Mohon tunggu...
fajarikhsan
fajarikhsan Mohon Tunggu... Advokat dan Praktisi Hukum - Fajarikhsan L.F.

Fajar Ikhsan, SH.CLA : Advokat, Seniman dan Praktisi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Jebakan SEMA Nomor 2 Tahun 2024 dalam Kasus Dugaan Tipikor NPCI Jabar

13 Juli 2025   16:00 Diperbarui: 13 Juli 2025   16:00 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sidang Perkara Tipikor NPCI Jabar - Pembacaan Pledoi  (Sumber: Fajarikhsan L.F.)

Kasus dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan dana hibah National Paralympic Committee of Indonesia (NPCI) Jawa Barat Tahun Anggaran 2021 hingga 2023 yang menjerat Terdakwa Supriatna Gumilar kembali menyoroti polemik penentuan kerugian negara dalam perkara korupsi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendalilkan kerugian negara lebih dari lima milyar rupiah yang kemudian didalam surat tuntutannya antara lain menyatakan Terdakwa bersalah dan diharuskan Membayar denda sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 9 (sembilan) bulan dan Membebankan uang pengganti kepada Terdakwa SUPRIATNA GUMILAR sebesar Rp.2.931.905.317,00 dengan mendasarkan klaimnya pada hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP). Ironisnya, JPU mengabaikan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan laporan keuangan NPCI Jawa Barat "Clear and Clean" (Wajar Tanpa Pengecualian - WTP).

Dalam replik atas Pledoi atau Nota Pembelaan, JPU berpegangan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2024, yang diterbitkan pada 17 Desember 2024, sebagai landasan kewenangan Akuntan Publik dalam menentukan kerugian negara. Namun, di sinilah letak jebakan yang patut dicermati.

Asas Legalitas dan Ancaman Retroaktivitas

Dugaan tindak pidana dalam kasus NPCI Jawa Barat terjadi antara Tahun Anggaran 2021 hingga 2023. Sementara itu, SEMA Nomor 2 Tahun 2024 baru diterbitkan pada 17 Desember 2024. Hal ini memunculkan pertanyaan fundamental terkait asas legalitas, khususnya prinsip  lex temporis delicti, yang menegaskan bahwa hukum pidana berlaku prospektif (ke depan) dan tidak berlaku surut (non-retroaktif).

Jika SEMA Nomor 2 Tahun 2024 diinterpretasikan JPU sebagai dasar hukum baru atau perubahan signifikan dalam cakupan bukti sah untuk menentukan kerugian negara, maka penerapannya terhadap perbuatan yang terjadi sebelum SEMA tersebut terbit akan melanggar asas legalitas. Meskipun JPU mengklaim SEMA ini hanya "mempertegas" kewenangan yang sudah ada dalam Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor, "penegasan" yang secara fundamental mengubah ruang lingkup bukti atau badan yang berwenang untuk deklarasi definitif kerugian negara dalam kasus pidana, dapat dianggap setara dengan aturan hukum baru. SEMA sejatinya adalah pedoman pelaksanaan, bukan pembentuk hukum pidana substantif.

Kewenangan Eksklusif BPK: Sebuah Konstitusionalitas yang Terabaikan

Penegasan kembali kewenangan eksklusif BPK dalam menentukan kerugian negara. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 secara lugas menyatakan bahwa unsur kerugian negara harus "nyata dan pasti (actual loss), bukan hanya potensi kerugian". Putusan ini lahir untuk mengatasi ketidakpastian hukum yang seringkali mengkriminalisasi kesalahan administratif. Tanpa kerugian negara yang nyata dan pasti yang belum dipulihkan, unsur esensial tindak pidana korupsi tidak terpenuhi. Selain itu, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15  Tahun 2006 tentang BPK secara eksplisit menyatakan bahwa "BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara...". Kewenangan ini bersifat eksklusif dan konstitusional, tidak dapat digantikan oleh lembaga audit lain, termasuk Akuntan Publik. Bahkan, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 secara eksplisit menyatakan "Penentuan adanya kerugian negara/daerah hanya dapat dilakukan oleh instansi yang berwenang yaitu BPK".

JPU dalam kasus ini, dengan mengandalkan audit KAP dan mengabaikan temuan BPK yang "Clear and Clean" dengan dalih bersifat "rutin", menunjukkan upaya sistematis untuk mengesampingkan badan yang paling otoritatif dan konstitusional dalam penentuan kerugian negara. Tindakan ini berpotensi menciptakan konflik kelembagaan dan merusak prinsip kepastian hukum serta due process of law.

Kelemahan Audit KAP dan Bukti Pemulihan Dana

Opini auditor dari KAP hanyalah pendapat ahli di bidang akuntansi. Opini ini tidak memiliki bobot hukum atau otoritas konstitusional yang sama dengan audit resmi BPK dalam penetapan kerugian negara untuk tujuan penuntutan pidana korupsi. Bahkan, dokumen "Opini Auditor" yang diajukan JPU sendiri secara kritis mengakui kelemahan mendasar, dengan menyatakan "bukti yang kompeten, relevan, dan handal tidak dapat ditunjukkan lagi oleh yang menerima dana hibah". Inkonsistensi perhitungan kerugian negara yang didalilkan JPU, yang hanya didasarkan pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi tanpa didukung dokumen valid, semakin melemahkan dasarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun