Menggunakan teknik coarse-grained, yakni hanya mempertimbangkan satu atau dua atribut dalam membandingkan elemen model.
Yang lebih memprihatinkan, validasi empiris terhadap teknik yang diusulkan sangat minim. Hanya sebagian kecil dari studi yang mengevaluasi performa pendekatan mereka secara nyata.
Apa Implikasinya bagi Praktisi?
Bayangkan seorang software architect sedang mencoba menggabungkan dua versi model desain yang dibuat oleh tim berbeda. Ia ingin tahu bagian mana yang identik, mana yang berbeda, dan bagaimana menggabungkannya. Kalau alat bantu perbandingan hanya mengandalkan nama elemen, bagaimana jika satu tim menulis "User" dan tim lain menulis "Customer" tapi keduanya punya makna dan struktur yang sama?
Situasi ini menggambarkan keterbatasan teknik coarse-grained dan berbasis nama (name-based comparison). Tanpa mempertimbangkan konteks semantik atau perilaku, proses penggabungan model bisa menghasilkan distorsi, kesalahan arsitektural, bahkan konflik saat implementasi.
Haruskah Kita Bergantung pada AI dan Heuristik?
Sebagian studi dalam artikel telah mulai mengusung teknik berbasis heuristik dan rule-based. Namun, adopsinya masih rendah. Padahal, di era AI ini, pendekatan berbasis pembelajaran mesin (machine learning) sangat potensial untuk menyelesaikan persoalan kompleksitas dan ambiguitas perbandingan model.
Bayangkan jika kita punya alat yang bisa belajar dari puluhan penggabungan model sebelumnya dan mulai memprediksi kesamaan berdasarkan konteks, struktur, bahkan pola historis. Ini bukan mimpi, tapi justru tantangan yang harus segera dijawab oleh komunitas RPL.
Gap Penelitian yang Harus Diisi
Artikel ini juga menyuguhkan sejumlah gap riset yang mengundang perhatian: