Mohon tunggu...
Faizal kng
Faizal kng Mohon Tunggu... mahasiswa

topik

Selanjutnya

Tutup

Surabaya

Aduhan sapi diangkat sebagai tradisi, bukannya bangga malah di tolak masyarakat pulau bawean

19 Maret 2025   01:09 Diperbarui: 19 Maret 2025   01:09 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang yang lahir dan besar di pulau Bawean dan juga sebagai anak-anak yang tergolong bandel (pada masanya), harus saya akui bahwa kehidupan di Bawean terlanjur kreatif dan cukup eksperimental apalagi soal adu mengadu hewan. Berbagai jenis hewan sudah pernah saya adu, dari semut, udang, king (sejenis laba-laba kecil), ulat, jangkrik, dan beberapa entitas yang kemungkinan sudah saya lupa.

Menariknya agenda adu mengadu hewan ini tidak lantas terjadi hanya pada anak-anak saja, orang-orang dewasa juga banyak melakoni kegiatan ini. Bedanya orang-orang dewasa, sudah tidak lagi mengadu hewan-hewan kecil seperti semut dan kawan-kawannya, level hewan aduan mereka sudah meningkat menjadi aduan ayam ataupun sapi.

Benar sekali sapi, mungkin terdengar sedikit aneh namun itulah yang terjadi. Masih saya ingat betul dulu saat masih kecil, hampir setiap jumat di lapangan yang hanya terlampau beberapa meter dari rumah, selalu ada agenda aduan sapi ini. Warga yang datang pun berduyun duyun dari segala kalangan, baik anak-anak, remaja tanggung, maupun orang dewasa.

Kegiatan aduan sapi ini dikenal dengan nama Thok-Thok, kegiatan ini tersebar luas di pulau Bawean dan tentu desa saya bukan satu-satunya. Minat dan ketertarikan masyarakat kepada kegiatan ini dibuktikan dengan komunitasnya yang diikuti cukup banyak orang. Selain sebagai hiburan, sapi-sapi yang berhasil memenangkan laga ini akan semakin mahal harga jualnya.

Menurut teman yang paham tentang dunia per-Thok-Thok-an harga sapi yang awalnya berada di kisaran belasan juta, bisa saja naik ke harga 30-40 juta jika berhasil menjadi bintang di beberapa laga. Maka tak heran jika ada sebagian orang yang memanfaatkannya menjadi sumber pendapatan. Sekali dayung dua pulau terlampai, mungkin itulah yang membuat Thok-Thok banyak di gemari dan di jalani.

Namun sayang, sebanyak apa pun orang-orang yang menggemari kegiatan ini, mengadu hewan tetaplah kegiatan yang kurang bermoral dan menyampingkan perikemanusiaan. Terlebih pulau bawean merupakan pulau dengan penduduk yang seratus persen menganut agama Islam yang lumayan ketat ajarannya mengenai kegiatan-kegiatan seperti mengadu hewan yang jelas-jelas menyakiti hewan tersebut.

Beberapa tahun terakhir mulai ada penolakan akan aktivitas ini, perizinan untuk mengadakan Thok-Thok sendiri juga sudah mulai di persulit. Belum lagi di dalamnya banyak terbukti aktivitas ilegal seperti berjudi yang bahkan sudah terang-terangan di pertontonkan. Maka perlahan pandangan terhadap Thok-Thok di masyarakat Bawean mulai berubah.

Namun cukup mengagetkan saat mengetahui bahwa Dewan Kebudayaan Gresik, pada tanggal 14 Mei lalu menetapkan Thok-Thok sebagai tradisi asli pulau Bawean. Kegiatan yang mulai di persempit ruang geraknya tiba-tiba dikampanyekan sebagai tradisi yang harus di banggakan. Kurang lebih seperti inilah sedikit narasi yang tertera pada flyer yang tersebar:

"Thok-Thok tradisi adu sapi khas Bawean untuk menunjukkan kualitas dan menaikkan harga jual" "...Thok-thok menjadi satu hiburan yang paling diminati. Konon seseorang akan dihormati jika sapinya sering menang dalam aduan Thok-Thok. Namanya akan disebut-sebut masyarakat dan menjadi cerita di warung-warung. Terlepas dari kontroversinya tradisi ini, seperti halnya aduan hewan lain, Thok-Thok mampu menarik perhatian banyak orang dan meningkatkan ekonomi warga"

Melihat tulisan tersebut ingin sekali rasanya berkata "pelan-pelan pak sopir", dan terbukti bukan hanya saya, postingan tersebut mendapat tanggapan yang cukup serius dari penduduk pulau Bawean. Pasalnya banyak yang beranggapan bahwa pernyataan tersebut telah mencederai nilai-nilai tradisi bawean itu sendiri. Bahkan respon tersebut juga bisa kita jumpai pada beberapa titik di Gresik berupa spanduk yang berisi penolakan atas pernyataan tadi.

https://images.app.goo.gl/fsx2EPDcRJmjttmf6
https://images.app.goo.gl/fsx2EPDcRJmjttmf6

Penolakan tersebut bukan semata-mata bentuk pembelaan diri dan tidak mau mengakui tradisi yang dianggap negatif, pasalnya Thok-Thok sendiri di sinyalir baru datang di pulau bawean sekitar tahun 90-an, yang kedatangannya di bawah oleh para pendatang terutama dari kawasan Tapal Kuda. Pun pada awalnya, kegiatan ini hanya dilakukan sebagai bentuk hiburan selepas nyawah (bertani).

Pada praktik yang saat ini terjadi, masalah yang di timbulkan bukan hanya dari praktik perjudian, namun waktu penggelaran yang tak cukup hitungan menit, sering kali membuat beberapa waktu salat ter-skip/terlewati. Melihat ekosistem yang cenderung religius dalam tradisi pulau Bawean, sulit membayangkan bahwa Thok-Thok adalah kegiatan yang diajarkan oleh para leluhur.

Membaca ulasan pada flyer di atas, membuat saya teringat dengan salah satu buku berjudul Tafsir Kebudayaan oleh Clifford Geertz seorang antropolog asal Amerika yang memang banyak meneliti tentang Indonesia. Pada salah satu bab, ia menceritakan pengalamannya saat meneliti pada sebuah kawasan di Bali. Yang mana masyarakat di sana, sangat kental dengan tradisi sabung ayamnya, hingga jago (ayam aduan) dikatakan sebagai kelamin kedua pria di sana.

Pada masyarakat itu, di ceritakan bahwa kegandrungan akan sabung ayam telah mendarah daging, sehingga persis dengan apa yang tertera pada flyer di atas, bahwa ketenaran serta harga diri masyarakat di nilai dari seberapa hebat jago yang ia rawat. Masyarakat juga tak segan untuk menghabiskan hasil berbulan-bulan bekerja hanya untuk memasang taruhan pada sabung ayam tersebut, di sana dikatakan bahwa banyak orang yang merawat jagonya melebihi merawat dirinya sendiri.

Tentu apa yang terjadi di kawasan tersebut berbeda dengan yang telah terjadi di pulau Bawean, kapasitas penikmat yang hanya berasal dari kalangan tertentu, ditambah anggapan tabu yang beredar luas di masyarakat telah memberikan batas yang cukup mencolok di antara keduanya. Apa lagi misalnya, untuk dapat di klaim sebagai kebudayaan nasional, salah satu aspek pentingnya adalah menimbulkan rasa bangga terhadap penduduknya, yang sekarang tidak kita temui pada respon masyarakat pulau Bawean.

Saat tulisan ini hampir selesai di buat, postingan Dewan Kebudayaan Gresik terkait Thok-Thok sudah tidak bisa saya akses, entah sudah di hapus atau perangkat saya yang eror. Maka jika penghapusan memang terjadi, tulisan tidak bermaksud untuk mengungkit-ungkit masalah yang telah lalu. Tulisan ini hanyalah sebuah keresahan putra daerah yang ingin pemerintahan daerahnya lebih serius dalam memberikan perhatiannya.

Upaya-upaya seperti dialog dengan pemuka-pemuka adat juga kiranya perlu untuk diadakan sebelum membuat keputusan apa pun yang berkaitan dengan tradisi dan kebudayaan pulau Bawean. Pengambilan keputusan yang hanya di dasarkan pada golongan tertentu bisa saja mencederai banyak orang, maka ungkapan ini bisa saja sebagai harapan dan saran dari saya, siapa tahu ke depannya pemerintah ingin meneliti kegiatan mengadu semut dan ulat sebagai tradisi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun