kita untuk melebarkan secara radikal perlindungan hak-hak asasi manusia kepada sosok-sosok "telanjang" semacam itu.

Agamben melihat, bahwa di dalam pandangan politik modern, konsep hak-hak asasi manusia dikaitkan dengan keberadaan suatu entitas politik tertentu yang bernama negara. Artinya, yang satu hanya dapat ada, jika yang lain tetap ada dan kuat. Di dalam pemerintahan totaliter, negara ada, namun hak-hak asasi manusia diabaikan. Dalam arti ini, negara hanya tinggal menunggu waktu saja untuk roboh, entah karena revolusi, ataupun karena perang saudara. Sebaliknya, di dalam kasus-kasus terkait dengan keberadaan pengungsi, negara menjadi tiada, sehingga tidak ada satu pun entitas politik yang menjamin hak-hak asasi manusia mereka. Keterkaitan ini, yakni antara negara dan hak-hak asasi manusia, haruslah dibuat relatif, sehingga tidak menjadi ikatan yang mutlak. Artinya, bagi Agamben, lepas dari ada atau tidaknya negara yang legal, hak-hak asasi manusia seseorang haruslah memperoleh jaminan, terutama dalam situasi-situasi yang ekstrem, seperti perang, rasisme, diskriminasi, ataupun bencana alam.

Agamben lebih jauh menegaskan, bahwa konsep "pengungsi" adalah kelemahan mendasar di dalam filsafat politik modern, terutama dalam tegangan antara konsep tubuh alamiah manusia, dan konsep warga negara yang bersifat legalistik. Pertanyaan kuncinya begini, di dalam masyarakat demokratis modern, siapakah pengungsi? Apakah dia memiliki hak-hak yang dapat dijamin secara universal?

Ataukah karena ia bukan warga negara, maka hak-haknya sebagai manusia juga terbatas? Dalam arti ini, menurut Agamben, keberadaan para pengungsi di berbagai belahan dunia, akibat pecahnya perang, ataupun diskriminasi politik lainnya, memaksa kita untuk memikirkan ulang konsep kekuasaan dan hak-hak asasi manusia di dalam filsafat modern. Solusi yang ditawarkannya begini,

"Para pengungsi sesungguhnya adalah manusia dengan hak-hak, yakni penampakan sebenarnya dari hak-hak di luar fiksi tentang warga negara yang selalu menutupinya." Keberadaan pengungsi memaksa kita untuk melihat manusia dalam arti sebenarnya, bukan sebagai warga negara terhormat suatu negara, melainkan sebagai manusia telanjang yang tanpa status legal apapun, hanya tubuh dan jiwanya yang datang, tanpa kepura-puraan apapun. Garis-garis itu memisahkan orang, dan memecah masyarakat ke dalam bagian-bagian yang saling berkonflik satu sama lain. Tidak hanya itu, garis-garis buatan manusia tersebut juga menentukan hidup matinya seseorang, misalnya antara mereka yang kaya dan yang miskin, atau antara yang berpendidikan dan yang tidak.

Pada titik ini, Agamben, menurut saya, membuat argumen yang amat penting. Di dalam pembedaan antara warga negara dan bukan warga negara, kita tidak hanya bisa melihat pembedaan politis semata, tetapi juga makna biopolitik yang tersembunyi di belakangnya. "Salah satu tanda dari biopolitik modern, yang akan terus bertambah pada abad kita hidup", demikian tulisnya, "adalah kebutuhan terus menerus untuk medefinisikan ulang batas-batas di dalam hidup antara apa yang ada di dalam dan apa yang ada di luar." Dengan kata lain, di dalam masyarakat modern, selalu ada kebutuhan untuk menciptakan garis yang memisahkan kita dengan mereka, antara kita yang layak mendapat tempat, dan mereka yang tidak layak mendapatkannya. Garis itu beragam, mulai dari garis ras (ras mayoritas dan ras minoritas), garis agama (agama yang mayoritas dan agama minoritas), garis politik (aliran politik dominan dan aliran politik minoritas), garis ekonomi (kelas ekonomi atas dan kelas ekonomi bawah), garis pendidikan (mereka yang mendapatkan pendidikan tinggi dan yang tidak), dan sebagainya.

Dapatlah dikatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak-hak pasif. Namun tidak setiap warga negara memiliki hak-hak aktif. "Dengan demikian", tulis Agamben dengan nada agak melecehkan, "anak-anak, orang-orang gila, para remaja, perempuan, dihukum untuk menempatkan diri mereka semata pada ruang privat dengan membatasi kebebasan mereka, mereka bukanlah warga negara (dalam arti sepenuhnya, yakni memiliki hak-hak pasif dan hak-hak aktif)." Dalam konteks ini, kita bisa langsung menemukan adanya peluang untuk penindasan dan diskriminasi.
Mereka "yang lain" dari yang mayoritas, termasuk orang gila dan kelompok minoritas, amat mudah untuk mendapatkan cap "bukan warga negara", dan dengan demikian tidak mampu menjalankan hak-hak aktif mereka secara maksimal. Dalam beberapa kasus ekstrem, hak-hak pasif yang sudah selayaknya diterima sebagai manusia pun tidak juga dapat terpenuhi secara layak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun