Bagi para fans, North West Derby bukan hanya soal siapa yang menang atau kalah di atas lapangan. Setiap duel Manchester United dan Liverpool menyimpan kenangan---dari gol bersejarah, selebrasi penuh emosi, hingga momen kontroversial yang masih jadi bahan obrolan bertahun-tahun kemudian. Rivalitas ini mengikat generasi, hadir di ruang tamu lewat layar televisi, terdengar di teriakan tribun, dan terasa dalam setiap percakapan suporter. Dan menariknya, semua itu baru bagian permukaan dari cerita besar yang membuat derby ini begitu istimewa. Nyatanya, derby ini bukan soal sepakbola, lebih persaiangan ini tumbuh dari bagaimana kulture dan keadaan sosial di tiap masanya.
Faktor Sejarah Ekonomi: Pembuatan Manchester Ship Canal
Semuanya berawal pada masa Revolusi Industri Inggris, sekitar tahun 1790 hingga pertengahan 1800-an. Hampir seluruh wilayah Inggris saat itu berupaya berkembang pesat, terutama dalam sektor ekonomi-tak terkecuali Manchester dan Liverpool. Pasca revolusi, Manchester menjelma menjadi kota manufaktur yang kaya dan berpengaruh, dengan tekstil dan kapas sebagai komoditas utama. Saking melimpahnya produksi kapas, kota ini bahkan mendapat julukan Cottonopolis. Di sisi lain, Liverpool berperan vital sebagai pusat perdagangan Inggris. Pelabuhannya menjadi pintu utama keluar-masuk barang melalui jalur laut, menjadikannya salah satu kota paling esensial bagi roda ekonomi negara. Awalnya, hubungan kedua kota tidaklah buruk-bahkan bisa dibilang cukup harmonis. Dari sanalah lahir kereta api antar kota pertama di dunia, yang menghubungkan Manchester dan Liverpool. Jalur sepanjang 56 kilometer ini bukan sekadar sarana transportasi penumpang, tapi juga jalur vital untuk mengangkut barang ekspor-impor. Keberadaan rel tersebut menjadikan keduanya sebagai simpul penting dalam roda ekonomi kawasan North West Inggris.
Titik baliknya terjadi pada tahun 1894, ketika Manchester di bawah inisiatif Daniel Adamson membangun Manchester Ship Canal. Proyek ini lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap sikap masyarakat Liverpool (Scousers) yang kerap menaikkan tarif ekspor dan impor di pelabuhan mereka. Dengan kanal tersebut, kapal-kapal dagang yang sebelumnya harus singgah di Liverpool kini bisa langsung berlabuh di Manchester. Dampaknya terasa besar: masyarakat Liverpool, yang hidupnya sangat bergantung pada aktivitas pelabuhan, kehilangan sebagian besar pendapatan mereka. Sejak saat itu, Manchunian dituding sebagai biang kerok kekacauan ekonomi Liverpool. Dari sinilah benih kebencian antar dua kota kelas pekerja muncul-sebuah rivalitas yang akhirnya merembet hingga ke lapangan sepak bola.
Ibu Kota Musik Utara Inggris
Persaingan ekonomi yang sempat memanaskan hubungan kedua kota ternyata juga merembet ke ranah budaya, salah satunya musik. Baik Manchester maupun Liverpool sama-sama melahirkan musisi legendaris yang namanya mendunia. Liverpool punya The Beatles yang melegenda di seluruh jagat raya, ditambah Gerry and the Pacemakers, The Zutons, The Coral, hingga The Dead 60s. Sementara Manchester melahirkan deretan band ikonik seperti Oasis, The Smiths, The Stone Roses, dan Joy Division-sederet nama yang karyanya masih akrab di telinga banyak orang hingga hari ini. Gemerlap musik dari kedua kota itu menimbulkan perdebatan klasik: siapa yang layak disebut Ibu Kota Musik di Utara Inggris? Pada akhirnya, semua kembali pada selera masing-masing.
Perjuangan Sosial Politik
Uniknya, di balik sikap saling membenci, Manchester dan Liverpool ternyata punya kesamaan yang kerap terlupakan. Selain sama-sama lahir dari kultur kelas pekerja, masyarakat di kedua kota juga memiliki kecenderungan politik dan sosial yang serupa: menolak tunduk pada kebijakan pusat dan kerap bersuara lantang terhadap rezim. Sikap kritis ini bahkan sering tercermin lewat sepakbola. Wayne Rooney, misalnya, pernah menolak menyanyikan lagu God Save The Queen saat membela Timnas Inggris. Ia beralasan, "Mengapa Tuhan hanya diminta melindungi Ratu? Bagaimana dengan orang-orang sakit di rumah sakit, bukankah mereka juga butuh pertolongan Tuhan?" Hal serupa juga terlihat dari aksi fans Liverpool yang mem-buing lagu kebangsaan dalam laga Community Shield 2019 di hadapan Pangeran William, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah. Belum lagi aksi Marcus Rashford yang menggulirkan gerakan sosial menentang penghentian program makan siang gratis di sekolah-sekolah. Dari contoh-contoh itu, tampak bahwa bagi orang-orang utara, sepakbola bukan sekadar permainan, melainkan medium untuk menyuarakan perlawanan dan identitas sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI