Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kecerdasan Spiritual, Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional

14 Oktober 2022   11:23 Diperbarui: 14 Oktober 2022   11:38 3819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
smbr gmbr: https://lamda45.files.wordpress.com/2013/12/the-brains-three-processing-modes-1024x701.png

Pertama, kecerdasan spiritual atau spiritual quotient (SQ) 

Danah Zohar dan Ian Marshall yang dikenal sebagai pencetus istilah spiritual intellegence mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nila-nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

Menurut mereka kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan jiwa yang mampu menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh. Bahkan, menurut mereka kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang paling tinggi dari manusia karena dengan memiliki kecerdasan ini manusia dapat memfungsikan secara efektif kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi.[1] 

Zohar dan Marshall menilai kecerdasan spiritual menjadi bentuk kecerdasan paling tinggi karena tahap kecerdasan ini mampu membuat manusia membangun dirinya secara utuh.

Jamak ditemukan pemikiran bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan dalam hal beragama, sehingga cenderung yang memiliki kecerdasan seperti ini adalah tokoh-tokoh agama, orang-orang taat agama ataupun orang yang kuat ilmu agamanya.  

Menurut saya pandangan seperti ini simplikatif (terlalu menyederhanakan) karena fakta peradaban manusia menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual tidak serta merta ditentukan oleh pengetahuan agama seseorang.

Nilai-nilai agama, memang sangat besar manfaatnya bagi pembentukan kecerdasan kejiwaan kita, tetapi tidak berarti nilai-nilai lain tidak penting. Nilai-nilai moral, pedoman kehidupan bersosial, dan nilai hidup lainnya juga penting. Terutama pula ukuran seorang memiliki kecerdasan spiritual bukanlah dalam ketaatannya beragama tetapi bagaimana ia mampu berpikir secara menyeluruh yakni:

menimbang segala macam hal dalam menentukan sesuatu; bersikap luwes yakni mampu menempatkan diri; selalu mengedepankan perdamaian; memiliki kemampuan kontemplasi diri; dll. Jadi, kalau kita bisa bersikap realistis; fleksibel; mencintai damai; suka merefleksikan diri; melawan arus; dll, maka kita sudah memiliki kecerdasan spiritual.

Kedua, kecerdasan intelektual atau intelligence quotient (IQ) 

William Stern mengatakan inteligensi adalah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir yang sesuai tujuannya. Wiliam mengemukakan bahwa inteligensi adalah kemampuan global yang dimiliki oleh individu agar bisa bertindak secara terarah dan berpikir secara bermakna serta bisa berinteraksi dengan lingkungan secara efisien.[2]

Kalau kecerdasan spiritual merupakan kemampuan kejiwaan, maka kecerdasan intelektual adalah kemampuan berpikir dan bernalar. Kecerdasan intelektual adalah kemampuan kita dalam bidang pengetahuan. Kecerdasan intelektual harus diakui sebagai bentuk kecerdasan yang paling didambakan manusia karena banyak yang menganggap bahwa dengan memiliki kecerdasan intelektual maka manusia sudah memenuhi keutuhannya.

Hal ini akan benar kalau dengan intelektualnya, manusia dapat mengontrol otak reptilnya ataupun hawa nafsunya, tetapi kalau tidak maka tidak dapat dibenarkan.

Tapi bagaimanapun, kecerdasan intelektual tidak kalah pentingnya dengan kecerdasan spiritual. Keinginan-keinginan jiwa akan kebaikan akan mampu diwujudnyatakan melalui penalaran. Oleh sebab itu, sebenarnya ada hubungan yang tidak terpisahkan antara kecerdasan spiritual dengan kecerdasan intelektual.

Untuk menjadi fleksibel atau sekalipun untuk berkontemplasi, kita juga butuh kecerdasan intelektual mewujudkannya karena dengan intelektual kita dapat menimbang untung-rugi dari tindakan kebaikan kita. Pertimbangan-pertimbangan itulah yang menjadi tolak ukur kita untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan.

Ketiga, kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ)

Bentuk kecerdasan yang terakhir ini juga sangat penting karena tidak ada gunanya kita memiliki kecerdasan spiritual dan intelektual kalau tidak dapat mengontrol perasaan dan psikis kita. Kecerdasan emosional adalah kemampuan manusia dalam mengatur, mengontrol dan mengenal batas-batas emosi.

Ada pandangan yang tidak produktif terkait kecerdasan emosional dalam masyarakat kita bahwa yang lebih mumpuni secara kemampuan mengontrol emosi adalah perempuan.

Padahal, laki-laki juga memiliki emosi sehingga ia juga wajib memperjuangkan kemampuan emosionalnya. Anggapan konyol ini sebenarnya sama dengan anggapan bahwa laki-laki yang lebih memiliki kecerdasan intelektual.

Sekaligus dalam hal ini saya tegaskan bahwa kecerdasan dalam segala bentuknya dapat dimiliki oleh setiap manusia, tanpa embel-embel gendernya.

Ketiga bentuk kecerdasan di atas, hendaknya diupayakan oleh kita semua karena hanya dengan memiliki kecerdasan-kecerdasan seperti di ataslah manusia menjadi utuh sebagai manusia logis. Memang untuk memproleh ketiga bentuk kecerdasan di atas sangatlah sulit, tetapi tidak berarti mustahil.

Kita semua tentunya tahu diri bahwa sangat sulit memiliki ketiga bentuk kecerdasan di atas, tetapi kita harus tetap berkeyakinan bahwa segala sesuatu memang butuh proses, bahkan kehidupan itu sendiri adalah suatu proses tanpa akhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun