Mohon tunggu...
Fajar Bagus Permana
Fajar Bagus Permana Mohon Tunggu... Freelance, Blogger, Youtuber, Translator Indonesia English -

Salah satu benda bernyawa di kolong langit yang sedang mencoba kembali berdiri.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Manusia Diciptakan untuk Mencinta

5 Desember 2018   16:58 Diperbarui: 5 Desember 2018   17:13 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.islamicity.org/11298/man-is-created-to-love/

Hidup adalah tentang hubungan. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang cenderung untuk mencari kemudian merajut ikatan dan hubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, kata dari bahasa Arab 'insan', yang berarti 'manusia, orang dan laki-laki', berasal dari kata kerja 'anisa' yang berarti 'ramah', 'mudah bergaul' dan 'bersahabat'.

Terlebih, manusia diciptakan sebagai khalifah Allah di bumi. Oleh karena itu, setiap makhluk hidup dan benda mati telah diperuntukkan baginya untuk memfasilitasi pelaksanaan tugas mulianya di atas dunia. Sehingga manusia akan secara alami membentuk hubungan yang ramah dan produktif dengan sekelilingnya. Bahkan, kualitas dari keberadaannya di bumi, serta pelaksanaan tugasnya, tergantung secara eksklusif pada kualitas hubungan yang dibuatnya. Itu juga merupakan satu-satunya indikator valid dari kualitas - atau sebaliknya - warisan budaya dan peradabannya.

Sebagai hasilnya, manusia kemudian mengembangkan berbagai macam perasaan, keadaan dan sikap terhadap berbagai macam hal dan makhluk. Mulai dari ikatan pribadi hingga kefanatikan, dan dari ketertarikan antarpribadi hingga kesukaan kelompok. Perasaan, keadaan, dan sikap semacam itu juga bisa berubah menjadi suatu kebajikan, menandakan kebaikan dan kasih sayang, yang, pada gilirannya, akan menerjemahkan dirinya sendiri ke dalam berbagai pola perilaku yang luas terhadap sesama manusia, hewan dan alam.

Semua sentimen dan suasana hati itu merupakan intrinsik bagi manusia dan sifat primordialnya alaminya. Meskipun demikian, dalam konsistensinya dengan tujuan dan rancangan hidupnya, manusia akan lebih memilih dan menjalin suatu hubungan tertentu lebih dari hubungannya dengan yang lain, dan membantu juga mengembangkan sentimen dan suasana hati khusus kepada orang lain.

Di sinilah cinta sejati dimulai.

Cinta itu lebih dari sekadar menyukai seseorang, hal, atau peristiwa. Cinta itu lebih berarti dan lebih kuat dari itu. Cinta adalah kekuatan luar biasa dari sebuah eksistensi. Cinta adalah ekspresi kuat dari sentimen positif terhadap semua orang dan segala sesuatu yang telah membantu seseorang dalam memahami dan menghargai makna sesungguhnya dari dirinya sendiri dan hidupnya secara keseluruhan.


Cinta adalah tentang menemukan, menghargai dan menghidupkan kebenaran yang termanifestasi dalam setiap makhluk dan peristiwa, dari yang terbesar hingga yang terkecil. Cinta, karenanya, adalah proses yang tidak ada habisnya dan sangat dinamis. Cinta adalah produk yang tak akan pernah selesai.

Sehingga benar jika dikatakan bahwa cinta itu bebas dan tak terbatas. Cinta bukanlah suatu substansi atau komoditas yang bisa diperjualbelikan. Cinta tidak bisa dibuat, direkayasa, diperundang-undangkan, diimpor, dikendalikan, atau diwariskan. Cinta sebagai konsep dan kenyataan eksistensi, ditambah dengan kemampuan untuk mencintai dan keistimewaan untuk dicintai, menandakan segenap karunia luar biasa Ilahi yang diberikan kepada manusia. Karunia-karunia tersebut, walau bagaimanapun, harus sepatutnya dihargai, dihormati, dibina, dan dijaga tetap suci dan tidak kotor untuk selamanya.

Cinta dalam waktu yang sama diberikan dan diterima. Hanya mencintai, tanpa menerima dan merasakan cinta, adalah kondisi yang tidak sempurna dan kekurangan. Sedangkan menerima cinta dan merasakannya, tanpa mencintai kembali, adalah egois dan menyimpang, merupakan suatu keadaan yang dengan mudah dapat melemahkan prospek dari cinta secara keseluruhan.

Sebelum mencintai, seseorang harus lebih dulu menemukan dan mengenali dirinya sebagai sumber cinta itu sendiri. Dengan kata lain dia harus mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu. Hanya dengan begitu dia akan dapat benar-benar mencintai (memahami dan menghargai) orang lain. Cinta dan kebenaran itu hampir sama. Mereka sesungguhnya tidak bisa dipisahkan, akan selalu saling mencari dan melengkapi satu sama lain.

Mungkin karena ini yang dalam bahasa Arab, kata dari cinta disebut 'hubb', yang berasal dari akar yang sama dengan kata lain, 'habb', yang berarti 'benih'. Pesan yang tersirat dari sini adalah bahwa benih cinta itu tertanam di dalam setiap manusia dari saat mereka dilahirkan. Ketika mereka mulai tumbuh, manusia harus merawat dan memelihara benih-benih cinta ini, agar memungkinkan bagi mereka untuk ikut tumbuh juga. Dan ketika manusia menjadi dewasa secara fisik, intelektual dan spiritual, cinta dalam diri mereka seharusnya juga ikut matang, sehingga dengan jelas memanifestasikan dan membuktikan dirinya sendiri dalam seluruh kehidupan manusia.

Manusia, dengan cinta yang ada di dalamnya, terlahir untuk mencintai. Mereka diciptakan hanya untuk menjadi makhluk yang penuh kasih. Sedangkan kebencian, di sisi lain, merupakan hal yang asing bagi manusia. Manusia harus melawan dirinya sendiri hanya untuk belajar membenci. Untuk mencintai dan menjadi orang yang mengasihi adalah kewajaran bagi manusia. Sedangkan untuk membenci dan menjadi orang yang penuh dendam adalah kelainan bagi manusia.

Karena itulah dalam bahasa Arab, kata-kata 'benci' (kariha) dan 'kebencian' (kurh dan karahiyyah) berasal dari akar kata yang sama dengan kata 'akraha' dan 'ikrah' yang masing-masingnya berarti 'memaksa atau menekan' dan 'tekanan'. Pesan yang dimaksud untuk disampaikan adalah bahwa untuk menjadi seorang pembenci, seseorang harus melawan dirinya sendiri, dan memaksakan pada dirinya sendiri sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat dan karakter surgawinya. Memang, membenci adalah salah satu tindak ketidakadilan terbesar yang bisa dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri.

Menurut pandangan dunia Islam tentang Tauhid (keesaan Allah), hidup adalah seluruhnya tentang cinta, bersamaan dengan terus menggali dan memegang teguh makna luar biasa dan potensi besar yang ada di dalamnya. Allah Yang Maha Kuasa, Maha Mengasihi dan Penyayang. Segala bentuk dan intensitas kasih sayang di seluruh alam kehidupan adalah karena Dia semata, Tuhan yang Pengasih, Master dan Pemelihara, yang secara terus menerus tanpa putus memberikan kasih-Nya yang tak terbatas kepada seluruh ciptaan-Nya.

Nabi Muhammad (SAW) pernah mengatakan bahwa pada Hari Kebangkitan, setiap orang akan bersamanya yang orang-orang yang dicintainya (Sahih al-Bukhari). Dia juga mengatakan bahwa cinta manusia terhadap sesuatu itu begitu dominan sehingga membuat mereka menjadi buta dan tuli (Sunan Abi Dawud).

Tak diragukan lagi bahwa untuk menjadi seorang Muslim sejati itu berarti mencintai dan dicintai. Seluruh hidup ini hanyalah urusan soal cinta, baik dalam lingkup fisik maupun metafisik. Ketika mereka memulai perjalanan ontologisnya dalam mengalami dan menikmati kebenaran -- merasakan dan mengidentifikasi diri mereka di dalam inti kebenaran itu sendiri -- seorang beriman sejati akan selalu menunjukkan, juga mengintensifkan, sentimen dan perasaan dahsyat yang disebut cinta. Mereka melakukannya untuk siapa pun dan apa pun dalam posisinya untuk mendukung atau menambahkan rasa, makna, kebahagiaan atau dorongan ekstra terhadap apapun yang mereka hargai.

Manifestasi cinta yang paling sejati dalam diri seseorang adalah bahwa jika ia bisa mengidentifikasikan dirinya dengan sebab transenden yang besar dari dirinya sendiri dan kesatuan dari dirinya dan sebab itu kepada tujuan dan rencana hidupnya, tanpa ragu-ragu dalam memperjuangkan makna, cara, dan ekspresi cinta yang tak terbatas. Ini karena kebenaran dan jalan kebenaran itu tidak terbatas dan tidak pernah habis. Cinta manusia kepada kebenaran juga seharusnya tanpa batas dan tak ada habisnya.

Mengingat bahwa cinta itu abadi dan dahsyat, sehingga hal-hal yang sifatnya sementara maupun yang bersifat buruk tidak akan bisa dicintai dengan tulus. Cinta juga tidak dapat terputus-putus, dalam arti bahwa seseorang, atau sesuatu, dicintai pada suatu waktu, tetapi kemudian tidak disukai, atau bahkan dibenci, di waktu yang lain. Cinta harus tak pernah habis, berkelanjutan dan terus berkembang. Tidak terikat oleh ruang dan waktu, kondisi yang kaku, atau ketentuan dan kode. Hal ini mengerucut kepada mencintai Allah dengan segala hal yang kita miliki: hati, pikiran dan jiwa kita. Kemudian diikuti dengan mencintai Nabi Muhammad (SAW) dan kebenaran dalam seluruh perbuatannya. Sedangkan orang dan hal lainnya cukup dipuja dan dicintai secara proporsional sejauh afiliasi mereka dengan sebab yang pertama, yang pada akhirnya membuka setiap nilai dan berarti segalanya di kedua dunia (dunia and akhirat) bagi seorang yang beriman.

Manusia biasanya menumbuhkan sebagian besar rasa kasih sayang dan cinta untuk orang, hal dan peristiwa yang berarti sangat besar bagi mereka dan kepentingan hidup mereka. Semakin signifikan dan pentingnya seseorang, sesuatu, atau peristiwa, semakin banyak pula rasa kasih sayang dan cinta yang tumbuh di sana. Tetapi bagi setiap Muslim sejati, tidak ada yang lebih penting dan lebih dicintai daripada Allah SWT, Nabi Muhammad (SAW) dan perjuangan tanpa henti beliau di jalan kebenaran. Segala sesuatu selain dari itu datang belakangan, secara langsung atau tidak langsung memimpin, dan pada saat yang bersamaan memainkan perannya di tempat kedua, setelah yang pertama. Mencintai mereka dikondisikan oleh cara dan kekuatan dari hubungan mereka dengan sebab yang pertama. Dengan demikian, nafsu, kesombongan dan keserakahan, atau pergaulan, kenalan dan kasih sayang yang dangkal, tidak akan ada satupun yang bisa memenuhi syarat untuk disebut sebagai cinta. Dalam konteks ini, bentuk tertentu dari kebencian - seperti kebencian akan tindakan atau skema jahat dan tidak bermoral - adalah, dalam kenyataannya, sebuah manifestasi yang tidak disengaja, atau impuls, dari cinta sejati.

Nabi Muhammad (SAW) bersabda: Tidak ada seorang pun dari kamu yang akan percaya jika aku menyayangi umatku lebih daripada ayahnya, putranya, dirinya sendiri dan seluruh manusia (Sahih al-Bukhari).

Kemudian: Jika seseorang memiliki tiga kualifikasi, maka ia akan merasakan manisnya iman: Yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berharga baginya daripada apapun, bahwa ia mencintai orang lain semata-mata hanya demi Allah, dan bahwa ia benci jatuh ke dalam kekufuran sebesar dia benci jika dirinya akan dilemparkan ke dalam api (Sahih al-Bukhari; Sahih Muslim).

Orang beriman mencintai karena imannya, dan karena Allah, Pencipta dan Tuhannya, mengasihinya juga. Ketika dia mencintai orang lain, hal dan peristiwa, dia mencintai mereka hanya karena dan dalam nama Allah semata, bahwa mereka semua ada hanya karena rahmat dan cinta dari Allah. Mereka adalah objek cinta yang maha dahsyat. Sebagai bentuk timbal baliknya, mereka mencintai dan dicintai oleh Allah Yang Maha Kuasa. Seluruh proses berlangsung hanya demi Allah semata.

Dalam skenario yang ideal, melihat lebih ke dalam, seorang pria dan wanita Muslim tidak menikah karena semata mereka pikir mereka kemudian dan dengan begitu telah mencapai sebentuk cinta. Sebaliknya, mereka seharusnya bersatu sebagai suami dan istri yang percaya bahwa mereka memiliki apa yang dibutuhkan untuk bisa terus tumbuh dan membangun cinta sepanjang hidup mereka sampai akhir. Mereka harus melihat satu sama lainnya sebagai mitra yang sangat diperlukan dalam mengejar dan merasakan (baik secara individu maupun bersama-sama) cinta surgawi tertinggi, yang merupakan satu-satunya jaminan bagi segala bentuk cinta duniawi yang sah, termasuk cinta yang didambakan di antara sebuah pasangan.

Suami dan istri adalah mitra dalam menjalani hidup yang berprinsip dan berbobot, yang melampaui batas-batas dunia fana ini sampai ke alam akhirat. Itulah mengapa ketika Allah berbicara tentang pernikahan dan ikatan pasangan pria dan wanita sebagai landasan dalam masyarakat, Dia menggarisbawahi pada gagasan hidup dalam ketenangan serta keberadaan cinta dan kasih sayang di antara mereka berdua. Semua tiga komponen, yang tertanam dalam iman yang kuat, sangat penting untuk mewujudkan tujuan hidup dan untuk mencapainya. Persepsi konvensional satu dimensi tentang cinta, berdasarkan model konvensional hubungan antara pria dan wanita yang juga merupakan satu dimensi, tidak akan bisa cukup berarti, atau memuaskan. Dengan cara yang benar, perkawinan akan memberikan pemenuhan kebutuhan fisik, emosi dan spiritual tanpa adanya kepribadian yang masih merasa terhambat dan tertekan.

Allah mengingatkan dalam Al Qur'an, sebagai berikut: Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran. (Al-Baqarah, ayat 221)

Pada akhirnya, beberapa macam cinta bisa menjadi relatif palsu dan munafik. Demikian pula, mereka juga dapat menipu dan menyesatkan, jika pemahaman epistemologis dan spiritual dan evaluasi dari manusia tentang cinta tidak benar. Jenis cinta palsu semacam itu mengaburkan dan mencelakakan, alih-alih membantu. Mereka menuntun pada penyesalan yang pahit dan perasaan bersalah yang luar biasa. Namun, karena sifatnya alaminya yang kuat dan penuh kasih sayang, manusia seringkali, pada akhirnya, menyadari keadaan sebenarnya dari masalahnya dan beralih ke sumber nilai dan cinta yang sesungguhnya, tetapi pada saat itu, mungkin sudah sedikit terlambat. Terlalu tidak konsekuen, sia-sia, dan merugikan terhadap kebaikan dirinya sendiri secara keseluruhan serta tujuan jangka panjangnya adalah beberapa hal yang menyebabkan manusia menjadi tidak pantas untuk mendapatkan cinta dan perhatian dari seorang kekasih, apalagi mendapatkan buah dari cinta itu sendiri. Tak diragukan lagi, pemilik cinta sejati (pecinta sejati) dapat dengan mudah membedakan antara cinta yang otentik dengan yang palsu juga cinta duniawi dengan cinta ontologis.

Allah mengingatkan dalam Al-Qur'an: Katakanlah, "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (At-Taubah, ayat 24)

Dan juga: Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal). (Al-Baqarah, ayat 165)

Artikel ini disadur dari artikel berbahasa Inggris dari laman www.islamicity.org yang dikarang oleh Spahic Omer terbit pada 24 Maret 2017 dengan judul "Man is Created to Love".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun