Akhir-akhir ini, sering terdengar berita yang kurang menggembirakan. Konflik antara sesama warga negara, baik yang horizontal maupun vertikal menghiasi berbagai media hampir setiap hari. Bahkan, tak jarang timbul korban jiwa.
Salah satu yang terlihat adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dicanangkan oleh pemerintah. Niat proyek ini mulia: mengangkat kesejahteraan masyarakat yang ada di daerah dan meratakan pembangunan. Sayangnya, eksekusi di lapangan tidak berjalan mulus. Inilah yang kemudian menjadi bahan bakar meletusnya konflik.
Jika dibiarkan berlarut-larut, tentu bukan hal yang bagus bagi bangsa Indonesia. Pembangunan akan terhambat. Lebih dari itu, bahaya yang bisa dirasakan tentu saja perpecahan bangsa Indonesia.
Sebagai bangsa yang dianugerahi kekayaan dan keberagaman suku, agama, budaya, serta berbagai hal lainnya, konflik ini bisa diatasi dengan mengambil kearifan lokal yang ada di Indonesia. Kenduri merupakan salah satu kearifan lokal bangsa Indonesia yang bertahan melewati ratusan bahkan mungkin ribuan tahun lamanya. Kenduri berasal dari budaya Jawa. Ada sebutan lain untuk budaya ini, yakni genduren dan slametan. Kenduri menjadi wujud syukur, permohonan, maupun peringatan suatu peristiwa yang dilakukan masyarakat Jawa. Kegiatan yang umum dilakukan adalah berdoa.
Satu hal yang paling ditunggu dalam kenduri: pembagian makanan. Makanan menjadi penyatu dalam kegiatan ini tidak peduli siapa saja yang turut hadir. Tidak mengherankan jika kenduri dinanti-nanti oleh seluruh masyarakat. Selain makanan, kenduri juga menjadi wadah untuk berbagi cerita.
Kini, istilah kenduri tidak hanya digunakan oleh masyarakat Jawa saja, tetapi hampir seluruh bangsa Indonesia. Sebut saja Kenduri Cinta yang digawangi oleh Emha Ainun Najib atau yang akrab disapa Cak Nun. Kenduri menjadi wadah saling mencintai antara satu dengan yang lain, bahkan dengan alam semesta. Kenduri juga digambarkan berbentuk melingkar, dimana pemikiran maupun cara mengatur manusia dari lokal hingga global berbentuk seperti lingkaran.
Dari salah satu pusat budaya Jawa, yakni Yogyakarta, juga ada Kenduri Lintas Iman. Kenduri ini dilaksanakan oleh Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran, Bambnglipuro, Bantul, Yogyakarta sebagai bagian dari prosesi Gereja. Seperti namanya, kenduri ini dihadiri oleh umat dari berbagai agama, bahkan aliran kepercayaan yang kini telah diakui oleh negara. Acara ini terbukti efektif membangun toleransi di kawasan sekitar gereja secara khusus dan Kabupaten Bantul dalam jangkauan yang lebih luas.
Dalam lingkup nasional, ada juga Kenduri Kebangsaan yang digagas oleh Yayasan Sukma dan Forum Bersama (Forbes) DPR dan DPD Republik Indonesia yang berasal dari Aceh. Acara ini bertujuan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Masih banyak lagi kegiatan yang menggunakan istilah kenduri. Berkaca dari banyaknya penggunaan istilah kenduri dalam berbagai kegiatan, baik dari lingkup RT hingga level nasional, bisa dilihat bahwa kenduri sudah demikian melekat dalam jiwa bangsa Indonesia. Sudah selayaknya menjadikan kenduri sebagai wadah bertukar pikiran.
Kebijakan pemerintah selama ini, termasuk dalam pembangunan dirasakan hanya berasal dari atas. Hal inilah yang sering menjadi pemicu meletusnya penentangan dan penolakan dari masyarakat yang ada di area PSN maupun area pembangunan lokal yang ada di daerah. Sedikitnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan di area mereka dapat dijembatani dengan kenduri.
Suasana kenduri yang santai akan jauh bisa membawa obrolan yang berat menjadi lebih terbuka. Dari sinilah pendapat masyarakat dapat terdengar tanpa paksaan. Pendapat yang tentunya sesuai dengan budaya dan kondisi lingkungan setempat. Pemerintah tentunya juga dapat memberikan pengertian tanpa menggurui maupun menekan dalam menyampaikan gagasan untuk pembangunan.
Melihat dari kesuksesan kenduri di berbagai level sebelumnya, tentu sangat pantas jika kemudian kenduri perlu dijadikan sebagai wadah komunikasi. Tidak melulu dipandang sebagai kegiatan tradisional yang hanya ada di Jawa, tetapi bisa lebih jauh ke tingkat nasional melewati berbagai sekat. Kenduri bukan hanya milik suku tertentu, usia, atau bahkan ras dan agama.
Akhirul kalam, kenduri tidak hanya menjadi sarana komunikasi untuk pembangunan. Kenduri juga menjadi sarana perekat antara masyarakat dengan masyarakat dan masyarakat dengan pemerintah. Saling tukar pendapat tanpa sekat dan suasana penuh keakraban untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik di masa mendatang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI