Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dinamika Sosial Aceh dalam Sebuah Perjalanan menuju Perdamaian

16 Desember 2018   20:46 Diperbarui: 16 Desember 2018   21:38 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bahkan lebih parah lagi, terdapat golongan internal PUSA yang tidak diberi ruang untuk menyuarakan aspirasinya yang kemudian berkomplot bersama Sayid Ali untuk melakukan aksi massa walaupun dapat dipatahkan dengan kekerasan oleh Teungku Daud Beureueh selaku Ketua PUSA sekaligus Gubernur Militer saat itu. Konsekuensinya Sayid Ali dkk akhirnya ditangkap pada tanggal 3 November 1948 menjelang aksi massal kudeta lalu dipenjarakan di Kotabakti atau Takengon, kemudian berangsur "terusir" dari Bumi Serambi Mekah dan kebanyakan mereka menjadi diaspora masyarakat Aceh di Yogyakarta.

Keberhasilan elite PUSA mempertahankan kekuasaannya pada tahun 1948 tersebut bukanlah akhir dari peristiwa berdarah di Aceh sebagaimana judul buku yang disusun Dada Meuraxa namun semacam berdirinya fondasi konflik berkepanjangan setelah peletakan batu pertamanya dilakukan saat revolusi sosial pada dua tahun sebelumnya.

Sepanjang kurun tahun 1950-1956, Teungku Daud Beureueh bersama elit PUSA kembali terlibat peperangan yang kali ini bukan dengan kaum Uleebalang namun berhadapan dengan Republik yang sebelumnya mereka bela dengan tumpah darahnya. Konflik berdarah yang dikenal dengan peristiwa pemberontakan DI/TII di Aceh disebabkan karena peleburan Provinsi Aceh kedalam Provinsi Sumatera Utara. Namun demikian akibat ketidakpuasan kaum Uleebalang dan simpatisannya terhadap elite PUSA akan penyelesaian kasus-kasus perampasan harta selama revolusi sosial maka Pemerintah Pusat mendapat sokongan dari masyarakat Aceh untuk meleburkan Provinsi Aceh kedalam Provinsi Sumatera Utara.

Rekonsiliasi akibat revolusi sosial pada tahun 1946 belum sempurna terlaksana namun pada tahun 1957 terbentuklah Propinsi otonomi di Aceh sebagai kesepakatan pemulihan keamanan dan penghentian pemberontakan terhadap Pemerintah Pusat era Orde Lama. Tetapi belum lagi rezim Orde Lama mampu memenuhi janji perdamaiannya terjadi gerakan revolusi komunis pada level nasional yang dikenal dengan G30S PKI. Revolusi komunis yang gagal berujung pada kejatuhan rezim Orde Lama dan kebangkitan rezim Orde Baru dalam sejarah Indonesia. Seakan tidak ingin belajar dari sejarah panjang konflik di Aceh, rezim Orde Baru menjalankan kebijakan penyeragaman pada hampir setiap sektor kehidupan sosial masyarakat tanpa penjaringan informasi atau sosialisasi terlebih dahulu.

Pemerintahan di era rezim Orde Baru memaksakan struktur Pemerintahan Desa menjadi Kelurahan dengan RT dan RW sebagai perangkatnya sedangkan di Aceh sebagaimana masyarakat Sumatera pada umumnya telah memiliki struktur tersendiri yang usianya melebihi rentang waktu sejak awal mula kolonialisasi Eropa hingga Perang Dunia kedua. Kemudian penyeragaman istilah di sektor pendidikan malah berbuntut pada tudingan upaya "menjawakan" Indonesia karena ungkapan-ungkapan seperti ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri andayani menjadi hafalan wajib bagi siswa tingkat dasar sedangkan muatan lokal seperti baca tulis Kitab Arab Melayu yang telah mengakar dalam budaya pendidikan setempat tidak diberikan panggung pada proses belajar mengajar di sekolah negeri.

Dalam selang waktu sepuluh tahun umur rezim Orde Baru muncul kembali gerakan separatisme di Bumi Serambi Mekah sebagai akibat daripada aglomerasi kekecewaan pada pelaksanaan keistimewaan Aceh yang telah disepakati di era Orde Lama. Awalnya rezim Orde Baru menanggapi dingin upaya subversif ini namun akhirnya malah menggunakan kekuatan bersenjata untuk memadamkan pemberontakan yang dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Operasi bersenjata yang dimulai sejak tahun 1990 akhirnya dihentikan dengan kejatuhan rezim Orde Baru itu sendiri pada tahun 1998. Seakan belum cukup "tumbal" revolusi sosial di Aceh, beberapa perundingan serta upaya penyelesaian damai konflik Pusat dan Daerah tidak mampu menghentikan pertumpahan darah yang terus menerus terjadi. Hingga akhirnya segala pihak yang memiliki kepentingan dalam konflik tersebut dihentakkan oleh benca alam besar yang meluluh lantak Banda Aceh, Meulaboh, dan beberapa wilayah lainnya pada penghujung tahun 2004 saat gelombang tsunami menghantam Aceh.

Respon dunia internasional yang masif akan musibah tsunami tersebut telah memuluskan jalan perdamaian dalam penyelesaian pertumpahan darah di Aceh walaupun ketegangan internal di tubuh GAM sendiri sempat terjadi di tahun 2014 dengan adanya kasus Din Minimi. Memang apa yang dikemukakan oleh Mohamad Shohibuddin (2016) kembali tidak dapat dipungkiri. Din Minimi dkk memiliki kemiripan dengan Sayid Ali dkk, mereka merepresentasikan kepribadian masyarakat Aceh yang basis perlawanannya selalu dimulai dari rasa ketidakadilan. Untung saja kemudian Pemerintah Pusat mengambil langkah persuasif yang pada akhirnya stabilitas keamanan dapat dikembalikan tanpa pertumpahan darah.

Sebagai penutup dapat dipetik beberapa pelajaran berharga dari peristiwa keruntuhan feodalisme dan dinamika sosial aceh.

Pertama, rasa ketidakadilan itu muncul apabila terdapat ketimpangan ekonomi yang berdampak buruk pada kesejahteraan. Suatu feodalisme runtuh bukan melulu karena kekuasaan yang berpusat pada kaum bangsawan melainkan karena keturunan bangsawan yang tidak cakap mengelola kekayaan dan sumber daya yang dikuasai untuk kepentingan kesejahteraan rakyat sebagai penyokong feodal itu sendiri.

Masyarakat dengan kultur feodal yang kental tidak mempersoalkan asal muasal sosok pemimpinnya seperti halnya masyarakat Aceh yang tidak mempersoalkan akan berkuasanya keturunan Bugis sebagai Sultan sejak tahun 1727.9 Namun persoalan sosial itu timbul pada saat keturunan bangsawan hidup dalam suasana kemewahan yang tidak lazim dengan menghambur-hamburkan pakaian dan makanan karena pada waktu yang bersamaan sebagian besar masyarakat bergantung pada satu atau dua helai kain untuk menutup auratnya dan lauk pauknya berupa cuka bersama sebutir telur ayam kampung yang dibelah empat bahkan lebih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun