Mohon tunggu...
Fajar Wicaksono
Fajar Wicaksono Mohon Tunggu... -

Penggemar Bus. K-Popers, Khususnya Inspirit. Fotografer Freelance.

Selanjutnya

Tutup

Money

Fenomena si “Mata Elang”, Legal atau Tidak?

18 Mei 2016   20:14 Diperbarui: 4 April 2017   16:36 3915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

18 Mei 2016 kemarin, saya sempat beli sosis bakar untuk lauk makan malam di perempatan Asco, Bantar Gebang. Yang selalu menjadi perhatian menarik adalah para 5 s/d 6 orang nongkrong di jalanan dengan menggunakan smartphone bertipe communicator. Di saat selesai membeli sosis bakar, 2 di antara mereka langsung pergi dengan motor maticnya untuk mengincar sesuatu.

Iya, Mata Elang. Fenomena ini sudah sangat menjamur dan merata di seluruh kawasan Jabodetabek dan kawasan urban lainnya di Indonesia. Mereka rata-rata adalah orang yang berperawakan kasar dan garang. Pada awalnya, mereka menggunakan buku sebagai database untuk mencatat nomor polisi kendaraan roda 2 yang memiliki akses data ke pihak leasing.

Namun belakangan, mereka menggunakan smartphone bertipe communicator untuk melacak kendaraan yang memiliki masalah kredit sepeda motor. Ketika mata elang ini berhasil menemukan korban, dia langsung mengincar korban tersebut dan jika berhasil, mereka mengincar korban dengan cara dipaksa atau barang ybs dirampas.

Di sekitaran rumah saya, setidaknya ada 2 spot lokasi para “Mata Elang” ini, yaitu di perempatan Asco dan Tikungan H. Djole, Bantar Gebang. Asumsi saya, ada sekitar 200 s/d 300 spot Mata Elang yang tersebar di Jabodetabek, mengingat tingginya jumlah kendaraan sepeda motor di kawasan Jabodetabek.

Apa faktornya?

Menurut analisis dan komentator amatiran dari saya, munculnya Mata Elang ini disebabkan oleh beberapa hal:

1. Lemahnya Regulasi Penjaminan melalui Fidusia

Penjaminan Fidusia sebenarnya sudah diatur melalui UU No. 42/1999 tentang penjaminan fidusia, hal ini sebenarnya untuk mengawasi hak dan kewajiban konsumen jika terjadi penunggakan/penghambatan pembayaran kredit yang diberi oleh pihak leasing/bank, sehingga meminimalisir terjadinya kriminalisasi konsumen. Leasing sangat enggan mencairkan dana fidusia ini karena dana jaminan bisa mencapai Rp. 1 juta/kendaraan.

Sayangnya, pihak OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan kepolisian belum menegakkan dan mengimplementasikan undang-undang ini secara optimal. Apapun kondisinya, konsumen tetap harus dilindungi.

2. Tingginya sikap konsumerisme

Menjadi hal yang permisif dan wajar jika munculnya Mata Elang ini menyebar secara merata. Sikap konsumerisme masyarakat kita membuat lahirnya si “Mata Elang” ini. Umumnya, sikap konsumerisme ini disebabkan oleh gilanya promosi pengajuan kredit kendaraan bermotor yang ekstrem, namun tidak diimbangi oleh hak dan kewajiban Leasing dan Konsumen dalam pengajuan aplikasi kredit. Sasaran Mata Elang tidak lain adalah para masyarakat yang berpenghasilan “pas-pasan” dan gampang menunggak mengangsur cicilan kredit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun