PENDAHULUAN
Di balik layar media sosial yang terang benderang, ada ruang lain yang lebih sunyi, lebih terbatas, dan sering kali lebih jujur, atau setidaknya, terasa lebih jujur. Ruang itu biasa disebut second account atau akun kedua. Fenomena second account atau akun alter bukan lagi hal yang asing di era digital. Instagram, Twitter, bahkan TikTok penuh dengan pengguna yang menjalani dua versi diri: satu yang resmi dan publik, satu lagi yang tersembunyi di balik nama samaran, pengikut terbatas, dan konten yang jauh lebih lepas. Banyak yang menyebut second account sebagai ruang untuk "jadi diri sendiri", tempat untuk curhat tanpa takut dihakimi, bersikap tanpa harus menyenangkan siapa pun, atau sekadar bebas dari penilaian sosial yang melekat di akun utama. Di akun utama, kita profesional, lucu, inspiratif, dan "terlihat". Di akun kedua, kita bisa ngedumel, jadi absurd, atau bahkan diam sepenuhnya, tapi tetap online dan terhubung.
Dibalik dari fakta tersebut, muncul sebuah pertanyaan: benarkah akun kedua ini adalah ruang kejujuran? Atau ia hanyalah panggung lain yang lebih tersembunyi, di mana kita memainkan peran yang berbeda, tapi tetap dengan kesadaran bahwa kita sedang dilihat? Apakah alter account adalah ruang belakang tempat kita beristirahat dari performa, atau justru bentuk lain dari topeng, lebih liar, lebih personal, tapi tetap panggung?
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri bagaimana second account membentuk identitas bayangan dalam lanskap media sosial. Dengan menggunakan perspektif dramaturgi dari Erving Goffman, kita akan menggali apakah benar ada ruang "bebas tampil" di dunia digital, atau sebenarnya semua ruang adalah panggung, hanya dengan pencahayaan dan kostum yang berbeda.
Second Account sebagai Ruang Pelarian
Di dunia yang terus menuntut kita tampil, second account muncul sebagai jalan keluar. Sebuah ruang alternatif di mana aturan algoritma, ekspektasi sosial, dan pencitraan personal bisa sedikit dilonggarkan. Banyak orang membuat akun kedua bukan untuk menipu, tapi untuk melarikan diri dari tekanan, dari tuntutan estetika, dari keharusan menjadi "baik-baik", "produktif", "positif", atau "menyenangkan". Bagi sebagian pengguna, terutama generasi muda, second account adalah bentuk perlawanan diam terhadap citra diri yang terlanjur terbentuk di akun utama. Di akun utama, ada teman kerja, dosen, keluarga, atau klien. Unggahan pun harus dipoles, ditata, diberi caption yang aman. Tapi di second account, narasi bisa lebih cair. Tidak perlu filter, tidak perlu caption indah. Bisa marah, bisa curhat, bisa diam dan itu dianggap sah. Banyak yang merasa second account memberi kebebasan baru untuk berbicara tanpa takut disalahpahami, untuk menghilang tanpa harus menjelaskan, untuk mengekspresikan sisi diri yang tak tertampung di ruang utama. Di sinilah second account diposisikan sebagai "backstage digital", tempat di mana kita bisa bernapas tanpa harus tampil.
Namun, disisi lain, pelarian ini bukan tanpa batas. Bahkan di second account, pemiliknya tetap mengatur siapa yang boleh mengikuti. Tetap ada pertimbangan: siapa yang akan paham? Siapa yang tidak akan salah tafsir? Siapa yang layak melihat sisi ini dari diri kita? Artinya, meskipun lebih "bebas", second account tetap tidak sepenuhnya netral. Ada kurasi. Ada perhitungan. Ada kontrol terhadap siapa yang menonton dan apa yang akan mereka lihat. Second account adalah ruang pelarian, tapi juga tetap bukan ruang kosong. Ia tetap ruang sosial, tetap punya penonton, dan tetap menjadi tempat di mana diri dipertunjukkan, hanya dengan bahasa dan audiens yang berbeda.
Dramaturgi dalam Dunia Ganda
Jika dunia digital adalah teater raksasa, maka setiap akun media sosial adalah panggung dengan set-nya masing-masing. Teori dramaturgi dari Erving Goffman menjelaskan bahwa manusia dalam kehidupan sosial selalu tampil layaknya aktor: ada panggung depan, tempat kita menampilkan diri ideal, dan panggung belakang, tempat kita bersikap lebih otentik karena tidak sedang "ditonton". Tapi bagaimana jika panggung belakang itu juga punya penonton? Second account, yang sering dianggap sebagai ruang "curhat" atau sisi asli pengguna, ternyata tetap menyimpan elemen pertunjukan. Di balik ekspresi "apa adanya", tetap ada kalkulasi. Tetap ada niat untuk menunjukkan sisi tertentu kepada penonton tertentu. Mungkin audiensnya lebih kecil, lebih akrab, lebih "mengerti", tapi tetap saja, itu penonton. Oleh karena itu, "panggung belakang" yang kita bayangkan sebagai tempat melepas topeng, justru berubah menjadi panggung alternatif.
Di sini, identitas tak hanya ditampilkan, tapi juga dikonstruksi ulang. Seorang pengguna bisa menjadi "sangat emosional" di second account-nya, bukan karena sedang manipulatif, tapi karena merasa itu adalah ruang yang sah untuk ekspresi tersebut. Namun, karena ekspresi itu tetap dikurasi dan ditujukan pada audiens tertentu, maka secara dramaturgis, ia tetap memainkan peran. Ia bukan lagi topeng yang dilepas, tapi topeng lain yang dipilih dengan sadar. Media baru membuat batas panggung depan dan belakang menjadi cair. Dulu, panggung belakang adalah tempat yang tidak bisa diakses sembarang orang. Kini, kita sendiri yang membuka pintunya dengan menyaring siapa yang bisa "melihat", siapa yang bisa "mengerti". Inilah dunia ganda yang membuat pertunjukan tidak pernah benar-benar usai. Bahkan ketika kita merasa sedang "tidak tampil", kita sebenarnya hanya tampil dalam bentuk lain.
Identitas Bayangan dan Ambiguitas Keaslian