Pengantar: Kritik Kuntowijoyo dan Hilangnya Sejarah Desa
Profesor Kuntowijoyo, sejarawan, budayawan, sekaligus sastrawan besar Indonesia, pernah memberikan catatan penting yang bernada kritik sekaligus refleksi: sejarah desa nyaris tidak mendapat tempat dalam penulisan historiografi Indonesia. Desa, sebagai ruang sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat, seolah dianggap terlalu sederhana untuk dijadikan bahan studi serius dalam sejarah akademik.
Dalam dunia akademik, para sejarawan lebih tertarik menulis tentang kolonialisme, politik nasional, serta sejarah kaum elite. Bagi mereka, tema-tema tersebut dianggap lebih menantang, dengan sumber-sumber yang jelas tersedia di arsip-arsip kolonial atau dokumen pemerintahan. Sebaliknya, sejarah desa dianggap kabur, rumit, penuh cerita lisan, dan sulit diuji kebenarannya.
Padahal, jika ditelisik lebih dalam, desa adalah sumber nyata dari denyut sejarah bangsa. Desa adalah "laboratorium sosial" tempat berlangsungnya interaksi manusia, tradisi, perjuangan ekonomi, dan identitas kultural yang khas. Seperti dikatakan Kuntowijoyo, tanpa menulis sejarah desa, sejarawan kehilangan kesempatan memahami denyut "sejarah dari bawah" (history from below).
Kasus Kabupaten Sampang: Sejarah yang Elitis
Situasi yang dikritik Kuntowijoyo itu tampak jelas dalam historiografi Kabupaten Sampang. Dari 180 desa dan 6 kelurahan yang ada, hampir tidak ada yang memiliki catatan sejarah tertulis tentang asal-usul, perkembangan, atau dinamika sosialnya.
Sejarah Sampang lebih banyak berputar pada narasi kerajaan, tokoh bangsawan, atau Kamituwo Madegan. Nama Madegan bahkan telah lama menjadi simbol historis, sebab menyimpan banyak situs dan kisah penting yang berkaitan dengan sejarah Madura secara luas. Namun, ironisnya, simbol ini justru mengalami subordinasi dalam perkembangan administratif: nama Madegan digantikan dengan Polagan.
Di sinilah muncul problem toponimi: ketika sebuah nama lama yang sarat makna sejarah diganti dengan nama baru yang tidak jelas akar kesejarahannya. Menurut dosen sastra UNAIR, Eddy Sugiri, mengutip profesor sejarah Simon J Potter, penamaan tempat tidak sekadar urusan administratif, melainkan berkaitan erat dengan aspek kesejarahan, kebudayaan, dan identitas masyarakat.
Kasus Madegan--Polagan memberi gambaran betapa mudahnya sejarah desa diputus rantai ingatannya hanya karena keputusan administratif. Dan di sinilah kritik Kuntowijoyo menemukan relevansinya kembali.
Banyuanyar dan Jejak Pasedahan