Penolakan tersebut bukan semata-mata bentuk pembelaan diri dan tidak mau mengakui tradisi yang dianggap negatif, pasalnya Thok-Thok sendiri di sinyalir baru datang di pulau bawean sekitar tahun 90-an, yang kedatangannya di bawah oleh para pendatang terutama dari kawasan Tapal Kuda. Pun pada awalnya, kegiatan ini hanya dilakukan sebagai bentuk hiburan selepas nyawah (bertani).
Pada praktik yang saat ini terjadi, masalah yang di timbulkan bukan hanya dari praktik perjudian, namun waktu penggelaran yang tak cukup hitungan menit, sering kali membuat beberapa waktu salat ter-skip/terlewati. Melihat ekosistem yang cenderung religius dalam tradisi pulau Bawean, sulit membayangkan bahwa Thok-Thok adalah kegiatan yang diajarkan oleh para leluhur.
Membaca ulasan pada flyer di atas, membuat saya teringat dengan salah satu buku berjudul Tafsir Kebudayaan oleh Clifford Geertz seorang antropolog asal Amerika yang memang banyak meneliti tentang Indonesia. Pada salah satu bab, ia menceritakan pengalamannya saat meneliti pada sebuah kawasan di Bali. Yang mana masyarakat di sana, sangat kental dengan tradisi sabung ayamnya, hingga jago (ayam aduan) dikatakan sebagai kelamin kedua pria di sana.
Pada masyarakat itu, di ceritakan bahwa kegandrungan akan sabung ayam telah mendarah daging, sehingga persis dengan apa yang tertera pada flyer di atas, bahwa ketenaran serta harga diri masyarakat di nilai dari seberapa hebat jago yang ia rawat. Masyarakat juga tak segan untuk menghabiskan hasil berbulan-bulan bekerja hanya untuk memasang taruhan pada sabung ayam tersebut, di sana dikatakan bahwa banyak orang yang merawat jagonya melebihi merawat dirinya sendiri.
Tentu apa yang terjadi di kawasan tersebut berbeda dengan yang telah terjadi di pulau Bawean, kapasitas penikmat yang hanya berasal dari kalangan tertentu, ditambah anggapan tabu yang beredar luas di masyarakat telah memberikan batas yang cukup mencolok di antara keduanya. Apa lagi misalnya, untuk dapat di klaim sebagai kebudayaan nasional, salah satu aspek pentingnya adalah menimbulkan rasa bangga terhadap penduduknya, yang sekarang tidak kita temui pada respon masyarakat pulau Bawean.
Saat tulisan ini hampir selesai di buat, postingan Dewan Kebudayaan Gresik terkait Thok-Thok sudah tidak bisa saya akses, entah sudah di hapus atau perangkat saya yang eror. Maka jika penghapusan memang terjadi, tulisan tidak bermaksud untuk mengungkit-ungkit masalah yang telah lalu. Tulisan ini hanyalah sebuah keresahan putra daerah yang ingin pemerintahan daerahnya lebih serius dalam memberikan perhatiannya.
Upaya-upaya seperti dialog dengan pemuka-pemuka adat juga kiranya perlu untuk diadakan sebelum membuat keputusan apa pun yang berkaitan dengan tradisi dan kebudayaan pulau Bawean. Pengambilan keputusan yang hanya di dasarkan pada golongan tertentu bisa saja mencederai banyak orang, maka ungkapan ini bisa saja sebagai harapan dan saran dari saya, siapa tahu ke depannya pemerintah ingin meneliti kegiatan mengadu semut dan ulat sebagai tradisi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI