Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Puisi Pelarian Wiji Thukul dan Misteri Tragedi Mei 1998

14 Juni 2013   16:37 Diperbarui: 25 Agustus 2018   17:45 4092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wiji Thukul merupakan salah satu aktivis yang hilang pada Mei 1998. Sampai saat ini, Wiji Thukul belum diketahui keberadaannya. Diduga kuat Wiji Thukul sengaja dihilangkan oleh rezim Orde Baru (Orba) karena sebagai penyair, puisi-puisi pemberontakkan Wiji Thukul dapat menjadi ancaman laten bagi status quo kekuasaan yang korup. 

Salah satu puisinya yang dianggap subversif oleh pemerintah Orba adalah puisinya yang berjudul PERINGATAN yang dibacakannya pada saat deklarasi berdirinya Partai Persatuan Rakyat Demokratik (PRD), partai yang kemudian terlarang karena dianggap wajah lain dari komunisme (PKI).

Jika rakyat pergi
 Ketika penguasa pidato
 Kita harus hati-hati
 Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
 Dan berbisik-bisik
 Ketika membicarakan masalahnya sendiri
 Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
 Itu artinya sudah gawat
 Dan bila omongan penguasa
 Tidak boleh dibantah
 Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
 Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
 Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
 Maka hanya ada satu kata: lawan!

Puisi Wiji Thukul di atas merupakan refleksi atas realitas sosial yang dialami bangsa Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Bahkan bisa dikatakan puisinya merupakan kenyataan sosial yang sedang terjadi pada saat itu dimana suara-suara yang mengritik dan menentang pemerintahan Orba pasti akan diberangus. 

Maka penggalan puisinya PERINGATAN pada bait terakhir jelas terlihat sebagai sebuah upaya provokasi dari sang seniman untuk melawan penguasa yang korup. Melalui puisinya ini Wiji menyatakan perang via aksara terhadap kelaliman yang telah terjadi. Pantas jika kemudian ia dianggap makar terhadap rezim yang sedang berkuasa.

Hal ini semakin dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa Wiji Thukul merupakan salah satu penggerak Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) yang kemudian dijadikan sayap kanan PRD di mana Wiji Thukul menjadi ketua Divisi Budayanya. Jakker, oleh rezim Orba dilihat juga sebagai Lekra yang menjadi organisasi sayap kanan PKI. Sebagai seorang seniman, Wiji Thukul melihat bahwa seni harus membebaskan. 

Seni semestinya bisa membawa transformasi sosial. Seni seyogyanya menjadi bahasa kenyataan sosial yang perlu diperjuangkan. Karena itu, ia memang pantas menjadi target pemerintah Orba karena seni merasuk siapa pun tanpa pandang bulu. 

Puisinya bisa menjadi bensin yang menyulutkan api perjuangan. Apalagi Thukul tercatat sebagai aktivis sosial di balik demo para buruh. Pusinya lahir di tengah, berasamaan, dan menggerakkan aksi sosial untuk melawan apa yang menjadi isi puisinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun