Mohon tunggu...
Fahrizal Muhammad
Fahrizal Muhammad Mohon Tunggu... Dosen - Faculty Member Universitas Prasetiya Mulya

Energi Satu Titik

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadanku Tetap Ceria

25 April 2020   10:19 Diperbarui: 25 April 2020   10:31 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumen pribadi fahrizal muhammad

Ramadhan, kurindu untuk bertemu

Siapkan hatiku juga hatimu

Ramadhan, kurindu untuk bertemu

Dengan penuh cinta, jemput indah Ramadhan

DNA Adhitya (2018)

Sya'ban berangkat sudah. Semesta menyambut tamu istimewa: Marhaban ya Ramadhan. Mari kita bergegas menuju satu titik dengan sepenuh hati. Bismillah! 

Ramadan tahun ini menjadi sangat spesial. Kita menyambutnya dalam suasana yang sama sekali baru. Seluruh umat muslim Indonesia belum punya pengalaman bagaimana memasuki dan mewarnai Ramadan di tengah pandemi seperti ini. Seketika romantisme masa lalu pun menyeruak dari ingatan: masjid yang semarak oleh berbagai kegiatan, anak-anak kecil dengan wajah cerianya berkumpul dan berkreasi di masjid, di sejumlah titik spanduk-spanduk menyambut Ramadan bertebaran, atau tukang timun suri sudah marak di tepi-tepi jalan. Semua itu menjadi sejumput kenangan di Ramadan tahun ini. 

Ada satu yang sangat berbeda: suasana. Sejumlah komplek perumahan sepi, sesepi-sepinya. Bila di banyak Ramadan suasana ramai itu begitu sangat terasa, kapan pun, apa lagi malam. Ibarat kata, kita mau keluar rumah atau pulang jam berapa pun ketika Ramadan, "hawanya" berbeda, hangat. Betapa tidak! Di sejumlah titik selalu saja ada yang kumpul untuk menghidupkan malam dengan berbagai kegiatan. Apalagi kita yakin, di setiap rumah pasti ada saja yang tetap terjaga dalam ibadah. Kini semua tinggal kenangan. Di semua ruas jalan hanya ada kelengangan. Dingin. Senyap. 

Ruang Kembali

Pada gilirannya, kita harus belajar mengerti. Covid-19 menjadi teka-teki. Tak seorang pun yang berani memastikan, apa status kita hari ini. Ada di fase apa kita hari ini? Sampai kapan harus terkurung dan berdiam di rumah seperti ini? Yang datang justru berbagai pembatasan yang membuat ruang gerak kita semakin sempit. 

Lalu, pantaskah kita terpuruk dan sedih, Saudaraku? Ternyata kita tidak punya DNA untuk itu. Kita dilahirkan sebagai makhluk dengan tingkat adaptasi yang luar biasa. Kita bukan kaum yang senang terus menerus mengharu biru dirundung kesedihan. Ketidaknyamanan apa pun yang hari ini kita rasakan justru bagian dari perjuangan kita untuk menjadi umat terbaik kebanggaan Allah dan Rasul-Nya.

Ada sejumlah fenomena baru yang patut kita syukuri di Ramadan tahun ini. Pertama, ketika masjid sepi karena larangan berkumpul lebih dari lima orang, justru kesemarakan dikembalikan ke rumah masing-masing. Suasana Ramadan harus maksimal di rumah. 

Bukankah sebagian besar seluruh anggota keluarga sudah berkumpul? Yang kuliah dan kost di kota lain sudah pulang. Yang mondok di pesantren sudah pulang. Yang sehari-harinya ngantor sudah work from home. Yang sekolah pun demikian. 

Ramadan tahun ini, nampaknya tidak ada lagi hati-hati yang terperangkap dan terjebak kerinduan. Semua yang dikasihi dan dicintai sudah pulang, sudah bisa dipeluk dalam kehangatan cinta. Jadi, inilah saat ideal untuk kembali kumpul sebagai sebuah keluarga. 

Kalau dulu sempat marak keprihatinan akan keluarga yang merindukan ayahnya, sekarang sebagian besar ayah sudah ada di rumah. Ia sudah hadir membersamai seluruh kegiatan dan suasana rumah. Kalau dulu orang bersembunyi dan menyiasati quality time untuk bertemu dengan buah hatinya, sekarang sepanjang hari sudah bersama mereka. Bukankah ini sebuah keberkahan yang tidak pernah terprediksikan sebelumnya?

Kedua, inilah saatnya pemaksimalan peran. Seberapa efektif kepemimpinan seorang ayah di rumah? Seberapa sejuk kedamaian dan kehangatan yang mampu dihidupkan oleh seorang ibu di rumah? Seberapa mengerti seorang anak akan perannya di rumah? Semua dikembalikan hak dan ruangnya. Semua diberikan panggung dan ruang ekspresi yang sesungguhnya, yang mungkin selama ini terlupakan dan dilupakan. 

Rumah. Semua bermula dan bermuara. Kita diberikan ruang untuk menemukan kembali makna rumah dan keluarga. Kita mengeja kembali ikatan cinta nan suci ketika memulai semuanya dulu. Bukankah ini sebuah romantisme Ramadan tahun ini yang patut kita syukuri? Bukankah sebanyak Ramadan yang pernah kita lewati belum pernah kita temukan kehangatan seperti ini? Masya Allah.

Ketiga, di Ramadan inilah kita memupuk kerinduan. Bukan kepada yang jauh, justru kepada yang dekat: tetangga dan suasana kebersamaan. Bukan kepada yang rumit dan abstrak, tetapi kepada yang telah menjadi kebutuhan dan kebiasaan kita: tarawih dan sholat berjamaah di masjid, berbuka puasa bersama setiap hari, dan nanti i'tikaf di sepuluh hari terakhir. 

Kita tidak berjarak, tetapi berbatas. Kita punya semua alasan untuk kembali menikmati seluruh kehangatan itu kelak. Kini, luka harus tersembuhkan justru dengan kerinduan yang belum menemukan muaranya. Biarlah kini dzikir dan munajad meruang dalam segala kemungkinan. Semoga rasa ingin bertemu ini menjadi energi yang menghidupi setiap penghujung malam kita. Kalau pun saatnya tiba, kita masih berkesempatan menitipkan cinta yang tak berubah ini pada semesta: utuh!

Ruang Ekspresi

Ramadan datang dengan segala tawaran kebaikan. Kerinduan bertemu Ramadan adalah ekspresi seorang hamba akan kemurahan rahmat dan ampunan dari Rabbnya. Oleh karena itu, kehadiran Ramadan selalu istimewa. Wajar saja bila dinanti. Wajar saja bila dirindu. Kini, di tengah Covid-19, suasana pertemuan dengan Ramadan terasa berbeda. Oleh karena itu, bekal pemahamannya pun harus lebih berkelas dan mengena. Akhirnya, wajah dan ekspresi kerinduan itu pun menjadi lebih berwarna dan bermakna.

Pertama, bagaimana pun kondisinya, target menjadi orang bertaqwa tetap prioritas. Tidak ada yang berubah. Justru hari ini, kita ditantang untuk menyiapkan bekal yang lebih. Kita harus semakin menguatkan rasa dan sikap husnudzan kepada Allah atas segala ketentuannya. Apa yang ditetapkan Allah pasti baik. Kita yakin Allah tidak akan pernah dzalim kepada hamba-Nya. Percayalah, Allah tidak akan memberi ujian di luar batas kesanggupan kita. Oleh karena itu, mari kita yakini bersama, Allah akan menyelesaikan segala urusan ini dengan cara-Nya. 

Inilah saatnya kita memperbesar energi untuk memperdalam pengetahuan, pemahaman, dan mencoba mempraktikkannya dalam suasana yang belum pernah kita alami. Bukankah ini saatnya kita semakin mengakui dan menyadari bahwa tidak ada lagi tempat bergantung dan kembali selain kepada Allah? Bukankah ketika sholat berjamaah di masjid dibatasi, justru kita punya keheningan sempurna untuk membisikkan dzikir dan doa dalam penghambaan yang sebenarnya? Bukankah sekarang kita punya banyak kesempatan berasyik masyuk berdialog dengan Allah dalam kesendirian bermakna? 

Kedua, bila selama ini para ayah lebih sering menjadi makmum, inilah saatnya mereka menjadi imam yang sesungguhnya. Ada lima waktu sholat wajib. Ada sebelas rokaat Taraweh dan witir. Inilah panggung untuk para ayah. Sedikitnya, ada 17 rokaat dalam sehari yang bacaan surahnya harus jahr (6 rakaat sholat wajib dan 11 rokaat Tarawih). Kalau digunakan untuk menjadi imam selama Ramadan saja, sudah berapa surah harus mereka hapalkan? Masya Allah. Anda bisa bayangkan, bukankah ini kesempatan para ayah untuk menambah hapalan Al-Qur'annya? Selain itu, ini juga saatnya untuk para ayah dan anak lelaki belajar menyampaikan kultum sebelum Tarawih. Sungguh sebuah tarbiyah keluarga yang menantang.

Ketiga, inilah waktunya buku resep dikeluarkan dan dipraktikkan. Para ibu dan anak gadisnya punya waktu sangat leluasa untuk berkreasi dengan resep baru agar menu sahur dan berbuka tidak membosankan. Targetnya, tiap hari satu menu utama dan camilan. Olahan ikan dan daging bertemu dengan penyajian buah segar yang mengundang selera. Tentu mereka harus selektif menerima request dari seluruh anggota keluarga. Semua punya selera. Semua punya rasa. 

Keterampilan berencana dan budgeting pun dimainkan. Daftar menu tiga hari, misalnya. Mulailah mereka mendiskusikan, masakan apa yang ingin mereka buat dan bagaimana penyajiannya. Dengan begitu, mereka dituntut untuk mampu menyusun kebutuhan apa saja yang harus mereka siapkan dan beli di warung sayur dekat rumah. Tidak muluk-muluk, mereka hanya ingin sahur dan berbuka dalam masa PSBB ini dengan menu terbaik sesuai selera keluarga. Ah, betapa hangat dan semaraknya Ramadan tahun ini. Seceria itu juga kan Ramadanmu, Saudaraku?

Depok, 26 April 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun