Tanpa kegemaran membaca, teori-teori tersebut hanya akan melayang-layang dalam pikiran, tak tersangkut menjadi sebuah pemahaman yang utuh.
Misalnya, saat kita memelajari beragam bentuk majas, dan apa yang kita pelajari tersangkut dalam puisi-puisi yang pernah kita baca. Kita teringat beberapa puisi yang mengandung majas tersebut. Makin tajam lagi ketika mempraktekkannya dengan menulis puisi sendiri.
Aspek lain yang menunjang keahlian menulis adalah kepekaan, empati dan sejenisnya. Ini membuat sebuah tulisan punya "rasa" dan bukan hanya seperangkat huruf dan kata yang tersusun biasa.
Pertanyaannya, bagaimana cara membangun kepekaan ini? Bagaimana cara menumbuhkan empati? Tentu bukan di kelas-kelas menulis, melainkan dalam kehidupan sehari-hari.
Aspek penunjang lainnya ya daya ingat, kemampuan menggali data, informasi dan beragam pengalaman hidup; manis, getir, suka, duka, semua adalah warna dan rasa dari kehidupan yang menjadi energi dalam menulis.
Baru berikutnya adalah belajar menulis: penempatan tanda baca, ejaan, diksi, bentuk paragraf, gaya bahasa dan semacamnya.
Dari semua hal di atas, mana yang bisa disebut bakat? Bukan teknis menulisnya, kan?
Malang, 11 Januari 2023
Ahmad Fahrizal Aziz