Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketika Harus Memilih Menikahi Dia atau Menjadi Pastor, Mimpi Sederhana Si Anak Dusun (II)

4 Juni 2012   14:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:24 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13388216281341482539

[caption id="attachment_180861" align="aligncenter" width="583" caption="Ilustrasi Dusun dan Lapangan Bola Kaki di Balik Bukit (Dok.Pribadi)"][/caption]

Kisah sebelumnya: Di Sini

.........

Selesai perayaan Ekaristi, sesudah berkat penutup, kami, para misdinar dan Pastor Paroki yang memimpian Missa ke luar menuju ruangan Sakristi (tempat mengganti pakaian seluruh  petugas liturgi). Sesudah menggantik pakaian Missa, Pastor Robert menyalami kami berdua.

“Proficiat untuk kelulusan kalian berdua. Setelah ini langsung ke Pastoran ya! Saya ingin berbicara dengan kalian berdua secara pribadi.”

Rupanya di pastoran (rumah tinggal para pastor yang letaknya bersebelahan dengan gereja) telah tersedia perjamuan dengan menu spesial ayam bakar. Dalam hati aku berpikir: “ini pasti sengaja disediakan pastor paroki untuk perayaan kelulusan kami.”

Tibalah giliranku dan Rikard dipanggil Pastor paroki ke ruangan kerjanya.

“Andre dan Rikard, kalian berdua adalah putera terbaik dari seluruh sekolah yang ada di paroki kita. Kalian telah diterima di Seminari Santo Yohanes, Mataloko. Kalian akan bergabung bersama dengan 250 rekan dari berbagai Paroki di Keuskupan kita maupun dari Keuskupan lain di Indonesia. Kehidupan di Seminari tidak mudah. Kalian harus belajar disiplin mulai dari bangun pagi sampai beranjak tidur di malam hari. Semua kegiatan terjadwal rapi: ada waktu ibadat, doa rosario, missa, pelajaran sekolah, makan pagi, makan siang, makan malam, studi pribadi, olahraga, kerja tangan, dll. Semuanya terjadwal rapi. Karena itu, saya minta agar kalian bisa menyesuikan diri dan mulai belajar hidup mandiri ketika dibina di seminari.”

Sambil mengeluarkan sebuah amplop dari dalam laci meja kerjanya yang rapih, Pastor Robert berujar: “Ini surat edarannya. Rincian biaya dan seluruh perlengkapan yang harus dipersiapkan dan dibawa ketika masuk ke seminari tertera lengkap di situ. Silahkan kalian bicarakan dengan kedua orang tua kalian masing-masing terkait semua persyaratan yang tertera di dalam surat edaran tersebut. Kalian paham?”

Kami hanya menganggukan kepala tanda memahaminya.

“Jika demikian, segeralah pulang ke rumah  masing-masing dan bicarakan dengan bapak dan mama kalian. Sukses ya!”

Perlahan-lahan kami berdua menyelipkan amplop ke dalam kantong celana pendek, celana yang biasa dipakai khusus hanya untuk missa setiap hari minggu. Sesampai di luar pastoran sambil tertawa Rikard berkata:

“Andre, aku pikir tadi ayam panggang yang di meja disiapkan untuk perayaan kelulusan kita. Eh, ternyata kita malah tidak diajak oleh Pastor Robert untuk makan siang dahulu sebelum pulang.”

“Ha..ha..ha..ha..ha, aku pun berpikir dan berharap demikian. Hampir saja aku tanyakan ke Pater Robert tadi, apakah ayam bakar untuk kita.”

Dengan menahan rasa lapar, kami melanjutkan perjalan pulang ke kampung kami yang jaraknya kurang lebih 2 km dari gereja. Sambil bercerita dan menikmati pepohonan kopi penduduk yang sudah siap panen di sepanjang tepian jalan, tidak terasa kami pun sampai ke kampung.

Aku dan Rikard langsung berpisah karena dia di gang yang berbeda. Rupanya di rumah ayah, ibu, abang, dan kedua adik wanitaku sudah menunggu untuk makan siang ala kadarnya untuk merayakan kelulusanku. Ternyata ada ayam goreng kesukaanku tersedia di atas talam yang diletakan di atas tikar pandan. Karena kami selalu makan bersama sambil duduk bersila di atas tikar pandan, sayurnya pucuk labu yang ditumis dengan bunga pepaya. Ini pasti masakan ibu, karena ibu paling tahu kesukaanku.

Ayah, ibu, abang, dan adik-adikku secara bergantian menyalami dan memelukku. Kemudian aku mengganti pakaian Missa, mengenakan kaos oblong dan celana pendek bermerek Puma yang biasanya dipakai untuk ke hutan mencari kayu bakar atau menggembalakan sapi kepunyaan bapak.

Setelah semuanya sudah berkumpul dan duduk bersila di atas tikar pandan, ayah memintaku memimpin doa dan dari senyuman khas-nya saya mengerti dia akan mengolok saya: “bapa pastor, silahkan pimpin doa makan ya, doa spontan, jangan doa Bapa Kami atau Salam Maria, karena sudah jadi bapa pastor sekarang.” Perkataan ayah langsung disambut dengan cekikan adik bungsuku yang pada saat itu baru duduk di kelas satu sekolah dasar impres di kampung kami.

Aku makin kaku dan telingaku mulai terasa panas sebab adik-adikku menantikan doa spontan yang untuk pertama kalinya harus kudoakan. Sebab biasanya, jika aku medapatkan giliran memimpin doa makan pasti yang keluar sebagai Doa Pembukaan makan, Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus kepada Murid-murid-Nya, dan Doa Salam Maria yang merupakan Salam Malaikat Gabriel kepada Bunda Maria yang mengandung, melahirkan dan Membesarkan Yesus, sebagai Doa Penutup acara makan.

Dengan kikuk aku memimpin doa makan. “Tuhan, terima kasih karena saya lulus tes masuk seminari. Terima kasih atas nasi, ayam bakar,  sayur pucuk labu dan bunga pepaya, lombok campur tomat dan terasi, yang mama siapkan untuk makan siang kami serumah. Semoga kami kenyang dan bisa membantu bapa dan mama mencarikan rumput sapi setelah ini. Amin.” Langsung dijawab “Amin” oleh semua anggota keluarga.

Mama mengambilkan nasi untuk bapa, abang, saya, dan adik-adik, sebelum untuknya sendiri. Ketika sampai ke lauknya, saya mendapatkan kehormatan kali ini. Dada ayam diberikan mama kepadaku dan langsung dicemberuti abang dan adik-adik. Biasanya aku selalu dapat ceker atau ampela-nya, tetapi karena ini perayaan syukurku, maka aku mendapatkan dada ayam.

Aku menikmati santap siangku dengan penuh suka cita karena untuk pertama kalinya dalam hidup, aku menjadi pusat perhatian seluruh anggota keluarga selama makan. Yang dibahas adalah rencana-rencana dan apa-apa yang perlu dipersiapkan untuk masuk seminari.

Sambil makan ayah membuka pembicaraan: “Karena untuk masuk seminari menengah diperlukan biaya yang tidak sedikit, uang sekolah dan asramanya Rp 1.500.000 untuk anak-anak dari golongan petani, beras 200 kg dan kacang hijau 50 kg, maka seminggu sebelum tanggal masuk, Andre dan saya akan membawa salah satu ekor Sapi Bali terbesar piaraannya selama ini ke seminari. Sapinya akan ditimbang dan semua keuangan, beras, dan kacang  hijau akan dipotong dari harga sapi. Kita semua berharap berat bersihnya bisa menutupi seluruh biaya yang ada.”

“Pa, bagaimana cara bawanya?” tanyaku.

“Untuk menghemat ongkos, engkau sendiri yang menariknya dan saya akan menuntunnya dari belakang.”

“Wah, jauh pak, kalau jalan kaki ke seminari mengantar sapi,” sanggahku.

“Heh....sejak sekarang engkau harus belajar untuk menghargai keringatmu sendiri dan keringat orang tuamu. Jangan banyak protes! Biar kamu bisa serius dalam belajar dan tekun mengikuti aturan yang ada di seminari, maka Bapa  memutuskan bahwa kamu sendirilah yang harus mengantar sapinya untuk biaya sekolahmu selama tahun pertama di seminari..”

Aku tahu perangai ayah. Jika sudah memutuskan demikian, membantahnya sama dengan berusaha memindahkan bukit yang ada di belakang kampung kami ke tempat lain.

“Karena pakaian dan barang-barangmu perlu tempat penyimpanan yang mudah diangkat dan dijinjing, maka bapa akan memberitahu paman Goris membuat peti  kayu seukuran kopor jinjing yang diberi kunci dan slot-nya biar aman dan hemat,” lanjut ayahku lagi.

“Dengan demikian, uang tabunganmu akan ditambahkan lagi sama ibumu hanya untuk membeli pakaian yang jumlahnya selusin-selusin itu, menjahit seragam sekolah putih-biru 2 pasang, menjahit celana hitam dan baju bermotif kain adat sebagai seragam khas seminari, dan 2 pasang seragam pramuka, sepatu putih sepasang, sepatu hitam sepasang.”

“Pa, bagaimana dengan sepatu bola kakinya?” tanyaku penasaran karena tidak disebutkan ayah dalam daftar belanjaan.

“Kalau uangnya masih ada yang sisa, baru dibelikan sepatu bola. Kamukan sudah biasa bermain bola kaki dengan teman-temanku tanpa mengenakan sepatu.”

“Pa, lain di kampung, lain di seminari. Masa teman-teman lain mengenakan sepatu bola, aku main bola dengan kaki kosong?”

“Yah, itu tergantung ibumu dan kamu yang mengatur duit belanjaannya nanti. Karena itu, Hari Minggu depan, kamu dan ibumu akan ke kota untuk berbelanja. Jangan lupa bawa beberapa ekor ayam jantan peliharaan kalian untuk dijual. Siapa tahu dari ayam-ayam jantanmu yang terjual. Uangnya bisa kamu pakai untuk membeli sepatu bola.”

“Ayamku jangan dijual ya! Itu akan aku jual untuk membeli sepatu bola juga. Masa yang sekolah di seminari boleh beli sepatu bola, aku yang di STM tidak boleh pakai sepatu bola,” protes abangku sambil mengepalkan tinjunya ke arahku dari balik piring nasi yang dipegangnya.

“Bapa-kan sudah bilang, yang dijual hanya ayamnya Andre. Ayamnya Piter, Ance dan Petra tidak akan dijual,” sahut ayahku menengahi. Sekarang, gantian Piter yang mimpin doa penutup makan!”

Seperti biasa, Abangku, Piter, selalu menutup doa makan dengan doa yang sangat singkat: “Kemuliaan kepada Bapa, Putera, dan Roh Kudus.”

Kami menyahutinya dengan menjawab: “seperti pada permulaan, sekarang, selalu, dan sepanjang segala abad. Amin.”

“Huuuuuuuuuu.....Bang Piter kalah sama Bang Andre, masa tidak bisa mimpin doa spontan seperti Bang Andre,” protes Ance, adik perempuanku yang duduk di kelas empat sekolah dasar.

Aku tersenyum puas karena Ance telah membalas kejengkelanku atas perkataannya yang egois ketika makan tadi.

Sesudah makan, aku ke rumah Rikard untuk mengajaknya mencari kayu bakar di Bukit yang menjadi latar kampung halaman kami. Karena setiap Hari Minggu sore, kami selalu bertanding bola kaki antar kelas di lapangan kecil persis di tengah perkampungan. Itu satu-satunya hari di mana kami bisa menikmati kesenangan masa kecil, karena di hari lain, setelah pulang sekolah, pasti selalu membantu orang tua menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga atau menyusul mereka ke ladang jagung dan kacang-kacangan, atau ke kebun kopi atau ke sawah, tergantung musimnya.

Bukit itu persis di belakang perkampungan. Pagi hari selalu diselimuti kabut. Biasanya matahari akan terbit perlahan-lahan setiap pagi dari balik bukit itu. Jika matahari sudah muncul setengah bulatan, kami semua tahu bahwa setengah jam lagi bel masuk sekolah akan dibunyikan. Jika, matahari sudah muncul sepenuhnya, maka bersiap-siaplah dihukum oleh guru piket karena pasti terlambat. Karena itu Bukit Lele, bagi kami di Kampung Turekisa sangat berarti sebagai  penanda waktu untuk masuk sekolah.

Selain itu, di bukit inilah kami bisa bermain-main: mulai dari perosotan-sampai dengan bergelantungan di tali-temali meniru adegan dalam film Tarzan yang selalu kami tonton di satu-satunya Televisi Berparabola milik kepala sekolah. Meski untuk menontonnya, kami harus membayarnya dengan sebatang kayu bakar sebagai sewanya.

Bukit Lele juga menjadi identitas kami. Sehingga anak-anak dari balik bukit ini selalu dijuluki “anak-anak Bei Lele” (anak-anak dari balik Bukit Lele). Bukit ini selalu dituju saya dan Rikard, jika ingin mencari kayu bakar. Pohon-pohon yang tumbuh di bukit ini beragam: bambu, rotan, kayu-kayu aneka jenis, yang hanya kami kenali dengan sebutan-sebutannya dalam bahasa daerah. Selain itu, banyak juga pisang hutan dan buah-buahan lain tumbuh di sana. Jika lagi musimnya dan sedang rezeki, maka kesenangan kami menikmati alam bertambah dengan nikmatnya buah-buahan segar yang disisakan monyet-monyet yang juga berseliweran di bukit ini.

Di dalam perjalanan menuju bukit, aku melihat Rikard tidak seceria biasanya. Wajahnya tampak murung dan sepertinya kurang berselera bicara.

“Ada apa kawan?” tanyaku memecah kebisuan.

“Ayahku keberatan kalau aku masuk seminari, karena aku laki-laki tunggal di rumah. Ayah tidak mau, aku anak laki-laki satu-satunya menjadi pastor,” jawabnya.

“Memangnya kenapa?” tanyaku penasaran.

“Kata ayahku, kalau aku jadi pastor, maka keturunan pewaris nama marga keluarga akan buntu.”

“Trus....apa kata ibumu?”

“Ibu sih setuju-setuju saja, karena diakan aktif di Gereja. Ibuku-kan pengurus perkumpulan Ibu-ibu separoki, Santa Ana, seperti ibumu. Mereka sudah biasa mendoakan panggilan untuk menjadi pastor, dan mendoakan para pastor. Jadi, tidak ada masalah dengan ibu. Ayahku ni yang repot! Engkaukan tahu, ayahku jarang ke Gereja pada Hari Minggu, kecuali pada Hari Natal dan Paskah.”

“Walah, kalau alasannya itu, ayahku kan juga pemalas ke Gereja pada Hari Minggu. Tetapi dia setuju kalau aku masuk seminari dan menjadi pastor. Nah, menurutku, besok kita ketemu dengan pastor paroki. Laporkan saja sikap ayahmu kepada Pater Robert. Biar Pater Robert yang menjelaskan sendiri ke ayahmu,” nasihatku sok bijak.

“Iya ya.....sebaiknya lapor Pater Robert saja. Biar sekali-sekali ayahku dapat kotbah khusus di rumah dari Pater Robert, hehehehehe.”

Keceriaan kembali menghiasi sahabat karibku ini dan tidak terasa kami telah sampai ke lereng bukit, mengumpulkan ranting-ranting kering, memetik pisang masak, berayunan sejenak di tali-temali yang bergelantungan di pohon dan kemudian menuruni bukit sambil memikul seikat kayu bakar yang berhasil kami kumpulkan.

Tepat jam 04.00 kami bermain bola kaki di lapangan. Kelas 6 yang sudah tamat melawan kelas 5 yang tahun ini akan naik ke kelas 6. Seperti biasa aku ditempatkan sebagai striker. Permainan sore itu, dimenangkan oleh kelas kami dan sebagai hukumannya, adik-adik kelas 5 yang kalah harus “pompa dada” (push up) lima kali di tengah lapangan disaksikan oleh banyak orang-orang tua yang menonton dari pinggir lapangan.

Kemenangan ini semakin menambah kegembiraanku. Dan aku pun mandi di sungai, makan malam, dan tidur pada malam itu dengan perasaan suka cita yang takterlukiskan dengan kata-kata. Aku akan menjadi pemain bola kaki terbaik kalau sudah di seminari nanti.

Bersambung lagi...........

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun