Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Beras Pun Harus Jelas Identitasnya Bila Ingin Dihargai

22 Januari 2019   16:12 Diperbarui: 22 Januari 2019   16:24 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bermacam Jenis Beras (Sumber: http://www.parenting.co.id/img/images/x3-FOTOSEARCH,P281,P29.jpg.pagespeed.ic.ncxk2xzkMX.jpg)

Apabila hendak didefinisikan secara adil maka ajaran Islam yang bersikukuh mempertahankan ketulenan ajaran Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam berdasarkan pemahaman Sahabat-sahabat yang digelar sebagai Radhiallahu Anhum disebut sebagai Islam Sunni atau sering juga disebut hanya dengan Islam saja tanpa perlu keterangan tambahan. Karena sudah menjadi kelaziman di seluruh dunia bahwa sebutan bagi Islam Sunni selayaknya sebutan bagi Beras Putih, yang apabila disebut beras saja pun setiap orang akan memahaminya sebagai Beras Putih.Sedangkan kelompok-kelompok lain yang tidak kaku pada tradisi kaum terdahulu dalam sejarah Islam akan kenal dengan labelnya sebagai Islam Muktazilah, Syiah, Ibadiah, Tijaniah, Bathiniah, Zaidiah, dan sebagainya.

Artinya sebelum istilah Islam Nusantara sudah ada istilah-istilah lain sebagai keterangan terhadap paham Islam yang dianut dalam suatu kelompok. Kelompok Muktazilah yang pernah berkembang pesat di Irak misalnya, yang tidak malu-malu untuk mengakui bahwa mereka tidak setuju dengan metode yang dianut oleh Sahabat-sahabat Radhiallahu Anhum dimana setiap ketetapan yang diyakini sebagai wahyu tidak lagi ditimbang dengan akal. Kemudian kelompok Syiah yang sekarang subur di Iran, yang tidak memungkiri bahwa mereka memiliki kitab suci tersendiri yang berbeda isinya dengan Al-Quran yang dipegang oleh kelompok Islam Sunni. Demikian juga kelompok-kelompok lainnya yang terlahir dan telah mapan kedudukan sebelum Islam Nusantara dicetuskan.

Jadi tidak semestinya dai Islam Nusantara mengatakan bahwa Islam yang dari daerah asalnya itu bukan Islam yang sesungguhnya. Hal tersebut akan dimaknai sebagai klaim bahwa Islam Nusantara adalah Islam Sunni yang sebenarnya. Tentu penganut Islam Sunni akan tersulut emosinya dan protes, ibarat konsumen beras putih tadi yang disuguhi beras ketan kemudian dipaksa untuk meyakini bahwa ketan adalah beras putih yang sesungguhnya. Dan akan sangat menyedihkan bila kemudian protes yang timbul sebagai akibat dari pemaksaan itu lantas diberi label sebagai sikap tidak menghargai perbedaan keyakinan.

Masyarakat Indonesia pun sebenarnya sudah sangat berpengalamanan dengan perbedaan keyakinan dan cara pandang dalam menjalankan ajaran Islam itu sendiri. Semasa rezim Orde Baru masih berkuasa, istilah Islam Kejawen sudah menjadi lumrah dan terbukti tidak terjadi penolakan terhadap istilah ini dari kelompok Sunni yang sekarang menolak Islam Nusantara. Tentu karena dai dan praktisi Islam Kejawen tidak menafikan eksistensi Islam Sunni dalam dakwah mereka, bahkan dengan tegas memposisikan dirinya sebagai kelompok yang berbeda dengan Sunni. Klenik serta ritual-ritual yang dianggap sebagai syirik dalam keyakinan Islam Sunni dengan tegas dinyatakan boleh dalam tradisi Islam Kejawen. Dengan demikian penganut Sunni akan mudah memposisikan penganut Kejawen dalam interaksi sosialnya tanpa perlu saling mencemooh satu dengan yang lainnya.

Semestinya definisi Islam Nusantara itu jangan dibuat bias dengan penjelasan filsafat tingkat tinggi seperti: "Islam Nusantara atau model Islam Indonesia adalah suatu wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai dengan realitas sosio-kultural Indonesia." Tetapi apa yang diinginkan sebenarnya oleh dai Islam Nusantara ini belum tegas disebutkan dari definisi yang terkesan sangat ilmiah tersebut.

Mengapa tidak disebut saja secara tegas bahwa Islam Nusantara ini adalah ajaran Islam yang fleksibel terhadap budaya apapun yang menjadi bagian dari budaya nusantara termasuk animisme, dinamisme, maupun klenik; kemudian berkeyakinan bahwa seluruh kepercayaan dan ritual dalam budaya nusantara tidak akan bertentangan dengan pokok ajaran Islam selama ditujukan kepada Allah SWT walaupun pelaksanaannya dengan cara yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam dan Sahabat-sahabat Radhiallahu Anhum.

Dengan demikian para dai Islam Sunni tidak akan merasa terusik dengan aktivitas dakwah para dari Islam Nusantara. Karena sejatinya para dai itu hanya menjajakan gagasan berkenaan dengan suatu keyakinan dan kepercayaan. Pasar bagi setiap gagasan itu akan terbentuk dengan sendirinya sesuai dengan kecenderungan komunitas.

Sekedar untuk mempermudah mari kita tamsilkan pasar gagasan itu seperti menjual beras pada toko sembako. Komunitas masyarakat yang cenderung dengan gagasan kemurnian dari asalnya, yaitu Islam Sunni, ibarat konsumen yang menjadi target penjualan komoditas beras putih. Mereka yang fanatik pada beras putih tentu tidak akan mau mengkonsumsi beras campuran walaupun diberikan gratis. Kemudian komunitas masyarakat yang lebih luwes dalam hal percampuran dan tidak kaku dengan gagasan kemurnian dari asalnya, yaitu Islam Nusantara, ibarat konsumen yang menjadi target komoditas beras campuran. Entah beras putih dicampur dengan beras merah, ketan putih, dan sebagainya, namun asalkan dalam proporsi yang dirasa-rasa enak untuk dikonsumsi maka konsumen penikmat beras campuran ini tentu tidak akan keberatan.

Tentunya sangat diharapkan agar yang pro atau kontra Islam Nusantara sebaiknya membicarakan masalah ini dengan tidak bermaksud untuk saling menjatuhkan. Dan jangan pula ada pihak yang terkesan kontra namun pada kenyataan praktik kesehariannya tidak teguh dengan prinsip-prinsip Sunni. Apabila praktik kesehariannya sangat dipengaruhi oleh pemikiran budaya nusantara maka tidak ada kepentingannya untuk menunjukkan sikap kontra, demikian sebaliknya. Bukankah kejelasan identitas itu penting? Bukankah beras pun harus jelas identitasnya terlebih dahulu bila ingin diberi harga?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun