Mohon tunggu...
Fajar Syahlillah
Fajar Syahlillah Mohon Tunggu... -

Penikmat sepi. Pecandu kopi. Pejuang hak asasi. Pengagum puisi. Pemain diksi. Saya bisa dihubungi di fafha.ardiansyah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Pernikahan Menjadi Sangat "Mengerikan"

2 Maret 2019   10:55 Diperbarui: 2 Maret 2019   11:17 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Keepo.me

Akhir tahun 2018 dan awal tahun 2019 menjadi safari bagi saya. Beberapa tempat yang sudah saya ketahui, bahkan baru pertama kali, mulai saya datangi. Tujuannya untuk memberi selamat dan bersalaman. 

"Selamat menikah, dengan modal mawadah dan warrahmah semoga menjadi keluarga yang sakinah," begitu cara saya ketika memberi selamat. Tentunya sembari melemparkan senyum.

Saya lebih suka menyebut kondangan sebagai safari. Karena sudah masuk agenda. Toh, itu kan terjadwal di surat undangannya.

Namun, saat saya menghadiri beberapa acara pernikahan teman, rasanya mengerikan. Seolah-olah tiap mata tamu undangan bahkan yang tak diundang sekali pun siap memberi penilaian. Tak hanya dua atau lima orang, ratusan bahkan ribuan seakan menyidang pasangan suami istri yang sedang duduk di panggung acara.

Mulai disebarkannya surat undangan sudah jadi persidangan tahap awal. Pasti dapat komentar. "Kok model undangannya kurang menarik. Kok undangannya B aja". Dari undangan tidak hanya waktu dan tempat acara yang dilihat. Pasangan sang pengantin juga pasti dilihat. Terutama nama tambahan. Alias gelarnya.

Nilai patriarki akan kuat di sini. Perbandingan gelar antara lelaki dan perempuan disoroti penuh. Minimal, lelaki harus setara dengan perempuannya. Atau malah ada yang mengharuskan lebih tinggi gelarnya. 

Tak sampai di situ, persidangan kedua terjadi ketika hari resepsi pernikahan. Saya waktu itu mendengar teman saya yang kebingungan ke kondangan. Alasannya sepele, karena di depan tenda tempat pernikahan sang pengantin tidak ada fotonya. Kalau pun ada fotonya, pasti masih mendapat komentar. Jika tidak ada foto pengantin dengan pose menunjuk ke langit.

Pose itu sepertinya sudah menjadi suatu kewajiban. Diambilnya sebelum pernikahan. Kemudian dipajang di depan acara pernikahannya. Kalau tidak ada, sang pengantin harus siap jadi bahan pembicaraan alias rasan-rasan.

Persidangan ketiga berlaku pada tempat digelarnya resepsi. Biasanya yang berada di pinggir jalan atau di depan rumah dianggap remeh. Sementara yang di dalam gedung dinilai mewah. "Aku pakai baju biasa aja deh, orang nikahnya di tempat biasa kan gak di gedung atau hotel," celutuk salah satu teman saya yang lain.

Yang lebih mengerikan pada persidangan keempat. Yaitu di menu makanan. Banyak komentar di sini. Ketika itu saya datang ke pernikahan yang prasmanan. Menunya banyak. Hampir setiap tamu mencicipinya. Saya mendengar komentar, "Makanannya banyak tapi gak ada kambing gulingnya". Ada juga yang bilang, "Prasmanan tapi kok cuma soto, nasi goreng dan rawon saja". Tapi semuanya dicoba. Dimakan. Dan habis.

Persidangan masih terus berlanjut, sidang kelima terjadi di busana pengantin. Kebanyakan mengomentari pengantin perempuan. Bagaimana model gaunnya dan berapa kali ganti gaun. "Gaunnya kurang bagus, ekornya kurang panjang" cetus salah satu tamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun