Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Puisi Pelarian Wiji Thukul dan Misteri Tragedi Mei 1998

14 Juni 2013   16:37 Diperbarui: 25 Agustus 2018   17:45 4092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kini, 15 tahu sejak Wiji Thukul dinyatakan hilang. Untuk melawan lupa, Majalah Tempo dalam edisi Bulan Mei 2013 menurunkan liputan khusus tetang Wiji Thukul secara komprehensif. 

Di sana dipetakkan sepak terjang Wiji Thukul sebagai seorang penggiat seni, suami, ayah, aktivis partai yang menjadi pelarian di negerinya sendiri. Yah Wiji Thukul menjadi Pelarian di negerinya sendiri, karena kehidupan dan aksaranya menjadi teror bagi kemapanan kekuasaan Orba yang korup. Wiji Thukul ingin mengembalikan Demokrasi menjadi milik rakyat!

Sebagai suplemen edisi Tempo bulan Mei 2013, dibukukan juga kumpulan Puisi Wiji Thukul dalam pelarian yang diberi judul "Para Jendral Marah-Marah" yang diklasifikasi dalam tiga bagian: puisi pelarian, puisi Jawa, dan puisi lepas guna memudahkan para penikmat pusinya Wiji Thukul memahami konteks lahirnya puisi-puisi tersebut. 

Kumpulan puisi yang dibukukan Tempo ini untuk melengkapi beberapa kumpulan puisi Wiji Thukul yang telah terbit: Puisi Pelo dan Darman dan Lain-lain, Mencari Tanah Lapang, dan Aku Ingin Jadi Peluru.

Membaca puisi-puisi pelarian Wiji Thukul ini, pembaca akan di atar pada kenyataan bahwa menjadi pelarian di negeri sendiri yang dianggap makar oleh penguasa sangatlah tidak mengenakkan. Dimulai dengan Puisi berjudul PARA JENDERAL MARAH-MARAH yang sekaligus diambil Tempo sebagai judul buku kumpulan puisinya yang keempat ini, para pembaca langsung diantar untuk mengetahui penyebab dan sumber yang mengapa Wiji Thukul menjadi pelarian di negerinya sendiri. "Sebab seorang Letnan Jendral menyeret-nyeret namaku." 

Melalui puisi ini, Thukul mengisahkan bahwa di suatu pagi, seorang letnan jendral marah-marah di televisi dan menurut isrtinya yang menonton siaran itu, nama Wiji Thukul disebut-sebut. 


Namanya disebut sang jendral sebagai salah satu aktor intelektual di balik kerusuhan di Kantor Pusat PDI pada tanggal 27 Juli 1996 karena PDR dituduh berada di balik kerusuhan ini.

Hal ini makin jelas dikatakan Wiji Thukul dalam puisinya yang berjudul AKU DIBURU PEMERINTAHKU SENDIRI. Melalui puisi ini Thukul mengungkapkan  ia diburu pemerintah Orba layaknya penyakit berbahaya. Ia mengakui bangga menjadi buron pemerintahan lalim sebab itu bukanlah cacat meskipun ia harus dijebloskan dalam penjara.

Ia juga melukiskan keprihatinnya terhadap kondisi demokrasi era Orba dalam puisi berjudul KADO UNTUK PENGANTIN BARU, terutama di bait ketiganya: memang tak ada kenikmatan/di negeri tanpa kemerdekaan/selamanya tak akan ada kemerdekaan/jika berbeda pendapat menjadi hantu.

Meskipun sedang berada dalam pelarian dari kota yang satu ke kota yang lain, dia tidak pernah melupakan keluarganya juga. Ia juga mencemaskan istri dan anak-anaknya yang ditinggalkannya di rumah yang disadarinya juga akan menjadi korban intimidasi aparat melalui puisinya yang berjudul WANI, BAPAKMU HARUS PERGI: kalau nanti ibu didatangi polisi lagi/menangislah sekuatmu/biar tetangga kanan kiri datang/dan mengira ada pencuri/masuk rumah kita.

Ia juga membagikan keyakinannya bahka selalim-lalimnya penguasa tidak akan mampu membungkam suara kebenaran yang disuarakan dari penderitaan rakyat melalui puisinya yang berjudul Ujung Rabumbut Ujung Kuku misalnya dalam bait terakhir: suara rakyat adalah suara Tuhan/dan kalian tidak bisa membungkam Tuhan/sekalipun kalian memiliki 1.000.000 gudang peluru. Atau tampak dalam puisi berjudul Apa Penguasa Kira: apa penguasa kira/ingatan bisa dikubur/ dan dibendung dengan moncong/ tank.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun