Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dinamika Sosial Aceh dalam Sebuah Perjalanan menuju Perdamaian

16 Desember 2018   20:46 Diperbarui: 16 Desember 2018   21:38 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Secara istilah bahasa menurut KBBI, salah satu definisi daripada feodalisme adalah sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja, sedangkan dinamika sosial merupakan gerak masyarakat secara terus-menerus yang menimbulkan perubahan dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan.

Tidak jelas memang kapan awalnya muncul monarki pertama di Aceh namun banyak tulisan sejarah mengarah pada sosok Sultan Iskandar Muda sebagai pencetus struktur feodal yang berlaku sejak tahun 1630 hingga tahun 1946 dimana pada tahun tersebut meletus revolusi sosial yang berhasil membubarkan sistem pemerintahan para uleebalang.

Hal yang menarik pula untuk ditinjau adalah para uleebalang di Aceh pada faktanya laksana Shogun pada masa sebelum restorasi Meiji di Jepang. Uleebalang dan Shogun memiliki kesamaan pada sifatnya sebagai penguasa terhadap tanah sekaligus penguasa wilayah yang memiliki banyak pengikut, secara de facto merupakan pimpinan pemerintahan dan peradilan walaupun mereka harus dinobatkan secara formalitas oleh Sultan untuk Uleebalang ataupun Kaisar untuk Shogun.

Adapun di Jepang, kekuasaan Shogun (Tokugawa bakufu) yang memerintah sejak tahun 1603 telah mendapatkan penentangan sosial di tahun 1867 dan dibubarkan setahun kemudian.1 Sedangkan di Aceh, penguasa Sagoe (Uleebalang) baru mendapatkan penolakan sosial yang mencabarkan hati pendukung feodalisme setelah Jepang dikalahkan Sekutu pada perang dunia kedua.

Desakan sosial terhadap pemakzulan kekuasan Shogun terjadi pasca intervensi militer Amerika Serikat ke Jepang pada tahun 1853-1854 oleh Komodor Matthew Perry2, dan fakta unik lainnya adalah intervensi militer Amerika Serikat pertama di Asia terjadi pada tahun 1832 tepatnya ketika Komodor John Downes, bersama kapal perang Potomac yang diawaki 300 prajurit menyerang dan membumihanguskan Kuala Batu, Aceh Barat Daya.3 Berbeda dengan di Jepang, intervensi militer asing tersebut tidak menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan terhadap reformasi sistem administrasi pemerintahan dalam masyarakat Aceh. Bahkan pada masa pemerintahaan kolonial Belanda para Uleebalang ini memperoleh status swapraja atau dikukuhkan sebagai Zelfbestuurder sejak tahun 1914 begitupun pada masa pendudukan Jepang (1942-1945).4

Menurut catatan Dada Meuraxa, dalam buku "Peristiwa Berdarah di Aceh" yang terbit pertama kali tahun 19565, kaum uleebalang (teuku) dan kaum ulama (teungku) sejak zaman kesultanan acap kali terlibat dalam peristiwa perebutan kekuasaan. Kaum ulama mendambakan pemerintahan berasaskan Islam dan tidak setuju pada pemerintahan uleebalang yang berlandaskan kekuasaan adat. Namun sepertinya pertentangan pada masa itu belum masuk kedalam ranah ide reformasi administrasi pemerintahan atau menganti sistem feodal dengan sistem yang lebih modern selayaknya gerakan restorasi Meiji di Jepang. Tentu hal ini tidak lepas dari pengaruh sistem pendidikan tradisional dimana para ulama tersebut belajar dan meniti karier ilmiahnya.

Sejalan dengan tulisan yang dikemukakan Ahmad Ridlowi (2014)6, feodalisme dayah/pesantren tradisional kental dengan pengkultusan figur seorang Teungku seakan norma Islam yang memerintahkan penghormatan pada guru dimaknai dengan menjadikan hubungan antara guru dan murid sebagai hubungan vertikal dimana para murid memiliki kewajiban untuk taat pada guru tanpa batasan yang diatur secara tertulis. Aturan pada lembaga pendidikan tradisional cenderung bergantung pada tokoh sentral yang menjadi pantutan bukan pada manajemen dan administrasi seperti lembaga pendidikan modern.

Kemudian bias penerapan aturan pun tidak dapat dimitigasi karena para pengurus akan menerjemahkan aturan-aturan yang dibuat oleh tokoh sentral tersebut sesuai dengan pemahamannya secara pribadi tanpa dibekali petunjuk pelaksanaan yang memadai. Bahkan dalam proses regenerasi struktur, kepemimpinan tertinggi lembaga pendidikan tradisional lazimnya hanya dapat diwariskan pada anggota keluarga keturunan pendiri lembaga. Ibarat kerajaan, apabila tidak ada keturunan yang mampu mengurus lembaga maka dengan sendirinya kegiatan pendidikan akan mati suri bahkan terkadang padam dalam waktu yang cukup lama. Feodalisme lembaga pendidikan tradisional ini bukan hanya terbatas di Aceh atau Sumatera namun tampaknya berlaku di seluruh Nusantara. 

Kesadaran akan kebutuhan manajemen dan administrasi modern baru tampak pada tahun 1939 dimana para ulama Aceh saat itu membentuk organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang  diprakarsai oleh Teuku Haji Chik Mohammad Djohan Alam Sjah, Teuku Mohammad Amin, dan Teungku Ismael Jacub. Khusus tentang Teungku Ismael Jacub, beliau merupakan ulama sekaligus penulis sejarah yang pernah hidup bersama dengan ajudan Teungku Chik di Tiro yaitu Teungku Pakeh pada tahun 1943. Keunikan PUSA ini sendiri adalah karena konon katanya organisasi ini didirikan oleh ulama dari kalangan bangsawan (Teuku Imum) dan juga bukan dari keturunan bangsawan (Teungku) namun tiga tahun setelah pendiriannya melalui kepemimpian Teungku Daud Beureueh selaku Ketua, PUSA terlibat konflik dengan kalangan bangsawan Uleebalang dalam suatu revolusi sosial yang dikenang sebagai "Perang Cumbok".7

Masih berdasarkan tulisan Dada Meuraxa5, pasca revolusi sosial tampak benih-benih perpecahan dalam PUSA akibat dari perbedaan pandangan akan perlakuan yang selayaknya bagi keturunan Uleebalang beserta harta kekayaannya yang telah "ditaklukkan" pada "Perang Cumbok". Tunas perpecahan itu rekah hanya satu tahun setelah kemenangan Cumbok atau tepatnya pada tahun 1947, Sayid Ali Assegaf mulai memimpin upaya kudeta terhadap elite PUSA. Ulasan Mohamad Shohibuddin (2016)8 yang dipublikasikan pada kolom majalah Gatra menggambarkan bahwa revolusi sosial telah menciptakan anarki di Aceh karena pembunuhan dan perampasan harta terus terjadi walaupun "Perang Cumbok" telah usai.

Elite PUSA yang awalnya hendak menumbangkan status quo feodalisme hingga merenggut korban jiwa dari kalangan wanita dan anak-anak akhirnya terjerembab dalam feodalisme baru yang membagi-bagikan kedudukan dan kekayaan hanya untuk kelompoknya sendiri bukan pada ketentuan ataupun peraturan yang disepakati oleh segenap elemen masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun